Mamahaha no Tsurego ga Motokano datta Vol. 01 BAB 05
BAB 5
Pria Itu Merawat Mantannya yang Sakit
(Itu gampang)
Saat itu bisa dibilang aku masih muda dan bodoh. Namun, aku mempunyai keberadaan yang disebut pacar pada saat pertengahan kelas dua SMP-ku.
Kupikir manusia memiliki kemampuan melupakan yang luar biasa, tetapi nyatanya aku tidak bisa melupakan masa laluku. Apa kemampuan ini memang memiliki kekurangan? Kita bisa melupakan pengetahuan yang penting dengan mudah. Namun, ingatan yang ingin dilupakan akan terus melekat dan tidak dapat terhapus.
Aku merasa ada yang janggal akan hal ini. Kalau keanehan pada makhluk hidup di sebut penyakit, berarti umat manusia sudah terjangkit penyakit sejak dilahirkan .... Aku mencoba mengatakan ini layaknya seorang filsuf dari zaman dahulu. Yah, sekarang aku menyadari tentang penyakit ini.
Namun, bukan berarti aku pernah terjangkit semacam penyakit mematikan. Kata-kata ini untuk seorang gadis yang nampak agak rapuh karena terkena demam. Bukan aku, melainkan gadis itu –– Yume Irido.
Itu terjadi saat bulan November kelas 2 SMP-ku. Pagi hari terasa dingin karena hampir memasuki musim dingin. Pagi itu aku tidak melihat Ayai di persimpangan yang biasanya.
Aku masih menjadi pria baik pada saat itu. Oleh karena itu, aku buru-buru meneleponnya dan mengetahui kalau dia sakit. Setelah menjawab “Begitu ya. Semoga lekas sembuh,” aku pun kembali berangkat sekolah sendirian seperti saat sebelum berpacaran.
Lalu saat sepulang sekolah ...
Sekolah ini sangat ketinggalan zaman. Ada banyak kertas yang terbuang untuk mencetak berbagai hal. Memangnya tidak bisa dikirim lewat surel saja? Lagi pula, tidak ada ruginya. Itulah pendapatku sampai sekarang. Namun, hal itu membuatku senang hari ini. Hari ini wali kelasku berkata.
“Apa ada yang mau mengantarkan cetakan materi pelajaran hari ini kepada Ayai?”
Tidak ada yang mau mengajukan diri. Pekerjaan ini biasanya diserahkan kepada pecundang yang di sebut “pengamat”. Namun, kali ini aku tidak akan menyebut ini sebagai tugas seorang pecundang.
Saat itu aku berusaha membuat alasan yang tidak terlalu aneh dan memungkinkanku untuk membawakan cetakan materi pelajaran ini kepada Ayai.
Sebenarnya ini berisiko membuat hubungan kami ketahuan. Namun, diriku yang busuk ini berhasil membuat alasan sempurna.
“Erm ... kayaknya rumah kami searah ....”
Kalau dipikir-pikir lagi, itu hanya alasan yang normal. Yang jadi masalah adalah cara memasuki rumahnya.
Kemudian aku pun melakukan kunjungan ke rumahnya.
Aku sudah mendapatkan alamat Ayai dari wali kelas dan sedang berdiri dengan gugup di depan apartemennya. Bagaimana kalau keluarganya muncul? Apa aku langsung pergi setelah menyerahkan cetakan materi pelajaran ini? Tidak, tidak, tidak. Ayai hanya mempunyai satu orang tua. Ibunya pasti bekerja dan seharian ini dia sudah sendirian di rumah ...
Mungkin saja dia merasa kesepian.
Aku juga selalu sendirian di rumah saat demam. Jadi, aku bisa memahami yang dirasakan Ayai.
Sebenarnya aku sangat ingin mengejutkannya dengan suara bel pintu, tetapi tidak baik mengejutkan orang yang sedang sakit. Jadi, aku memutuskan untuk meneleponnya.
“Ehh!? I-Irido-kun!? Ka-Kau di depan rumahku!?”
Dia terkejut saat aku meneleponnya.
“Tu-Tunggu ...! Tu-Tunggu sebentar!”
“... Tu-Tunggu dulu, apa kau mau ganti baju?”
“Soalnya ...!”
“Kau demam lho. Tidak perlu memaksakan diri. Aku tidak keberatan kok.”
