Mamahaha no Tsurego ga Motokano datta Vol. 01 BAB 06
BAB 6
Si Gadis Suram Terkutuk Masih Menunggu di dalam Kandang Sambil Bermimpi(1).
Saat itu bisa dibilang aku masih muda dan bodoh. Namun, aku mempunyai keberadaan yang disebut pacar pada saat pertengahan kelas dua SMP-ku.
Aku cukup kesal kepada diriku yang dulu karena pernah jadi sangat suram dan pendiam. Mustahil ada gadis normal yang menganggap pria itu keren.
Biar kuberi contoh seberapa suramnya diriku dulu.
Kejadian itu terjadi saat kelas dua SMP. Tepatnya saat ujian tengah semester hendak diadakan. Saat itu kami sedang belajar sambil bermesra-mesraan di perpustakaan. Tentu hanya ada kami berdua di sana. Meski saat itu kami tampak belajar mati-matian, kenyataannya kami lebih sering bermesra-mesraan sambil pura-pura sedang belajar, mirip jangkrik yang mengerik untuk menarik perhatian lawan jenis.
Hatiku terus berdebar kencang meski telah berpacaran selama sebulan.
Hal ini tidak terjadi di perpustakaan saja. Intinya, darah mudaku sedang menggila. Hal itu juga yang menyebabkanku melakukan sebuah kesalahan pada saat itu.
“Ahh ....” Aku menyenggol dan menjatuhkan penghapusku dari meja. Penghapus itu jatuh, memantul, dan berguling entah ke mana.
Penghapusnya tidak terluhat di bawah meja, dan aku tidak ingin buang-buang waktu untuk mencarinya. Lagi pula, penghapusnya sudah berukuran seperti kerikil dan hampir habis.
... Lalu, seolah-olah telah menunggu kesempatan ini, pria itu memberiku penghapusnya.
“Aku punya penghapus cadangan. Ini untukmu saja.”
Dulu aku masih naif dan mudah ditipu. Aku tersipu setelah mendengar kata-katanya itu. Padahal tidak ada yang spesial dari hal itu, tetapi aku tetap saja menerima penghapusnya dengan malu-malu.
... Setelah selesai belajar di perpustakaan ....
Kalian pasti mengira ceritanya sudah usai, ‘kan? Namun, sayangnya mode suramku jadi sangat parah setelah itu. Ugh, aku jadi mual saat mengingatnya.
Setelah pulang ke rumah pada hari itu ....
Aku menyimpan penghapus itu ...
... di dalam kotak bergembok. Kotak bergembok, loh!
Ya! Gadis suram yang tak bisa dijelaskan itu, sangat menghargai penghapusnya. Dia sangat menghargai “Hadiah pertama yang diberikan pacarnya.”
Tidak, tidak, tidak. Dia tidak sebodoh itu. Mustahil pria itu sangat bodoh sampai-sampai membuat rencana hanya untuk memberikan penghapus kepada pacarnya. Itu bukan suvenir senam radio, itu hanya benda biasa yang diberikannya kepadaku. Itu bahkan tidak bisa disebut “Hadiah untuk pacar.”
Namun, saat itu logika dan nalarku tidak bisa digunakan.
Aku selalu memandangi dan tersenyum pada penghapus itu tiap malamnya, seolah-olah sedang menyembah dewa. Itu sudah seperti ritual keagamaan yang wajib bagiku.
Kurasa aku sama anehnya dengan pria itu. Orang-orang mungkin akan ketakukan kalau melihat ritual yang kulakukan ini. Sungguh mengerikan. Aku ingin kembali ke masa lalu dan meneriaki diriku yang dulu.
Membicarakannya saja sudah membuatku ngeri. Namun, aku tetap melanjutkan kebiasaan menyimpan semua pemberian dari pria itu ke dalam kotak. Soalnya aku merasa bisa semakin mengenalnya kalau melakukan itu. Aku merasa bisa mengenal pria yang sekarang tinggal seatap denganku.
Seandainya diriku yang dulu tahu kalau akan tinggal di kamar yang bersebelahan saat satu setengah tahun kemudian, mungkin dirinya akan mengompol(2). Bukan karena takut, melainkan karena senang. Begitulah suramnya diriku yang dulu.
Aku menyegel kotak dan kebiasaan mengerikan tersebut saat pindah kemari.
Namun, segel tetaplah segel.
Yang terkurung masih tetap mengintai dan berusaha membebaskan diri.
