Home My Stepsister is My Ex-Girlfriend Wandering Witch: The Journey of Elaina

Mamahaha no Tsurego ga Motokano datta Vol. 01 BAB 08

 



 

BAB 8

Pasangan Kekasih Saling Bertukar Hadiah 

(Aku Ingin Mati)


“… Natal putih(1), ya?”

“Waaahh. Mungkin aku tidak akan pernah melupakan momen ini.”

"Karena ada aku di sampingmu?"

“Menurutmu?”

"Aku akan marah kalau jawabannya tidak."

"Kalau begitu, ‘iya, karena kau ada di sampingku’."

"Bo-Bodoh."


— Setelah melakukan adegan mesra, aktor dan aktris di TV itu berciuman.

Aku memang tidak pernah menonton, tetapi kami memiliki TV di rumah. TV itu biasanya dinyalakan saat makan malam, kurang lebih sebagai BGM(2).

Aku dan Yume adalah kutu buku akut, jadi biasanya ayah atau Yuni-san yang akan menyalakan TV.

“Aaah ~ Entah mengapa adegan ini membuatku merasa kesepian,” keluh Yuni-san saat melihat kedua pemeran tadi bertukar ciuman yang lebih bergairah dari orang pada umunya. “Natal selalu terlewat dengan cepat karena kita harus bersiap menyambut tahun baru. Memikirkan tanggal 25 Desember saja sudah membuatku sedih. Lalu, hatiku selalu menjerit senang ketika mendekati hari itu~”

"Ha, ha, ha! Sepertinya kami masih termasuk berjiwa muda kalau menyangkut momen semacam itu .... Aaah, tetapi Mizuto dan Yume-chan masih sekitaran usia itu, ‘kan?”

*Glup*(3)

Setelah ayah mengatakan itu, aku dan Yume berhenti menggerakkan sumpit kami.

“Tidak usah mengkhawatirkan kami saat kalian mendapat pacar nanti~! Yah, mengatakan ini ke Mizuto memang percuma, tetapi Yume-chan sepertinya punya peluang mendapat pacar!”

“Fufufu. Gadis ini berubah sangat drastis, loh~. Dia dulu gadis yang sangat lug —”

“Ibu …”

Yume memotong perkataan ibunya, lalu melirikku dari samping.

Buat berjaga-jaga, ya? Tanpa perlu diingatkan pun aku tidak akan mengatakan hal itu, tahu.

Yuni-san tersenyum sambil menaruh sikunya di atas meja, dan tangan di dagu.

“Yah, aku menantikan hari itu. Kira-kira kapan Yume dan Mizuto-kun akan membiarkan kita berduaan di rumah saat Natal, ya?”

“Apa kita harus bertingkah layaknya anak muda lagi ketika hari itu tiba, Yuni-san?”

“Fufu, tentu saja. Aku menantikannya ~ Semoga mereka mau bekerja keras untuk itu.”

… Baik Ayah maupun Yuni-san tidak tahu.

Aku dan Yume pernah membiarkan mereka sendirian di rumah saat Natal.

Orang tua kami tidak mengetahuinya sama sekali. Hanya dia dan aku yang tahu kejadian pada malam yang dingin itu.

Kejadiannya saat kelas dua SMP, Natal pertama setelah aku dan Yume Ayai perpacaran.



o



"–– Ayah pulang! Mizuto! Ayah membelikan kue!”

Aku, Mizuto Irido, adalah siswa kelas dua SMP yang telah berpacaran. Aku adalah protagonis di hari Natal ini. Pria lainnya tidak lebih dari karakter sampingan kalau dibandingkan denganku.

Lalu kenapa malah begini!? Yang aku lakukan hari ini hanyalah pergi ke minimarket dekat rumah bersama Ayah, untuk membeli kue kecil, ... seperti Natal tahun lalu.

Kalau menghabiskan Natal bersama orang yang dicintai sama artinya dengan mengalami evolusi seperti di Galápagos(4), maka itulah cara paling tepat untuk menghabiskan Natal kalian.

…Tapi ... tapi …!!

Yang benar saja. Sekarang aku punya pacar, loh! Pacar! Seharusnya Natalku bisa lebih spesial dari ini, ‘kan!?