Kalau kata-kataku tadi diterjemahkan, kurang lebih artinya, “Aku ingin melihatmu memakai piyama.”
Dasar pubertas brengsek.
Yah, penjelasanku tadi tidak sia-sia. Ayai benar-benar menyambutku dengan piyama berwarna merah muda. Imu –– ehem, biasa saja. Yap, gadis yang memakai piyama itu normal.
Tentunya aku tidak langsung pergi begitu saja. Lagi pula, ini adalah kunjungan pertamaku ke rumah pacar. Aku membaringkan Ayai ke kasur dan merawatnya ... yah, sebenarnya aku hanya mengupaskan apel dan memberikan minuman isotonik kepadanya. Biar kutegaskan, aku sama sekali tidak menyentuh atapun menyeka tubuhnya dengan handuk.
Tidak ada lagi yang harus dilakukan, aku hanya duduk sambil memandangi Ayai.
Ibu Ayai harusnya pulang sebentar lagi. Jadi sudah waktunya ya ... saat aku memikirkan itu, Ayai menutupi mulutnya dengan selimut dan menatapku dengan wajah merona seperti terbakar.
“... Irido-kun.”
“Hm? Apa kau menginginkan sesuatu?”
“Erm ... sebenarnya ....”
Dia gemetar dan mengeluarkan tangan kanannya dari balik selimut.
“To-Tolong ... pegang tanganku ... a-agar aku senang ....”
Tentu hatiku tidak berdebar hanya karena hal sepele ini (TIDAK BERDEBAR SEDIKIT PUN!), tetapi aku mengerti yang dia rasakan.
Aku selalu merasa tak berdaya saat terkena demam. Apalagi saat sendirian di rumah. Tanpa disadari aku merindukan sentuhan orang lain saat terkena demam ....
“Itu gampang.”
Aku menggenggam tangannya dengan lembut.
Tangannya panas dan juga sekecil tangan bayi.
“Fufufu ...”
Dia terlihat bahagia, malu, dan akhirnya mulai tertidur. Aku bisa mendengar suara napas yang lembut di telingaku.
Aku ingin terus memegang tangannya .... Ahh, aku tidak bohong kok, memang itulah yang sedang kupikirkan.
Namun, aku akan bertemu Ibu Ayai kalau terus di sini. Kurasa bukanlah hal yang baik kalau ada laki-laki memasuki kamar gadis yang sedang demam. Apalagi gadis itu sekarang sedang tidur di kasurnya.
Setelah mendengarkan hembusan napas tidurnya selama 30 menit, aku melepaskan tangan Ayai dengan enggan dan pergi dari rumahnya.
Kalau diingat-ingat, sepertinya aku berselisih jalan dengan Yuni-san saat pulang ke rumah. Saat itu hampir saja.
o
“Eh? Di mana Irido-san hari ini?”
Seperti yang sudah kuduga, itulah yang ditanyakan Kogure Kawanami saat menghampiri kursiku sambil melihat ke sekeliling kelas.
Aku sudah mengatisipasi pertanyaan ini dan telah menyiapkan jawabannya.
“Dia sedang beristirahat di rumah karena terkena demam.”
“Eh? Serius?”
“Serius ... yah, kurasa dia kelelahan karena banyaknya perubahan yang terjadi di hidupnya.”
Nama keluarganya berubah, dia pindah ke rumah baru, dan harus tinggal seatap denganku. Wajar kalau dia kelelahan, bagaimanapun aku tidak berhak menyalahkannya.
“Eh ~ !? Yume-chan tidak hadir hari ini ~ !?”
Aku dikagetkan oleh teriakan yang datang dari belakangku
Aku hampir pingsan karenanya. Saat berbalik, aku melihat gadis mungil dengan kucir kuda yang berayun-ayun di belakang kepalanya.
Tingginya sama seperti Yume saat kelas dua SMP dulu, tetapi gadis mungil ini lebih bersemangat darinya. Karena sifatnya ini (dan juga karena dia sering bersama Yume), entah mengapa aku bisa mengingat namanya.
Dia adalah Akatsuki Minami, salah satu anggota kelompok yang sering bersama Yume Irido. Dia jugalah yang biasanya memberikan salam pertama kali kepada gadis itu.