–– Si gadis suram terkutuk masih menunggu di dalam kandang sambil bermimpi.
o
Aku bersumpah dengan keras untuk menyegel kejadian layaknya teror pada malam itu. Namun, ada perasaan aneh yang terus tumbuh tiap menit, tiap detik, dan sampai-sampai hampir meluap dari dalam diriku: Hanya masalah waktu sampai aku mencapai batas. Aku berdoa agar dapat menilai kegilaan pada malam itu secara subjektif, agar dapat mengusir kegelisahan ini. dan agar dapat membuang masa lalu yang kelam itu.
Ada celana dalam.
... Tunggu. Jangan salah paham dulu. Itu bukan punyaku. Itu celana boxer!
Kejadiannya terjadi saat aku sedang bersiap-siap untuk tidur. Aku kebetulan melihatnya saat di ruang ganti. Ada keliman boxer yang menyembul layaknya tentakel dari tumpukan pakaian di keranjang cucian. Kalau berdasarkan giliran mandi, maka sudah dipastikan kalau itu punya adik tiriku. Itu adalah boxer Mizuto Irido.
“... Yah, memangnya kenapa?”
Memasukkan celana dalam yang kotor ke dalam tumpukan cucian tidaklah aneh, ‘kan? Itu hal yang wajar dan tidak perlu dipermasalahkan.
Jadi, aku berbalik ke wastafel dan mulai menggosok gigi dengan tenang.
... Maunya sih begitu ....
––Namun, tiba-tiba batinku terserang kegilaan yang luar biasa.
Tanpa sadar aku menghampiri keranjang cucian itu, mengambil celana boxer-nya, dan menatapinya.
... Ini celana dalam yang telah dipakai Irido-kun seharian ini ....
“––Hah!?”
Apa yang barusan ...!? Kenapa aku menggenggam celana boxer adik tiriku!?
Aku tidak ingat yang barusan terjadi! Y’ai’ng’ngah!
Aku melawan tindakan menjijikan itu dan bermaksud untuk menggembalikan boxer-nya ke keranjang cucian. Kalau orang lain ... atau malah pria itu yang melihatnya ....
“––Hmm?”
“Ah!”
Aku merasa lemas.
Mizuto tiba-tiba muncul dari pintu lorong yang terbuka.
Aku menjawab secara refleks dan menyembunyikan boxer-nya di balik punggungku. Nyaris saja!
“Kau di sini? Kukira tidak ada siapa pun.”
“... O-Oh, ya? Kau mulai pikun ya?”
Keterampilan yang diasahnya dulu mungkin aktif secara otomatis dan tanpa sadar menghapus keberadaanku dari pikirannya. Dasar sok ikut campur! Dia tidak akan masuk kalau tahu aku ada di dalam!
Mizuto merengut. Nampaknya dia bingung.
“Sedang apa kau di sini?”
... Oh, tidak!
Aku sedang berdiri di depan keranjang cucian dan jauh dari wastafel.
Harus mencari alasan yang logis nih ...!
“... Po-Ponsel ... yah, ponselku ketinggalan di cucian.”
“Hmm ...?”
Berhasil.
Mizuto percaya dengan penjelasan kecilku yang sempurna. Dia terus berjalan ke wastafel dan mengambil sikat giginya.
Aku putus asa. Kukira bisa menggunakan kesempatan ini untuk mengembalikan celana boxer-nya. Namun, keranjang cucian dapat terlihat dengan jelas dari pantulan cermin wastafel dan entah mengapa pria itu terus melihatku dari pantulan cermin.
“... Li-Lihat-lihat apa kau? Kau senang melihatku memakai piyama ya?” Aku mengatakan itu sambil bingung harus menjawab apa kalau dia menjawab “Ya.” Namun, Untungnya Mizuto menjawab dengan tenang.
“Tidak ada apa-apa. Entah mengapa kau sepertinya sedang melihatku. Misalnya, apa kau punya fetish melihat orang yang sedang menggosok gigi?”
Aku deg-degan saat mendengar kata “fetish”. Kata itu membuatku memikirkan tentang celana boxer di punggungku .... Namun, untungnya aku berhasil menenangkan diri dan tidak membuat wajah aneh.
“... Pasti akan sangat menjengkelkan kalau benar ....”
“Syukurlah kalau memang tidak.”
Mizuto mulai menyikat giginya. Aku memang tida tertarik akan hal itu. Namun, aku masih tidak percaya bisa melihat pria itu menggosok gigi sambil memakai piyama tiap hari.
“... Hei.”
Mizuto menatapku setelah selesai menggosok giginya.
“Ponselmu sudah ketemu? Aku bisa saja memban ––”
“Eh? Ah, tidak apa-apa! Aku bisa sendiri! Sudah ketemu nih!”
Aku buru-buru mengeluarkan ponsel dari sakuku saat Mizuto akan mendekat. Hidupku akan hancur kalau dia melihat benda yang ada di tanganku yang satunya!