"Bagaimana? Apa kue cokelatnya enak?”

“… Lumayan.”

“Boleh Ayah minta sedikit? Kau juga boleh minta kue punya Ayah, deh.”

Bukankah ini percakapan yang biasa dilakukan sepasang kekasih? Bukankah seharusnya aku melakukan ini dengan pacarku, Yume Ayai? Lalu kenapa malah …?!

Tidak, aku tahu. Aku tahu betul alasanya.

Saat di SMP dulu, kami memutuskan untuk merahasiakan hubungan ini dari orang lain. Mustahil untuk pergi kencan malam ke beberapa tempat yang indah dan romantis.

Setidaknya aku bisa bertemu dengannya di sore hari. Kami pergi ke tempat kencan, di mana lagu Jingle Bell yang sama telah diputar berulang kali selama satu bulan terakhir, yang biasa dikunjungi sepasangan kekasih lainnya.

Lalu, kami pulang seperti biasa.

Itu benar-benar biasa.

Itu sama biasanya seperti pulang ke rumah seusai sekolah … dan aku tahu betul alasannya.

Ah, silakan tertawa. Tertawalah sepuas kalian.

Si pengecut ini, ingin memberikan hadiah yang sudah dia pilihkan dengan penuh kasih sayang kepada gadis itu!

Aku memberanikan diri, meminta penjaga toko untuk membungkus hadiah, dan menaruhnya di meja kamarku. Di mana benda itu sekarang diletakkan baknya dekorasi.

Bunuh saja aku.

“Hmm? Ada apa, Mizuto? Kau terlihat agak murung… Ahh, Ayah tahu! Hadiah, ‘kan? Lihat, Ayah sudah menyiapkannya untukmu~! Ini kartu perpustakaan, loh!”

Aku ingin mati.



o



"… Aku ingin mati …"

Ini aku, Yume Ayai. Aku sedang terkulai di atas meja dengan perasaan sangat depresi.

Lupakan tentang depresi. Saat ini aku sudah mati. Mati! Terima kasih atas dukungan kalian semua. Tunggulah karyaku yang selanjutnya.

“Kenapa .... Kenapa selalu berakhir begini …. Tidak peduli bagaimana mempersiapkannya, aku selalu lalai ketika masuk ke tahap yang paling penting …. Cukup sudah ….”

Ada kotak hadiah di atas mejaku. Itu adalah hadiah khusus yang aku persiapkan hari ini untuk Irido-kun.

Seharusnya aku mencari kesempatan untuk menyerahkan hadiah ini kepadanya selama kencan Natal sore kami. Namun, hadiah itu sekarang malah ada di atas mejaku. Dengan kata lain, misi gagal.

Meski begitu, aku sendiri puas dengan kencan sore ini. Kami pergi ke beberapa tempat yang sering dikunjungi sepasang kekasih, tempat yang biasanya tidak pernah kami kunjungi. Kencan sore ini membuatku berpikir "Wah, kita benar-benar berkencan."

Yah, kurasa itu juga penyebab masalah ini.

Aku gugup sepanjang waktu. Apa suasananya akan rusak bila aku memberikan benda itu? Akankah suasana bahagia ini lenyap …? Aku tidak pernah berhasil memberikan hadiah itu, bahkan sampai kencan selesai dan kami berdua pulang ke rumah masing-masing.

“Uu…”

Aku ingin menangis.

Aku selalu saja begini. Aku selalu kesulitan melakukan hal yang ingin kulakukan. Satu-satunya hal yang berhasil kulakukan adalah menyatakan perasaan kepada Irido-kun .…

… Kalau terus begini, aku yakin pria itu akan muak dan bosan denganku …

“Yume~? Ibu mandi duluan, ya~?”

Suara Ibu terdengar tepat saat aku akan menangis.

… Oh, benar juga.

Biasanya aku akan menelepon Irido-kun seusai mandi.

Aku hanya perlu memberitahunya, 'Emm, sebenarnya .... Aku sudah menyiapkan hadiah untukmu. Aku akan memberikan hadiah itu saat pertemuan berikutnya!’

“O-Oke …!”