Minami-san menghantamkan tangan ke mejaku.
“Ka-Katanya 38 °C sih ....”
“38 °C!? Bukankah itu buruk ~~ !?”
“Tenanglah, Minami. Kau membuat Irido takut.”
Kawanami memegang tengkuk Minami-san layaknya sedang memegang kucing dan menjauhkannya dariku. Aku sangat terbantu. Aku benar-benar payah dalam menghadapi orang-orang yang sok akrab begitu saja.
“Eh! Kawanami!? Jangan memperlakukanku layaknya kucing!”
“Oke, oke.”
“Nyaa!?”
Kawanami melepaskan tengkuknya secara tiba-tiba dan Minami-san pun jatuh ke lantai. Dia benar-benar mirip kucing.
Namun, aku belum pernah melihat Kawanami bertindak begitu. Jadi, aku pun bertanya kepadanya.
“Apa kau berteman dengan Minami-san?”
“Eh? Tida –– yah, kami memang saling kenal sih. Kami sekelas di tempat bimbel.”
“Ya, ya. Tidak disangka orang ini bisa bersekolah di sini!”
“Kau juga sama.”
Begitu ya. Nampaknya kebanyakan siswa SMP mengikuti bimbel sebagai persiapan untuk memasuki sekolah semacam ini. Berbeda dengan aku dan Yume yang hanya mengadalkan kemampuan sendiri.
Walau sepertinya mereka berdua bukan tipe orang yang akan mengikuti bimbel dengan serius.
“Yang terpenting!”
Minami-san langsung berdiri secepat peluru yang ditembakkan dari pistol.
“Apa sekarang Yume-chan di rumah sendirian?”
“Eh, Ahh ... ya. Ayah dan Yun –– Ibu sedang bekerja, sedangkan aku juga harus bersekolah.”
Lagi pula, aku juga tidak ingin merawat gadis itu sepanjang hari.
“Eh ~! Kasihan sekali ~! Yume-chan pasti kesepian ....”
... Tiba-tiba ada ingatan tertentu yang muncul di pikiranku.
Aku mengingat wajah yang memintaku untuk memegang tangannya, sebuah wajah yang tidak ada mirip-miripnya dengan Yume Irido.
“Baiklah! Sudah diputuskan!”
Tiba-tiba Minami-san menghantam mejaku lagi.
“Ayo menjenguknya sepulang sekolah nanti! Boleh kan, Irido-kun!?”
“Ehh ....”
“Jangan menunjukkan penolakanmu sejelas itu dong!”
“Oh, sepertinya menarik. Aku ikut juga deh ––”
“Oh, iya. Kau tidak perlu datang kok, Kawanami.”
“Kenapa!?”
... Yah, aku memang harus merawat gadis itu sampai Ayah dan Yuni-san pulang .... Akan jadi lebih mudah kalau Minami-san juga ikut merawatnya.
Pada akhirnya aku pun mengantar Minami-san ke rumahku saat pulang sekolah.
Tentunya Kawanami tidak ikut.
“Rumahmu lumayan besar. Awalnya ini memang rumah keluargamu kan, Irido-kun?”
“... Memang agak tua sih, tetapi Ayahku sudah tinggal di sini sejak masih kecil.”
“Hmm. Kalau begitu aku masuk ya ~!”
Minami-san langsung menyelonong masuk setelah aku membuka pintu. Dia benar-benar menganggap ini seperti rumahnya sendiri.
“Di lantai dua, ‘kan?”
“Dia ada di kamarnya. Mungkin dia akan kaget kalau kau muncul tiba-tiba. Apa kau yakin?”
“Eh ~. Padahal aku ingin mengagetkannya ...”
“Tidak baik mengagetkan orang yang sedang sakit tahu.”
“Kurasa kau benar.”
Dia lebih penurut daripada dugaanku. Syukurlah.
Aku mengantar Minami-san ke lantai dua, lalu mengetuk pintu kamar Yume. Aku harus mengetuk pintu dulu supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan .... Ini merupakan salah satu peraturan yang kami buat setelah tinggal seatap.
Tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang tidur.
“Aku masuk ya.”
Aku memberi tahunya dan mulai masuk ke kamarnya.