“... Begitu ya. Aku mau tidur dulu, kau juga cepatlah tidur.”
“Y-Yah. Kau benar. Kurang tidur memang tidak bagus untuk kulit.”
Grr ...! Aku hanya bisa mundur sekarang.
Aku terpaksa menggulung dan memasukkan celana boxer itu ke sakuku. Aku meninggalkan ruang ganti bersama Mizuto, lalu kembali ke kamarku. Aku putus asa mencari cara kabur dari hal yang tak terduga ini.
... Apa yang harus kulakukan sekarang?
Anehnya aku jadi tidak berdaya gara-gara celana boxer menyebalkan yang sekarang ada di atas kasurku ini.
Tidak, aku hanya harus mengembalikannya ke keranjang cucian. Aku hanya harus memastikan semuanya telah tertidur agar tidak ketahuan dan dicemooh. Masalahnya adalah ....
Aku manatap dinding yang memisahkan kamar kami.
Pria itu nokturnal tulen. Sungguh menakjubkan dia masih bisa menungguku setiap pagi saat berpacaran dulu ... meski kuyakin dia selalu menahan kantuk saat itu.
Intinya ... aku tidak tahu kapan kesempatan mengembalikannya akan datang. Bisa saja tengah malam, jam 1, atau malah jam 2 pagi.
Arrrghh! Aku ingin tidur!
Namun, tidur bareng celana boxer adik tiri itu jelas hal yang keterlaluan sebagai saudara.
... Aku hanya bisa menunggu kesempatan mengebalikannya.
Aku membaca buku sambil menajamkan pendengaranku. Aku bisa mendengar langkah kaki samar dari balik tembok tiap detiknya. Kenapa dia terus mondar-mandir dari tadi?
Aku tidak bisa fokus ... aku memang sedang mengawasi kamar sebelah, tetapi aku juga sangat gelisah karena celana boxer yang ada di kamarku.
Aku hanya bisa menatap celana boxer yang tergeletak di atas kasurku itu.
... Ini kamarku ....
... Tidak ada siapa pun di sini ....
... Apapun yang kulakukan ... tidak ada yang akan ....
“....”
Kemudian, hatiku seperti dicengkeram oleh tangan iblis yang menakutkan.
Aku berguling ke kasur. Tentu saja karena lelah, bukan karena ada maksud lain, loh. Wajahku hanya kebetulan terbaring di sebelah celana boxer itu kok. Intinya ... intinya ... intinya hidungku sangat dekat dengan celana boxer itu .... Ahh, aku jadi deg-degan. Mungkinkah aku terkena aritmia(3)? Tidak, ini pasti hanya penyakit yang menyebaban jantung berdegup kencang. Yah, nanti juga bakal sembuh sendiri. Oh, iya! Aku hanya perlu menarik napas yang dalam dan menenangkan diri ––
*Sniff**Sniff*4
“––––––– HAH!?”
Aku kembali tersadar setelah menarik napas yang dalam.
I .... Ingatanku hilang lagi! Lagi-lagi hilang! Aku tidak ingat yang barusan terja~!
“... Ohhhhhh ....”
Aku masuk ke dalam selimut, meringkuk layaknya janin.
Aku menangkupkan kepala.
Aku mau mati saja.
Aku seperti gadis lugu dengan gairah yang tak terpuaskan ...! Harusnya aku sudah lulus dari masa suramku! Harusnya aku sudah jadi gadis super duper populer yang ada di kasta teratas!
Ini karena pria itu memasukkan celana boxer-nya ke tumpukan cucian. Gara-gara dialah aku jadi tidak sengaja membangunkan diriku yang dulu. Gara-gara dialah si penyembah penghapus yang dulu bangkit kembali!
... Kalau pria itu sampai tahu ....
Jelas perbuatanku ini akan melanggar “peraturan saudara” yang kami buat .... Mustahil membantah maupun meminta masa percobaan. Hanya ada putusan bersalah yang mutlak. Aku akan dipaksa jadi Adik perempuan pria itu ... lalu ... lalu ....
[“Yooo, Adik perempuan mesum yang mencuri celana dalam Kakak tirinya. Beritahulah keinginanmu. Adakah yang bisa kulakukan untukmu?”]
[“A-A-A ... A-Aku tidak mesum ...!”]
[“Hee~? Jadi, mencuri celana dalam dan menyembah penghapus itu bukan perbuatan mesum, ya? Kalau begitu ini juga normal dong!”]
[“Ja-Ja-Ja ... Ja-Jangan Irido-kun ...!”]
[“Harusnya kau memanggilku Onii-chan, loh! Dasar adik mesum!”]