Setelah membuat keputusan itu, aku segera bergegas.

Aku akan memberitahu Ibu bahwa aku ingin mandi duluan. Namun, tiba-tiba nada dering barat lawas datang dari ponsel yang ada di atas mejaku.

“…!?”

Itu adalah lagu tema dari film yang direkomendasikan Irido-kun sebelum kami resmi berpacaran. Nada dering itu hanya berbunyi saat menerima panggilan dari pria itu. Setelah mendengarnya, aku buru-buru mengangkat panggilan itu.

Agar menghindari insiden di mana panggilan itu tertolak secara tidak sengaja, aku menekan tombol “Terima" dengan hati-hati.

“— Ha-Halo …?"

“… Ayai.”

Itu adalah suara pria yang sangat ingin aku dengar saat itu. Mendengarnya saja sudah membuatku senang. Namun, perkataan Irido-kun yang selanjutnya benar-benar diluar dugaanku.

"Apa kau bisa ke beranda kamarmu sebentar?"



o



Aku bisa melihat napas putihku yang menyatu dengan udara. Lalu, jendela Ayai terbuka.

Dia melihatku dari beranda kamarnya. Lalu, terdengar rintihan dari telepon.

“Ke … Kenapa …?”

“Eh, erm …. Yah, soalnya hari ini Natal.”

Itu sungguh memalukan. Saat itu aku sangat ingin mengubah topik pembicaraannya.

Namun, aku harus bertahan. Ini adalah hari yang spesial. Seharusnya akan baik-baik saja bila aku tidak bersikap sok keren dan membuat-buat alasan … Bagaimanapun, hari ini adalah Natal.

Aku menarik napas sedalam mungkin, dan menahan keinginan untuk mengeluarkan jiwa chuuni-ku(5).

“… Aku ingin … melihat wajahmu lagi.”

“… !! ~~~~~!!!”

Ayai menjerit dari seberang telepon.

E-Eh? Apa? Suaranya barusan terdengar seolah-olah dia baru saja melihat Great Old One(6).

Di tengah kebingungan itu, *bip*, dia menutup panggilannya.

Lalu, Ayai yang ada di beranda, masuk kembali ke kamarnya.

“… Ahhh …”

Dia pasti menganggapku menjijikkan…

Aku sudah tahu ini akan terjadi .... Lagi pula, aku kemari tanpa pemberitahuan apa pun sebelumnya. Kalau perannya dibalik, aku akan merasakan hal yang sama seperti gadis itu.

Ahhh, bunuh saja aku. Maaf karena sudah terlahir ke dunia ini.

“— I-Irido-kun!!”

Saat aku mengalami keputusasaan seperti Osamu Dazai, sebuah siluet kecil berlari menuju pintu masuk apartemen …

Hah?

“A-Ayai?”

Ayai menginjakkan kaki ke jalan setapak yang dingin, napas putih dapat terlihat saat dia mencoba mengatur kembali napasnya.

Dengan terengah-engah, dia memegang lututnya, menatapku, lalu tersenyum dengan gugup.

“A-Ahaha. K-Kau datang kemari toh?”



o



“Eh …. Erm, harusnya aku yang bilang begitu,” jawab Irido-kun dengan tenang. Meski begitu, seluruh tubuhnya kaku .... Mungkin karena dia sangat terkejut.

“…  Ahaha.”

Aku sedikit senang.

Aku senang karena berhasil mengejutkannya balik.

Akan terlalu lama bila menunggu lift, jadi aku memutuskan untuk berlari turun menggunakan tangga. Itu membuatku kelelahan dan butuh waktu agak lama untuk mengatur napasku kembali. Begitu melepaskan tangan dari lututku, aku tersenyum malu-malu sekali lagi.

“E-ehehe. Ibu sedang mandi, … jadi aku menggunakan kesempatan itu untuk kemari.”

“Ahh … A-Aku mengerti. Begitu, ya ….”

“Jadi, erm … yah, kurasa kita hanya punya waku … sekitar 30 menit.”

"30 menit, ya …?"