Kardus yang digunakan Yume saat pindahan telah dibersihkan ... dan sekarang hanya ada buku-buku biasa dikamarnya. Setidaknya lantai di sini lebih bersih daripada di kamarku.
Aku memang sudah terlalu banyak membicarakan tentang gadis itu, tetapi asal tahu saja, kamarnya tidak terlihat seperti kamar seorang gadis. Ada bantal karakter kartun lama yang tergeletak di lantai dan juga ada beberapa botol di atas mejanya. Kemungkinan itu adalah botol parfum. Ada sedikit sekali barang yang memberikan kesan kamar seorang gadis.
Saat ini Yume sedang berbaring di kasur.
Kurasa dia masih belum baikan. Dia memakai piyama berwarna biru yang tipis dan rambut hitamnya diikat menjadi kucir dua. Hanya ada satu hal imut dari gadis laknat yang sering mencemoohku tanpa ampun ini, yaitu suara mendengkurnya.
“... Apa Yume-chan sedang tertidur?”
“Sepertinya begitu.”
Alis Yume yang panjang bergerak dan sedikit terangkat saat kami mendekatinya.
Apa kami membangunkannya, ataukah dia sedang setengah tertidur.
‘... Nn ....’
Matanya yang setengah terbuka melihatku dengan bingung.
Kemudian tersenyum dengan lega.
“... Irido ... kun ....”
A-Arrgghh!?
Hampir saja aku menjerit .... Dasar gadis ini! Akan jadi masalah kalau kau memanggilku begitu sekarang, tahu!
“O-Oh. Bagaimana kondisimu?”
Untunglah dia memanggilku dengan suara yang pelan. Jadi, aku bisa berpura-pura tidak terjadi apa pun. Kalaupun mendengarnya, mungkin Minami-san hanya akan mengabaikan dan berpikir telah salah dengar. Mungkin.
Nnn, dia menarik ujung bajuku.
“Kau ... pergi kemana .... Aku kesepian ....!”
UOOORRGGGHH!? Yume-san ––!! Apa kau sedang mengigau dan mengira ini setahun yang lalu!?
Tidak, aku tidak boleh kalah. Aku sangat gugup dan berkeringat. Namun, aku berusaha berpura-pura tidak terjadi apa pun dan menunjuk Minami-san yang ada di belakangku.
“Li-Lihatlah! Minami-san datang untuk menjengukmu.”
“Selamat sore, Yume-chan. Apa kau sudah baikan ~ ?”
Sapaan Minami-san masih sesemangat yang biasanya, mungkin karena dia tidak mendengar kata-kata menjijikan Yume tadi .... Lalu karena sapaan itu (dan karena melihat wajah Minami-san), kesadaran di matanya perlahan-lahan terkumpul.
“... Ah ....”
Sepertinya dia menyadari apa yang telah dikatakannya tadi.
Wajahnya memerah. Namun, untungnya dia sedang demam. Minami-san pasti mengira wajahnya memerah karena demam. Yap, semoga memang begitu.
Yume melototiku dengan sedikit marah. Ini bukan salahku kan?
Kemudian dia memberikan senyum seorang siswi terhormat.
“Ah! Terima kasih, Minami-san ... demamku sudah baikan kok ....”
“Jangan memaksakan diri untuk berbicara .... Ah! Apa ada sesuatu yang kau inginkan? Kau lapar? Aku membeli banyak bahan makanan, loh.”
Minami-san mulai merogoh belanjaan yang dibelinya dari supermarket dekat rumahku. Aku yang membawakan belanjaan itu sampai tiba di pintu masuk.
“Kau terlalu berlebihan ... maaf ....”
“Enggak apa-apa, Enggak apa-apa! Aku akan meminjam dapurnya dulu ya! Ayo bantu aku, Irido-kun!”
Aku berencana untuk meninggalkan mereka berdua, tetapi sayangnya Minami-san berhasil menggenggam tanganku.
“... Eh? Aku?”
“Kau jago memasak, ‘kan? Yume-chan yang memberitahuku”
... Jadi, gadis itu memang sering membicarakanku bersama teman-temannya.
Aku melihat Yume menghadap ke dinding saat aku meliriknya. Mungkin dia mengkhawatirkan kekonyolan dirinya tadi.
“... Yah, kalau masak bubur sih bisa.”
“Sudah, sudah! Ayo cepat!”