[“O-O-O ... O-Onii-ch ––– kyaaaa!”](5)
Aku berkhayal saat memejamkan mata. Rasanya seperti menatap jurang yang dapat menatap balik. Aku membuka mata dan keluar dari selimut.
Aku bisa gila kalau begini terus! Bisa-bisa aku malah menulis buku harian dengan coretan aneh dan catatan kematian!
Tidak ada waktu untuk menunggu pria itu tidur. Aku harus cepat mengembalikan celana boxer ini!
Aku mengambil celana boxer itu, lalu turun dari kasur.
Kemudian ....
*Kreek* Aku mendengar pintu kamar sebelah yang dibuka.
“...?”
Aku menajamkan pendengaranku dan mendengar suara orang yang menuruni tangga.
Aku melihat jam dan ternyata sudah tengah malam. Apa yang dilakukannya larut malam begini...?
... Apa ini kesempatan mengembalikan celana boxer ini?
Kalau dia pergi ke minimarket, maka ini adalah kesempatan bagus untuk mengembalikan celana boxer-nya ....
Aku memasukkan celana boxer itu ke dalam saku piyama.
Aku hanya melihat ruangan yang gelap saat mengintip ke lantai pertama. Hanya ada lautan malam di depanku.
Pergi ke mana dia...?
Aku menuruni tangga selangkah demi selangkah dengan berhati-hati. Aku khawatir kalau Mizuto tiba-tiba muncul dari dalam kegelapan. Suasana tegang ini membuatku terengah-engah. Aku akan berpura-pura ke toilet seandainya Mizuto benar-benar muncul. Aku turun ke lantai pertama sambil menenangkan diri.
Tidak ada sedikit pun bayangan di ruang tamu. Lampu toilet masih mati. Tidak ada suara dari pintu keluar.
... Artinya ...
Aku merasa ada pergerakan dari ruang ganti dan aku pun buru-buru ke ruang tamu yang redup dengan panik.
Mizuto muncul bertepatan saat aku menahan napas. Dia berjalan sambil berjinjit. Jelas sekali kalau dia sedang mengendap-endap.
Orang tua kami masih dalam masa pengantin baru. Jadi, kami sepakat agar tidak mengganggu mereka saat malam hari. Mungkinkah dia mengendap-endap karena itu? Atau karena alasan lain ...?
Bayangan Mizuto perlahan menyatu dengan kegelapan yang menunggu di tangga ... kemudian menghilang.
Aku tidak tahu yang dia rencanakan, tetapi ini kesempatan yang bagus. Sekarang aku tidak perlu khawatir ketahuan pria itu.
Aku mengendap-endap ke ruang ganti. Aku menyalakan lampu dengan jari-jemariku yang bahkan tak bisa kulihat.
Aku bernapas dengan lega saat melihat ruangan kosong dan terang itu .... Akhirnya aku bisa terbebas dari beban ini ....
Wahai gadis suram lagi terkutuk yang tersegel jauh di dalam kesadaranku, takkan pernah kubiarkan engkau keluar lagi.
Aku bersumpah dengan serius kepada diri sendiri dan menghampiri keranjang cucian yang ada di sebelah mesin cuci.
“... Hah?”
Tiba-tiba ada perasaan mencekam yang berkecamuk di punggungku.
Ada dua keranjang cucian. Satu untuk perempuan dan satu untuk laki-laki. Ibu memutuskannya setelah mempertimbangkan usiaku saat ini.
Di keranjang cucian perempuan ....
Mata bingungku tertuju pada bagian atas tumpukan pakaian yang mirip dengan Eldritch Altar. Ada sesuatu yang tidak ingin kumengerti di atasnya. Sebuah fakta mengejutkan yang membuatku gemetar.
... Ada sebuah Bra.
Dari ukuran dan mereknya, sudah jelas itu punyaku.
“....”
Aku selalu menyembunyikan braku di bagian bawah keranjang cucian tiap kali melepas pakaian.
Sama seperti celana boxer di tanganku ini, pria itu juga mengambil braku yang ada di bagian terbawah keranjang cucian.
Tak seorang pun di rumah kami yang akan memperlihatkan pakaian dalamnya secara terang-terangan.
Kalau begitu ....
Mengapa braku ditinggal di bagian atas begitu saja?
“....”
Aku meletakkan celana boxer itu ke bagian bawah keranjang cucian laki-laki dengan tenang.
... celana boxer-nya telah mendarat di tumpukan cucian.
Aku teringat sesuatu.
Pria itu kebetulan muncul saat aku ada di sini. Dia memakai piyama dan tidak ada yang terjadi. Namun ... kalau diingat-ingat, bahu kecilnya sedikit gemetar.