Kami biasanya tidak banyak bicara. Sebab itulah, sekarang kami jadi sedikit tergagap. Namun, ini berbeda dari percakapan biasanya. Biasanya aku akan terus tertawa atau merasa gugup. Sekarang aku sedang berusaha melakukan percakapan yang tidak akan merusak suasana.

Ahhh …. Ini juga hari yang spesial bagi Irido-kun. Bukan hanya aku yang menghargai momen bersama kali ini ....

Pria ini bukan tipe orang yang suka menunjukkan perasaannya secara blak-blakan. Karena itulah, jantungku berdebar tiap kali melihat perasaan aslinya itu.

Meski tidak terlihat tertarik pada orang lain, sebenarnya dia sangat baik dan perhatian. Biasanya dia memang terlihat sangat tenang, tetapi sebenarnya ada beberapa momen di mana dia akan gugup secara diam-diam.

Tanpa sadar, aku mulai mengabadikan setiap potongan gambar Irido-kun yang asli ke dalam kepalaku. Aku dengan hati-hati menyatukan gambar-gambar itu ke dalam album foto yang ada di hatiku, dan akan melihatnya berulang kali ….

Aku sangat menikmati momen bersama ini sampai-sampai  rasanya duniaku yang awalnya hanya dipenuhi buku telah dijajah oleh kehadirannya.

Karena itulah, aku —

“— *Achoo*!”

Aku kedinginan, dan bersin.

Eh? … Oh, iya.

“… Aku lupa memakai mantel ….”

Karena itulah aku kedinginan.

Aku terlalu terburu-buru saat keluar apartemen tadi …! Uuuuu, padahal ini momen yang sangat langka … Kenapa malah jadi begini …?

"Oi, oi, kau terlalu ceroboh," kata Irido dengan tercengang. Lalu, dia membuka kancing mantelnya. "Sini."

Dia melepas mantel itu, dan memakaikannya ke bahuku.

Hangatnya …

Kepalaku sedikit pusing saat mantel hangat itu dipakaikan ke bahuku. Aku agak malu karena rasanya seolah-olah Irido-kun sedang memelukku .… Kau boleh memelukku secara langsung kalau memang mau, loh— aku memikirkan hal semacam itu, dan tambah malu karenanya. Memangnya siapa aku sampai berani berpikiran macam itu?

Karena beberapa alasan, aku mulai tersipu malu. Aku mencoba menarik napas pendek, tetapi .…

“… Bu-Bukankah kau juga kedinginan, Irido-kun?”

“Enggak, kok. Aku baik-baik saja,” jawab Irido-kun, meski bahunya sedikit gemetar.

Dia hanya berpura-pura kuat. Manisnya …! Namun, dia akan masuk angin kalau begini terus. Aku harus bagaimana …?

Saat memikirkan itu, aku mendapat ide yang sangat sulit. Faktanya, ide ini tidak akan langsung berhasil hanya dengan sekali coba, dan mungkin kesempatan gagalnya lebih besar. Eh, yah, erm ... Bagaimanapun, ini adalah Natal.

... Bagaimanapun, ini Natal!

Kekuatan dari kata-kata itu menyelimuti dan mendorongku dari belakang. Terima kasih, Yesus Kristus. Bagiku, inilah mukjizat yang mampu mengubahku jadi umat Kristen.

“Ka-Kalau begitu … erm .…”

Aku bisa merasakan wajahku memerah. Namun, karena didorong oleh kekuatan Natal, aku dapat mengatakannya.

"Haruskah ... kita memakai mantelnya bersama?"



o



Tanpa disangka, kami bisa memakai mantel ini bersama.

Aku dan Ayai, bahu membahu di bawah mantel. Ayai menggigil dengan gugup, lalu dengan perlahan-lahan bersandar kepadaku.

... Dia begitu ringan.

Begitu hangat.

Dan begitu wangi.

Aku mulai merasa senang, meski detak jantungku berpacu kencang sebagai hasilnya. Akan buruk jika aku mulai berpikir dengan ‘Joni’-ku(7). Aku menengadah dan menatap kosong ke langit malam, agar gadis itu tidak menyadari pikiranku yang agak kotor ini.

Lalu, Ayai tertawa.

"… Ada apa?"