Minami-san menyeretku dari kamar Yume.
Aku merasakan sedang ditatap dari belakang. Sudah kubilang, itu bukan salahku ....
“Hei, Irido-kun ~. Hubungan kalian seperti apa sih?”
Pertanyaan itu dilontarkan saat aku sedang memotong sayuran dan menyebabkan jariku hampir terpotong.
“Hu-Hubungan yang bagaimana?”
“Jelas hubungan sebagai saudara dong.”
“A-Ahh ... sebagai saudara ya ....”
Sudah jelas tentang saudara ya. Tenanglah, diriku.
Minami-san terus berbicara sambil memecah telur.
“Tahun lalu kalian masih belum saling kenal, ‘kan? Namun, sekarang malah jadi saudara dan tinggal seatap. Apa kau bisa beradaptasi ~? Ditambah lagi jenis kelamin kalian juga berbeda.”
Kurasa lebih baik tidak pernah mengenal gadis itu sama sekali.
Setidaknya nol lebih baik daripada negatif, aku tidak perlu tertekan.
“... Yah, aku bisa kalau mau, tetapi ada banyak hal yang harus dikhawatirkan.”
“Hal yang harus dikhawatirkan? Misalnya?”
“Yah ....”
Kurasa.
“Saat mandi ....”
“Ehh ~? Jadi, kau tidak sengaja melihatnya ganti pakaian? Atau hal semacam itu?”
“Karena itulah kami berusaha menghindari terjadinya hal itu.”
“Eh!? Salah satu dari kalian belum pernah dilihat saat telanjang? Membosankan sekali.”
Hal seperti itu bisa membunuh salah satu diantara kami, tahu!
“Yah, wajar sih. Lagi pula, ada juga keadaan yang sulit di atasi, 'kan?”
“Contohnya?”
“Contohnya .... Apa yang terjadi kalau kau punya pacar ~? Sulit jadinya membawa pacarmu ke rumah kan?”
“Hah?”
Aku menatap ‘penghidup suasana’ di sampingku itu.
“... Memang kelihatannya aku punya pacar?”
“Bukan berarti kau punya sih, tetapi masih ada kemungkinannya, 'kan, Irido-kun?”
Aku deg-degan.
Dia hanya asal menyimpulkan saja. Yap, dia hanya asal ceplos saj–– mustahil dia tahu, ‘kan?
A... A-Apa Minami-san benar-benar tahu?
“Yah ~ entah bagaimana aku bisa merasakannya. Caramu memperlakukan gadis membuatku berpikir, 'Ahh, nih cowo pernah punya pacar ya ~,' yah, semacam itu deh.”
“He, he.” Minami-san terkikik dan memperlihatkan giginya yang terawat.
E-Eh ...? memangnya dia cenayang?
“Namun, tampaknya kau tidak punya pacar. Bagaimana? Aku benar, ‘kan?”
“... No comment.”
“Oh, begitu cara mainmu ya.”
Minami-san memasukkan sayuran yang telah kupotong-potong ke dalam panci, lalu mencampurnya dengan telur. Dia jago masak ya.
“Yah, aku tidak akan mengungkitnya. Namun, bagaimana jika kau punya pacar lagi?”
Buburnya sedang direbus.
“... Aku tidak punya dan tidak ingin punya pacar.”
“Jadi, apa kau akan memperkenalkannya ke Yume-chan seandainya punya nanti?”
Aku dihadapkan dengan pengandaian semacam itu ... tetapi entah mengapa aku bisa menjawabnya dengan lancar.
“Tidak. Lagi pula, aku tidak perlu persetujuan darinya. Selain itu, kedengarannya akan merepotkan.”
“Hmm ... Yume-chan tidak akan tahu kalau kau punya pacar dong. Kau tidak bisa nikah dong.”
“Yah, kalau itu ....”
Masalahnya beda lagi kalau menikah ... Meski aku tidak pernah terbayangan akan hal itu sih.
“Begitu, Begitu ~. Begitu ya ~”
“... Hei, sebenarnya apa maksud dari percakapan ini?”
“Ayolah, Mas ~ Ini hanya basa-basi biasa kok. Memangnya ada maksud lain?”
Dia benar.
Tidak terasa buburnya matang saat kami sedang berbicara.