Kalau tidak salah tangannya juga dipindahkan ke belakang. Tunggu, apa dia menyembunyikan sesuatu?
“....”
Aku meninggalkan ruang ganti dengan tenang, menyusuri koridor, menaiki tangga, menyusuri lantai dua, dan membuka pintu.
Namun, bukan pintu kamarku.
Melainkan kamar Mizuto.
“Hah? ... A-Apa? Kenapa tidak mengetuk du ....”
Dia memalingkan muka karena terkejut.
Bahunya terlalu kecil untuk seorang pria dan entah mengapa cardigan itu sangat cocok untuknya. Meski begitu, ada ribuan kata dari lubuk hatiku yang sedang menunggu untuk di semprotkan ke tubuh kurusnya.
“...! ~~~~~~~!”
Namun ... aku tidak bisa berkata apa pun.
Ada terlalu banyak kata untuk diucapkan lidahku, sedangkan wajahku terus memanas.
“... A-Ada apa? Kenapa kau malah tersipu setelah menerobos ke kamar orang? Sihir macam apa in ––”
“–– Keranjang cucian.”
Pada akhirnya kata itulah yang kuucapkan.
“Lihat-lah-keranjang-cucian-dan-kau-akan-paham.”
“Eh ....”
Mizuto menunjukkan ekspresi seolah-olah dunia akan berakhir.
Dia kira sudah ketahuan .... Ekspresinya agak lucu. Namun, sayangnya aku sedang tidak mood untuk mentertawainya.
Mizuto bergegas menuruni tangga dengan langkah yang keras saat aku membukakan jalan.
Dia kembali 30 detik kemudian. Itu bahkan lebih cepat daripada saat dia turun.
“Kau ...! Ahhh ...!”
Lihat? Pada akhirnya dia tidak bisa berkata apa pun meski wajah memerahnya hendak memberitahuku sesuatu. Karena itulah wajahku hanya bisa memerah saat menerobos tadi.
Setelah menenangkan diri sejenak, lalu aku pun menyatakan dengan serius, “Kita akan memulai rapat keluarga sekarang.”
Kami sepakat mengadakan rapat di ruang tamu karena tidak ingin mengadakannya di kandang lawan. Tentunya pertemuan itu diadakan saat tengah malam.
Mizuto duduk di lengkungan sofa berbentuk L, sedangkan aku berada tiga kursi darinya. Aku tidak bisa tenang kalau tidak melihat wajahnya. Namun, mustahil aku duduk di sampingnya .... Hanya ini pilihan yang ada.
“... Kita akan memutuskan siapa yang salah.”
Aku memelankan suara sambil mengalihkan pandangan ke arah TV yang menghadap kami.
Ibu dan Ayah sedang tidur di kamar tidur lantai pertama ... mungkin. Namun, kami tetap tidak boleh berisik apa pun yang terjadi. Lagi pula, itulah salah satu peraturan ketat yang kami buat sejak awal.
“... Oke. Bagaimana cara memutuskannya?”
“Enggak perlu ribet, batu-gunting-kertas saja.”
“Yang menang yang salah?”
“Tentu saja yang kalah yang salah.”
“... Oke. Kalau begitu, batu-gunting-kertas ––”
Akhirnya aku kalah setelah tiga pertandingan.
Akulah yang salah.
Aku mulai membela diri.
“MAU BAGAIMANA LAGI!!”
“ENGGAK USAH TERIAK-TERIAK, GADIS GOBLOK!”
Ups.
Kami buru-buru menyembulkan kepala ke koridor dan melihat ke arah kamar orang tua kami. Nampaknya Ibu tidak terbangun karena teriakan tadi.
Aku mulai menjelaskan setelah kami kembali merayap ke sofa.
“... Mau bagaimana lagi. Kajahatan itu dilakukan oleh iblis yang tertidur di dalam diriku .... Itu bukan salahku.”
“Serius deh, bisa berikan alasan yang lebih logis lagi enggak?”
“Aku jadi seperti saat masa suram dulu ...! Aku tidak tahan ... dengan celana dalammu ....!”
“’Masa suram’ dengkulmu. Kedengarannya seolah-olah mencuri celana boxer-ku merupakan hal yang wajar bagi dirimu yang dulu saja. Apa alasannya?”
“Ahh.”
Ahh .... Bukankah barusan aku membongkar aib sendiri?
“... A-Apa aku juga harus menjelaskan tentang itu ...?”
“Ya. Tidak ada lagi rahasia-rahasiaan. Mari saling membongkar rahasia masing-masing.”
“Uuuuuu ...! Ja-Jangan menganggapnya menjijikan, oke?”
“Tidak masalah. Lagi pula, kau memang sudah menjijikkan.”