“Enggak ada apa-apa …. Aku hanya berpikir bahwa pacarku ini manis.”

Ah, terserahlah! Memangnya kenapa kalau perkataanku ini menjijikkan? Bagaimanapun, ini Natal ....

Ugh ... Dia sudah sadar toh.

Padahal dia sedang gugup, tetapi masih bisa berkata begitu dengan mudahnya ....

Ketika aku menahan rasa maluku dalam diam, Ayai buru-buru melambaikan tangannya.

“Ah …. Ka-Kau marah!? Ma-Maaf …?”

“Enggak. Aku enggak marah. Aku cuma malu .... Kau tidak perlu begitu cemas.”

“Be-Begitu, ya …?”

"Soalnya––"

Ah, terserahlah! Memangnya kenapa kalau perkataanku ini menjijikkan? Bagaimanapun, ini Natal ....

“— Aku enggak akan marah, soalnya itu kamu…”

Kurasa perkataanku jadi sedikit pelan karena aku sudah tenang. Pada akhirnya ini malah membuatku tambah malu, dan aku pun memalingkan wajah ke samping.

Lalu .…

“… Ehe. Ehehe. Ehehehehehehe …”

Ayai terdengar sedikit senang dan gugup, lalu dia bersandar lebih dekat lagi ke bahuku.

Sepertinya dia menyukainya. Syukurlah. Tadinya kupikir perkataan ini akan merusak suasana.

Dalam momen singkat itu, aku merasa ada beban yang terangkat dari pundakku. Dua napas putih terus muncul dengan singkat di bawah langit malam itu.

“… Erm, baiklah …Irido-kun.”

Aku menoleh ke arah suara itu, dan melihat Ayai mengintip ke arahku.

"Ada ... sesuatu yang ingin kuberikan."

Aku tersentak. Ayai juga telah menyiapkan sesuatu.

“Kau bilang … tidak akan marah selama itu dariku, ‘kan? Berarti … kau akan … menerima hadiahku, … ‘kan?”

Suaranya terdengar semakin pelan saat mengatakan itu, kepercayaan dirinya menurun.

Setiap kali melihat Ayai begitu, aku selalu berpikir bahwa dia seharusnya tidak perlu segugup itu. Ayai tidaklah bodoh, dan bukan berarti aku merasa tidak nyaman bersamanya, lalu … yah, wajahnya juga imut.

Seandainya saja dia bisa berbicara dengan normal, tanpa semua kegugupan itu, seharusnya dia bisa mendapat banyak teman. Dia juga tahu akan hal itu, tetapi untuk beberapa alasan dia selalu merasa kurang percaya diri, dan pada akhirnya tidak ada yang mau mendekatinya karena hal itu.

“… Ayai.”

“Eh …?”

Dengan diam aku memasukkan tangan ke dalam saku, dan mengambil sebuah kotak hadih.

Ayai melihat itu, dan terus mengedipkan matanya.

"Eh .... I-Itu ...?"

"Hadiah Natal .... Sore tadi aku lupa memberikannya kerena merasa sedikit gugup."

“…Eh…?”

Ayai menatapku dengan wajah tercengang — lalu ….

“— Pfft! Ah! Ahahaha! Ahahaha …!!”

Dia terkikik, dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

Aku merasa sedikit jengkel karena itu.

"Jangan tertawa begitu, dong ...."

“Ma-Maaf …! Hanya saja ... yah, aku tidak menyangka kita akan semirip ini, Irido-kun.”

“Berarti .... Kau juga sama, Ayai …?””

"Iya."

Ayai juga mengambil kotak hadiah, dan memperlihatkannya kepadaku.

Aku juga mulai ikut tertawa saat melihat itu. Kami tertawa berdampingan cukup lama.

Angin dingin yang menusuk telinga dan pipi kami mulai tidak terasa lagi.

Begitu kami berhenti tertawa, Ayai menyeka air mata, dan menutupi mulutnya dengan kotak hadiah itu.

“Kalau begitu … ayo bertukar hadiah.”

“Ahh, ayo.”

Kami saling bertukar kotak hadiah. Bagi orang lain ini mungkin bukan sesuatu yang penting. Namun, bagi kami, itu adalah ritual yang serius.