“Ayo, Yume-chan. Bilang ‘Ahh ~’”
“A-Aku bisa makan sendiri ....”
“Enggak, kamu sedang sakit tahu. ‘Ahhh ~’”
“A-Ahhh ...”
“Panas, kah? Mau kutiupkan dulu?”
... Pemandangan macam apa yang sedang mereka tunjukkan ini sih?
Tadi aku memang kehilangan kesempatan untuk pergi, tetapi apa aku memang dibutuhkan di sini? Gadis SMA seperti mereka bisa bicara berduaan saja, ‘kan? Apa aku tidak boleh kembali ke kamarku?
kemudian setelah melihat adegan yuri(1) itu selama beberapa menit.
Mari tenang dulu. Untunglah Minami-san datang. Hampir saja aku melakukan hal yang memalukan ini sendirian.
“Fuu .... Terima kasih. Buburnya enak.”
“Aku juga senang kok. Akhirnya buburnya habis!”
“Terima ... kasih ... banyak ....”
“Yah, setengahnya buatan Irido-kun. Aku cuma mencampur bahan-bahannya saja! Kalau begitu ....”
Minami-san menumpuk peralatan makan dengan cepat dan mulai berdiri.
“Aku akan mencuci peralatan makannya. Tolong jaga Yume-chan ya, Irido-kun ~ !”
“E-Ehh ...!? A-Aku?”
“Tolong, ya!”
Minami-san segera pergi dari kamar ini. Aku tidak sempat menghentikannya.
Sekarang hanya ada aku dan Yume di sini.
... Apa-apaan ini.
Aku harus pergi dari sini.
Namun, sekarang sudah terlambat untuk pergi. Aku pun duduk di samping kasur dengan enggannya.
Entah mengapa Yume menatapku sambil menyembunyikan muka dengan bantal.
“... Apa?”
“... Enggak ada apa-apa.”
Pertanyaan singkat itu di jawab dengan singkat pula. Kami saling memalingkan pandangan.
“Kau membuatku tidak nyaman .... Dengar ya, yang terjadi saat kau bangun tadi bukanlah salahku. Justru akulah yang membantu mengatasinya.”
“A-Aku tahu kok ...! Aku hanya ... sedikit ... mengigau ....”
Dia cemberut sambil bersembunyi di balik selimut.
Yah, orang yang sedang sakit memang harus tidur yang cukup.
“... Kalian sangat akrab ya.”
Kukira dia tertidur, tetapi kenyataanya gadis itu malah menggumamkan hal aneh sambil memunggungiku.
“Hah? Akrab? Sama siapa?”
“... Minami-san. Kalian membuat bubur itu bersama ....”
“....”
Aku mulai berpikir untuk sejenak.
“... Izinkan aku memperjelasnya. Jadi, maksudmu, ‘Kau tidak suka kalau ada pria membosankan sepertiku yang dekat-dekat dengan temanmu’?”
“....”
Yume juga berpikir untuk sejenak.
“... Iya.”
“... Begitu ya. Oke, sekarang dengarlah jawabanku. Kami terlihat akrab hanya karena kemampuan bergaul Minami-san yang sangat hebat. Paham, ‘kan? Saking hebatnya, bahkan orang yang baru ditemui pun bisa terlihat akrab.”
“Jawabamu seolah-olah bilang kalau aku teman pals ....”
“Menurutku memang begitu kok, Junior-chan.”
“Aku bukan ‘Junior’....”
Suaranya terdengar lemah.
Nampaknya tenaganya masih belum pulih meski telah memakan bubur tadi.
“Lebih baik tidur saja dulu. Tidur itu obat terbaik untuk demam, loh.”
“... A ... apa kau akan ... pergi lagi?”
“Bisa lihat sendiri, ‘kan? Aku akan tetap di rumah.”
“Pembohong .... Padahal saat itu kau malah pulang, ‘kan ...?”
Volume suaranya melembut seperti arum manis secara perlahan. Apa dia melindur?
“... ‘Saat itu’ yang mana?”
“Waktu ... kupinta utuk memegang tanganku, ... kau malah menghilang saat aku bangun ....”
... Ahh, itu ya?
Setahun yang lalu, saat hampir memasuki musim dingin.
Saat aku menjenguk gadis ini ....
“... Saat terbangun ... hari sudah gelap, ... aku sangat kesepian ....”