“Aku dengar, loh! Namun ... kalau kau bilang begitu ....”
Semua harapan telah hilang. Aku hanya bisa mengakui dosa masa lalu yang telah kulakukan.
Dengan kata lain, aku meberitahu tentang diriku yang menyimpan semua barang pemberiannya ke dalam kotak harta. Mulai dari penghapus, sampai uang receh.
Apa-apaan interogasi ini .... Kukira aibku telah tersegel, tetapi aku malah harus menjelaskan semua kepadanya. Apa tidak ada eldritch jahat yang bisa mengubur semua ini ke kegelapan?
“Jadi, kebiasaan menyimpan bendamu kambuh, atau semacam itu ....”
Aku melihat kesamping dari tadi dan baru sadar kalau Mizuto tidak menatapku. Dia menutup mulut dan menyembunyikan wajahnya, bahunya naik-turun.
Argh, pria ini ...!
“... Ka-Katanya kau tidak akan menganggapnya menjijikkan?”
“Ti-Tidak ... kok ....”
Mizuto melirikku dari samping, lalu memalingkan wajahnya.
U-uuuuu ...! Aku harus apa? Sakit? Malu? Atau marah? Aku mendekati Mizuto dengan panik. Mood-ku masih tidak stabil.
“I-Itu dulu tahu! Sekarang beda lagi!”
“Ti-Tidak. Aku mengerti kok, mengerti, oke?”
“Lihat wajahku kalau bicara ...!”
“Ogah.”
Aku ditolak mentah-mentah. Dia benar-benar tak sudi melihat wajahku ya? Begitu, begitu. Maaf yang sebesar-besarnya karena sudah jadi gadis suram nan menjijikan.
Aku cemberut dan menyadari kalau telinga Mizuto agak memerah ... erm.
“... Apa ... kau malu?”
“... Tidak.”
“A-Apa kau senang ...? Senang karena tahu aku menyimpan uang receh dan penghapus pemberianmu ...?”
“Siapa yang senang!? Dasar menjijikkan! Sangat-sangat menjijikkan!”
“Jawab dan lihat wajahku!”
“Kubilang enggak!”
Mizuto terus memalingkan wajah dengan gigihnya. Ahh! Serius deh ...! Wajahku jadi ikutan panas nih!
Aku mengipasi wajah dengan tangan. Aku tidak boleh membuat reaksi yang menyebabkan salah paham. Aku tidak ingin ada yang mengira aku masih menyukai pria ini.
“... Ngomong-ngomong ....” Mizuto masih memalingkan wajah saat mengubah topik pembicaraan.
“Tak disangka kau akan mengakui semua dengan jujur. Padahal kau bisa bikin alasan lain, lalu menyalahkanku.”
“... Ah.”
“Hah?”
Mizuto melihat ke arahku dengan heran. Kali ini akulah yang memalingkan wajah.
“... Tadi kau tidak kepikiran melakukan itu ya?”
“... Bu-Bukan begitu. I-Ini ... I-Ini namanya main adil tahu ....”
“Jadi, bukan karena kau memang ingin? Akui sajalah! Kau sangat ingin menunjukkan kemesumanmu itu, ‘kan?”
“Sekarang giliranmu!”
Mengapa kata-katanya mirip dengan khayalanku tadi!? Apa dia bisa membaca pikiran!?
Mizuto merengut sambil mendecakkan lidahnya. Dia hanya mengulur waktu untuk mencari alasan, ya? Aku menatap wajahnya dengan tajam dan ia pun berbicara dengan canggung.
“Jujur saja ... mungkin kau tidak akan mempercayainya ....”
“Untuk apa bicara begitu? Aku memang tidak pernah percaya padamu tahu.”
“... Bramu terjatuh .... Jadi ... aku mengambilkannya.”
“....”
Aku menatap si bodoh yang memalingkan wajah itu.
“... Da-Dasar brengsek ...! Mengapa alasanmu terdengar wajar ...!?”
“Ti-Tidak, aku serius ...! Bramu jatuh di depan keranjang cucian! Aku mengabil dan ingin memasukkannya kembali, tetapi kau ada di dalam ...!”
“... Katanya mengakui rahasia masing-masing? Kok enggak mengaku sih? Kali ini akan kumaafkan. Jadi, akui saja kalau kau masturbasi menggunakan braku!”
“Kau ...?! Siapa yang mastur ...?!”
Mizuto berbalik lagi.
... Erm, tu-tunggu. Perasaanku jadi tidak enak kalau kau tidak menyangkalnya ....
“Ti-Tidak. Te-Tentu tidak. Mustahil malah. Hanya saja ... erm ....”
“... ‘Hanya saja’ apa?”