Aku memberikan kotak hadiahku kepada Ayai, dan begitu pula sebaliknya.

Aku melihat kotak itu dari depan, belakang, dan depan lagi. Aku sudah tidak sabar untuk membukanya.

“Boleh aku buka?”

“Eh? … Se-Sekarang?”

"Kau juga boleh membuka punyaku, kok."

“… Nn, kalau begitu …”

Kami melepas pita merah itu secara bersamaan.

Bukan berarti kami belum pernah saling memberi hadiah sebelumnya. Namun, sampai saat ini, kami hanya saling memberi hadiah normal. Saking normalnya, bakhan kami tidak merasakan sakit meski hadiah itu ditolak.

Lain lagi ceritanya dengan hadiah Natal.

Hadiah Natal itu spesial, berisiko, dan sulit ditangani .… Kalian hanya bisa bertukar hadiah Natal kalau mempunyai keberanian sebagai sepasang kekasih.

“… Ah …” Gumam Ayai saat membuka kotak hadiah itu. "Apa ini ... sebuah liontin?"

Yang ada dalam kotak kecil itu adalah liontin kaca dengan bunga merah muda terbungkus di dalamnya(8).

Itu bukan benda yang mahal. Lagi pula, itu dibeli dengan uang jajan siswa SMP. Meskipun tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang hal semacam ini, aku sudah berusaha keras untuk memikirkan hadiahnya. Lagi pula, aku biasanya tidak membutuhkan aksesori semacam ini. Aku memilih hadiah itu setelah beberapa kali berselancar di internet. Jujur aku tidak yakin apa hadiah itu bisa dibilang bagus, tetapi ─

Ayai mengangkat liontin itu.

“Luar biasa … ada bunga di dalamnya …. Bunga apa ini?”

“Bunga Napas Bayi. Aku suka bahasa bunganya.”

“Bahasa bunga .…”

Setelah mendengar itu, Ayai mengambil ponsel dan mencari artinya secara langsung. Aku mulai panik.

"Eh …! Tu-Tunggu dulu! Artinya agak memalukan …!”

“Eh? Enggak boleh?”

Ayai tersenyum nakal dan berbalik untuk melindungi ponselnya. “Emm.” Dia mulai membaca hasil pencariannya. ”'Keromantisan', 'kemurnian', 'ketulusan', 'kepolosan' ..."

“… Sebenarnya, erm .....” Aku hanya bisa menyerah dan memberitahunya. "... Bunga ini biasa digunakan dalam buket pernikahan."

“… Eh?”

Ayai menatap liontin itu sekali lagi, wajahnya terlihat sangat merah bahkan di malam hari.

… Situasi macam apa ini? Memangnya ini lamaran pernikahan begitu …!?

Wajahku mulai ikut memerah saat itu. Seharusnya sejak awal aku memilih liontin yang normal saja!

“…Nn…”

Sementara aku diliputi rasa penyesalan, Ayai membuka bungkus liontin, mengangkat rambutnya, dan memakaikan liontin itu ke lehernya.

“Baiklah … selesai …. Bagaimana menurutmu?”

Liontin pemberianku itu sekarang ada di lehernya.

… Ahhh. Ahh — Ahh — Bagaimana aku mendeskripsikan perasaan ini?

Haruskah aku menyebut ini kebahagiaan? atau malah kekalutan …? Mau yang mana pun, hatiku dipenuhi dengan rasa pencapaian.

“Aku tidak pernah memakai benda semacam ini sebelumnya, jadi aku tidak tahu apa ini cocok atau tida ….”

"Enggak, itu cocok untukmu," jawabku dengan spontan. "Sangat cocok malah .... Kau imut."

“Eh? … Nn, nn … Te-Terima kasih …”





Ayai memalingkan wajah dengan malu-malu. Wajah kedinginan dan memerahnya itu mulai tenang.

Ekspresinya itu menunjukkan bahwa waktu dan usaha yang sudah aku lakukan terbayarkan sepenuhnya.

“… Kalau begitu aku juga akan membuka hadiah darimu.”

“Ah … nn, nn!”

Sementara Ayai menatap dengan tegang dari samping, aku membuka kotak itu.