Itu bukan salahku. Bagaimanapun aku tidak tahu kapan Yuni-san akan pulang. Jadi, kukira hanya perlu memegang tangannya sampai ia tertidur.
... Namun.
Padahal aku berselisih jalan dengan Yuni-san saat pulang dulu, tetapi gadis ini bilang kalau sudah gelap .... Kemungkinan dia terbangun tepat setelah aku pergi. Saat dia tidak merakasan kehangatan di tangannya ....
... Serius nih.
Demam gadis ini sepaket dengan ingatannya yang dulu? Penyakit aneh macam apa ini?
“... Iya, iya.”
Aku menyentuh wajah Yume.
“Kali ini aku tidak akan ke mana-mana lagi. Aku akan terus memegang tanganmu .... Jadi, tidurlah.”
“... Nn ....”
Yume nampak lega.
Kedua tangannya menggenggam tanganku dengan kuat.
“... Terima kasih ... Irido-kun ....”
Beberapa saat kemudian ... tiba-tiba dia mengarahkan tanganku ke dadanya.
“Bo-Bodo ...!”
“Nfu ....”
Dia tersenyum, lalu senyuman itu pun tergantikan oleh suara dengkuran.
Dada besarnya kembang kempis dan rasanya jari-jemariku akan terhisap ke kelembutan itu.
ASHIUNLKFNIUSKJNWLKNELKNWLNS!!
Aku bisa difitnah melecehkan saudara yang sedang sakit kalau begini! Sialaaaaaaannn ...!! Apa gadis ini akan tetap mempermalukanku meski sedang sakit!!?
... Namun, aku sudah berjanji dan tidak bisa melepaskan tangannya.
Aku menggeser tanganku secara perlahan agar Yume tidak terbangun.
Aku berhasil memindah tanganku ke posisi yang aman dan mengembuskan napas dengan lega. Aku penasaran bagaimana reaksi Minami-san kalau melihat yang tadi ....
... Eh?
Ngomong-ngomong, bukankah Minami-san terlalu lama di dapur?
Minami-san baru kembali setelah Yume tertidur.
“Yaaa, maaf,maaf. Tadi ada telepon ~”
Sepertinya dia ditelepon orang tuanya. Sudah saatnya dia pulang. Jadi, aku pun mengantarnya sampai pintu keluar.
Tentu aku sudah melepaskan tanganku saat Minami-san kembali ke kamar Yume. Lagi pula, mustahil aku bisa mengantarnya kalau masih memegang tangan Yume. Ayai yang dulu pasti akan memaafkanku, mungkin.
“Hei, Irido-kun. Ada yang ingin kutanyakan sebelum pulang ....”
“Hmm?”
Minami-san tiba-tiba berbalik dan menanyakan sesuatu dengan normalnya.
“Apa kalian ... benar-benar hanya saudara biasa?”
Aku tiba-tiba tertusuk oleh tombak kata-kata itu.
Jantungku tertusuk dan terjadi keheningan untuk sesaat.
Namun, aku langsung pulih sesaat kemudian.
“... Kami saudara biasa. Meski hanya saudara tiri sih.”
Minami-san menatapku dan berkata, “Ahh!” Nampaknya dia telah mengerti.
“Hanya saudara tiri ya! Bukan saudara kandung! Begitu! Begitu!”
Dia melangkah dengan cepat dan keluar dari rumahk –– maksudku, rumah kami.
“Maaf telah mengganggu ~! Jaga diri ya ~!”
Dia langsung pergi setelah memberikan sapaan tadi.
Kucir kudanya terus berayun-ayun saat dia pergi.
o
Setelah itu.
Ayah meneleponku dan memberitahu kalau mereka akan pulang telat. Aku kesal, tetapi aku harus terus merawat Yume.
“Aku mau minum.”
“Jangan sampai tumpah ya.”
“Belikan aku es krim.”
“... Es krim apa?”
“Aku mau buku. Minta uang dong.”
“Aku enggak punya!!”
Setelah bangun dari tidur, Yume jadi sangat egois dan menyedihkannya aku malah jadi babunya. Namun, dia sedang sakit. Jadi, aku tidak boleh kasar kepadanya.
“... Aku mau ... memegang tanganmu lagi.”
“... Oke.”