“... Ukurannya lebih besar dari yang kubanyangkan ....”
“... Ahhh ....”
Aku tidak bisa berkata apa pun meski telah membuka mulut.
... Ahhhhhhh!! Mengapa harus aku yang mendapatkan kenangan memalukan ini!?
Mungkin dia terkejut karena payudaraku tumbuh pesat setelah putus –– Eh? Tunggu dulu!
Bagaimana dia tahu ukuran payudaraku ...? Bagaimana juga dia tahu kalau payudaraku lebih besar daripada saat SMP dulu?
... Sebenarnya seberapa sering pria ini mengamati dadaku?
“... Ka-Kau ... tidak melakukan yang aneh-aneh dengan braku kan ...!?”
“... Mi-Misalnya?”
“Mi-Misalnya ....”
Aku tidak bisa berkata apa pun setelah Mizuto balik bertanya dengan gelisah.
“Jangan khawatir. Aku hanya pergi ke ruang ganti dan kamarku –– aku bersumpa tidak melakukan hal lain.”
“... Sumpah?”
“Sumpah.”
“Kau tidak menyentuh Cup(6)-nya, ‘kan?”
“Ti ... Tidak.”
“Jawabanmu ada jedanya tuh!”
“Sumpah ...!”
Mizuto hampir saja berteriak, tetapi dia bisa menahannya. Dia menghela napas dan lanjut bicara.
“... Biarkan aku juga bertanya balik. Apa kau melakukan yang aneh-aneh dengan celana boxer-ku? Apa kau mengendus-endusnya?”
“... Ugh ....”
“... ‘kan? Lebih baik jangan membahas ini lagi.”
“... Ya. Sepertinya lebih baik begitu.”
Tak kusangka akan datang hari di mana aku akan sepaham dengannya. Ini penemuan baru dalam sejarah manusia.
Kedua belah pihak telah menyatakan alasannya. Jadi ....
“... Mizuto-kun?”
“... Apa lagi, Yume-san?”
“Yah ... sebenarnya kau juga kalah kan?”
“Itu peraturannya, ‘kan? Oke.”
Tidak ada saudara yang saling mencuri celana dalam masing-masing. Apalagi sampai berjam-jam.
“Waktunya hukuman .... Kira-kira apa yang harus kau lakukan ya, Dik?”
“Dasar saudara kampret. Jangan kira akan kulepaskan meski kita sama-sama kalah, ya.”
Ini merupakan rapat kami yang paling kacau. Pada akhirnya kami membuat kesepakatan tidak jelas seperti, “Masing-masing boleh memberikan satu perintah apa pun, asalkan tidak terlalu mesum dan berlebihan.”
“... Nn ....”
Aku terbangun dan merasakan ada yang aneh dengan bantalnya. Aku memindah-mindah posisi kepalaku.
Apa-apaan ini ... rasanya sangat nyaman meski tidak empuk ... hatiku juga berdebar kencang meski baunya tidak sedap ....
“... Nn ....”
Aku berguling dengan agak linglung dan membenamkan mukaku ke bantal itu.
... Oh, iya!
Baunya ... agak mirip celana boxer itu ....
“... Nnnnn ~ ....?”
Ba ... Ba-Baunya mirip celana boxer itu!?
Aku tersadar setelah pemikiran itu terlintas di benakku.
Aku membuka kelopak mata dan menyadari keadaan saat ini.
“....”
Aku sedang tidur di sofa ... tepatnya di atas paha Mizuto.
Dengan kata lain, bantal pangkuan.
“....”
Aku bingung lalu ingatan sebelumnya pun muncul.
Aku melakukan rapat karena pakaian dalam .... Terus?
Rasanya aku belum kembali ke kamarku.
Tu-Tunggu ... apa aku tidur di sini ...?
Aku bangun dengan perlahan.
Cardigan yang membalutku terjatuh. Itu bukan punyaku. Cardigan itu ... yah, itu punya Mizuto.
Udara malam masih dingin meski ini telah musim semi. Apa pria itu memakaikannya saat aku tertidur ...?
Mizuto tertidur. Mungkin dia tidak bisa pergi karena aku menggunakan pahanya sebagai bantal.
... Meskipun dia akan kedinginan setelah memberikan pakaiannya.
Ayo balas budi kepadanya. Aku mengambil cardigan yang jatuh tadi dan memakaikannya ke Mizuto yang sedang tertidur.
Kemudian ... bibirnya sedikit bergerak.
“... Ayai ....”
Aku terkejut.
... Serius ini ... dia memimpikan apa? Siapa? Dan kapan? Apa dia masih punya rasa padaku?
Namun ... yah, itu cuma mimpi. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
“Fufu.”