Aku hanya bisa menggemeretakkan gigi dan menurutinya. Biasanya aku tidak sejahat gadis ini. Bagaimanapun aku tidak bisa mengabaikan permintaan orang yang sedang sakit.
Namun.
“Oh, iya! Sudah saatnya mengecek suhu tubuhmu.”
“... Eh?”
“Kalau demamnya belum turun meski sudah tidur, mungkin sakitnya lumayan parah. Lebih baik periksa ke dokter kalau masih 38°C ––”
“Ti-Tidak perlu ... aku baik-baik saja! Sumpah!”
“Aku tetap harus mengeceknya. Ayo, buka ketiakmu.”
“Ti–Tidak ––!!!”
Entah mengapa Yume bersikeras untuk menolaknya. Aku menyelipkan termometer ke ketiaknya dengan sediit paksaan.
Aku dikejutkan oleh angka yang muncul beberapa detik kemudian.
“... 36,5 °C”
Suhu tubuhnya sangat normal.
“....”
“....”
Aku mengalihkan pandangan dari termometer ke arah Yume. Gadis itu memalingkan wajahnya.
“... Se ... sejak kapan kau sembuh?”
“... No comment ....”
“Jangan-jangan kau sudah sembuh saat Minami-san pulang ...? Kau tetap berpura-pura sakit dan menyuruh ini-itu meski sudah sembuh!?”
“NO COMMENT!!”
“... Eh? Berarti ... saat meminta memegang tanganku tadi ....”
“~~~~~~~~~~ !!”
Yume memekik, lalu meringkuk di balik selimut.
“Oi, kampret!! Jangan kabur, dasar gadis yang sudah sembuh!!”
“Eng-Enggak! Aku enggak mau!! Biarkan aku tidur agar bisa lebih sehat lagi!!”
“Kau sudah cukup tidur, tetapi masih menggunakan situasinya untuk memanfaatkan kebaikan orang lain!!!”
“KYAAAHHH!!”
Aku menarik selimutnya dan Yume pun terjatuh ke lantai.
Aku mendesis saat melihat wajahnya yang telah sembuh dari demam.
“Apa tidak ada yang ingin kau katakan?”
“... Erm ....”
“Kau tidak bisa mengatakannya kalau tidak memegang tanganku, ya?”
Wajah Yume berubah jadi semerah tanda bahaya. Tentunya itu bukan karena demam.
“... Ma-Maaf. Aku tetap berpura-pura meski sudah sembuh ....”
“Bagus, bagus.”
Yume sedang menciut di lantai, lalu aku membantunya berdiri. Punggungnya sangat berkeringat.
“Yah ... bagaimanapun kau baru sembuh. Jadi, aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Sekarang ganti baju, makan malam, lalu tidur.”
“... Kebaikanmu itu sangat menjijikakan.”
“Aku merasa sangat terhormat, wahai Yume-san yang tidak bisa tidur tanpa memegang tanganku.”
“.... !!”
Yume melompat ke kasur dan menutupi dirinya dengan selimut lagi.
“Aku enggak dengar! Aku enggak ingat! Aku mau ganti baju! Keluar kau, dasar Adik mesum!!”
“Sebuah ingatan yang bisa dihapus dengan mudah saat kau menginginkannya, ya ....”
Menyedihkan.
“Aku akan membuatkan makan malam ... kau ada permintaan terakhir?”
Yume menyembulkan matanya dari balik selimut dan berbisik dengan suara yang sangat pelan.
“... Sudahlah! Yang penting jangan pergi lagi!”
... Maksudku kau mau makan apa. Terserahlah.
“Iya, iya.”
Ini berbeda dari saat itu. Lagi pula, ini adalah rumahku.
CATATAN PENERJEMAH:
(1)Yuri (百合), atau juga dikenal dengan bentukan wasei-eigo Girls' Love (ガールズラブ gāruzu rabu), adalah sebuah istilah jargon dalam bahasa Jepang untuk konten dan genre yang melibatkan percintaan antara dua perempuan atau lebih dalam manga, anime, dan media Jepang yang berhubungan. Yuri dapat berfokus pada segi seksual, spiritual, maupun emosional dalam hubungan tersebut. Yuri yang tidak berfokus pada segi seksual sering kali disebut dengan shōjo-ai oleh penggemar barat.
0 comments