Mizuto kemudian membuka matanya.
“Pagi.”
“...!?”
Aku tertegun dan tak bisa berkata apa pun.
Mizuto tersenyum nakal.
“Nampaknya pagi ini suasana hatimu sedang bagus. Senang karena tadi kupanggil dengan nama keluarga lamamu ya?”
... Pri .... Pria ini ...!
“Itu melanggar peraturan, ‘kan? ‘Saudara tidak memanggil menggunakan nama keluarga’!”
“Aku hanya menyebut nama teman sekelas di SMP dulu. Kau masih merasa nostalgia saat dipanggil begitu?”
Kalau itu ...! Uuuuuuuuuuuuuuu ~!
“Jangan tersipu begitu. Entah kau malu atau marah ... tetapi aku hanya melakukan sedikit pembalasan. Jangan marah. ya.”
“Pembalasan ...!? Memang apa yang kulakukan ...!?”
“Apa yang kau lakukan? Heh. Kau harus memotret dirimu yang sedang tidur dulu kalau mau tahu.” Mizuto mengatakan hal yang tidak jelas, lalu menggelengkan kepalanya. “Yah, sebentar lagi Ayah akan bangun. Ayo mulai berpura-pura akrab, Dik.”
“... Sudah kubilang, aku yang lebih tua. ‘kan!? Aku membencimu karena selalu mempermasalahkan hal kecil.”
“Kau juga sama.”
Perkataannya itu membuatku marah.
“Agar tidak terjadi kesalahpahaman ... aku hanya menyukai sifat blak-blakanmu yang membenci diriku.”
“... Kesalahpahaman?”
“Maksudku, kita mempunyai kehidupan masing-masing. Mari terus jalani sesuai kehendak masing-masing, tanpa menimbulkan masalah bagi yang lain.”
Dari dulu sampai sekarang, kau hanya terus membaca. Bahkan aku yang harus berinisiatif untuk menembakmu. Karena itulah aku membencimu.
Namun, harus kuakui kalau perkataanmu masuk akal.
Sekarang ya sekarang. Masa lalu ya masa lalu.
Si penyembah penghapus itu hanyalah diriku yang dulu ... dia hanyalah pacar pria itu di masa lalu.
o
Kemudia kami menghabiskan malam yang mengerikan itu dengan cara yang relatif damai.
Itu hanya tentang dua bocah bodoh yang melakukan hal konyol. Apanya yang mengerikan?
Aku mengingat kembali kejadian yang agak berlebihan itu saat di perjalanan pulang. Aku sedang melakukan perjalanan ke toko buku. Aku berbelok ke kanan menuju Jalan Karasuma. Sedikit lagi aku sampai ke gedung di depan halte bus yang merupakan tempat tujuanku.
Toko buku ada di lantai kedua dan ada restoran cepat saji yang terkenal di bawahnya. Kedua toko tersebut sering dikunjungi para siswa dari sekolah kami. Hal itu bisa dilihat dari seragam sekolah yang dipakai beberapa orang di sini.
Aku pernah ke sini bersama pria itu. Kami membeli buku, mengobrol berbagai hal sambil membaca, dan nampaknya juga ada teman sekelas yang melihat kami ....
Aku teringat masa lalu saat menaiki eskalator ke lantai dua.
... Kemudian, di depan mataku ada pemandangan neraka yang sukar dipercaya.
Restoran cepat saji sangat berisik karena para siswa di sana. Lalu di antara mereka ....
Adikku ... duduk bersebelahan dengan gadis dengan rambut hitam yang dikepang.
Kata-kata Mizuto kemarin bergema dipikiranku.
[... Mari terus jalani sesuai kehendak masing-masing, tanpa menimbulkan masalah bagi yang lain]
“... HAAAAAAAAAAAAAAAAAAHH ~~~~~~~~~~!?”
Jadi, ini yang dia maksud ‘sesuai kehendak masing-masing’?
CATATAN PENERJEMAH:
(1)Judul Chapter 6 ini sengaja aku ubah, jadi jangan heran kalau beda dari versi inggris.
(2)Mengompol dalam konteks sange. Lucu aja rasanya ngeliat ada karakter yang ngesarkas ke diri sendiri. wkwkwkwwkwk
(3)Aritmia adalah suatu penyakit yang terjadi karena impuls elektrik yang berfungsi mengatur detak jantung normal tidak bekerja dengan baik atau mengalami gangguan.
(4)Yap, Yume mengendus boxer Mizuto.
(5)Yap, Yume mengkhayal dirinya ‘diserang’ oleh Mizuto.
(6)Dua buah bulatan yang fungsinya menyangga ‘gunung’ perempuan.
0 comments