“—… Ahh.”

“Heee … Pemikiran kita memang sejalan, ya.”

… Yang ada dalam kotak itu adalah sebuah kalung.

Aku mengangkat kalung itu, dan melihat hiasan mirip bulu yang tergantung di sana.

“Tidak ada alasan khusus mengapa aku memilih hadiah itu …. Juga, Itu bukan bulu, melainkan pena bulu.”

“Kalung pena bulu(9)?”

“Erm, yah …” Mata Ayai berputar ke mana-mana untuk sesaat, lalu dia berkata, “... Aku suka melihatmu mencoreti buku catatan ketika sedang belajar untuk ujian.”

“….”

Aku terdiam selama beberapa detik, mencoba memahami perkataannya.

“... Singkatnya, itu fetishmu?”

“Ahhhhhhhh…!! I-I-Itu Bukan fetish. Itu hanya ketertarika …!!”

Yah, sudah jelas itulah yang disebut fetish.

Ayai menundukkan kepala dengan muram. "Uuu ... maaf karena mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan."

“Kau selalu meminta maaf ini-itu,” ucapku, sambil memasang kalung itu ke leherku. "Lihat?"

Begitu melihatku memakai hadiah pemberiannya, Ayai yang muram mulai tersenyum kembali.

Aku juga ikut tersenyum melihatnya.

"Hadiah Natal memang luar biasa, ya."

“N-nn …! Memang!”

Setelah mengungkapkan pemikiran dangkal itu, kami saling memandang lagi, dan tertawa kecil.

Setelah itu, kami menghabiskan sepuluh menit yang tersisa dengan percakapan tanpa tujuan.

Tidak ada iluminasi indah, maupun kepingan salju romantis di sini.

Yang ada hanyalah sebuah pohon di samping apartemen. Hanya pohon biasa yang bermandikan cahaya remang-remang dari lampu jalan dan rumah.

Meski begitu, momen singkat pada hari itu terukir kuat dalam hati kami.

“... Kalau begitu, aku pulang dulu.”

“… Ahh, sampai jumpa lagi.”

Kami melambai dengan lembut, saling berpamitan di depan pintu masuk apartemen.

Situasinya jadi sedikit sunyi, karena kami tidak mengatakan apa pun. Kami berdua sama-sama enggan untuk pergi dari sini.

— Karena menyadari itu, aku pun meraih pergelangan tangan Ayai.

“Eh? Irido-kun—”

Aku menarik Ayai mendekat, lalu membungkuk ke depan.

Namun, situasinya sama saja. Kami tidak bisa mengatakan apa pun dan tetap terdiam.

Aku menegakkan tubuhku kembali. Wajah Ayai memerah karena suatu alasan. Dia berkedip karena terkejut.

“… Yah, bagaimanapun, ini Natal,” ucapku sebagai alasan.

Ayai tersenyum. “Ya .… Bagaimanapun, ini Natal.”

Kali ini, Ayai sedikit berjinjit dan mengatakan itu.

Begitu dia berdiri dengan benar kembali, kami saling tersenyum dan akhirnya berpamitan lagi.

Pada saat itu, kami masih merahasiakan hubungan ini dari orang lain.

Suatu hari nanti, aku akan memperkenalkannya kepada ayah. Enam bulan sebelumnya, tidak pernah terpikir akan datang hari di mana aku akan punya pacar yang bisa diperkenalkan kepada beliau.

Aku berjalan pulang sendirian, sambil menatap kalung yang tergantung di dadaku itu.

Apa di Natal tahun depan kami bisa bertemu tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti ini lagi?

Apa tahun depan aku bisa mengajaknya ke rumahku untuk merayakan Natal bersama?

Hadiah macam apa yang akan aku berikan tahun depan?

“…Aku harus memikirkannya mulai sekarang.”

365 hari lagi, ya.

Aku tidak sabar menantikan hari itu.

Namun, 365 hari kemudian, kami berhenti berbicara satu sama lain.



o



"Tak ada yang abadi, ya .…"

Itulah kebenaran yang kusadari saat menatap kembali kalung pemberiannya setelah sekian lama.

Sejak Natal tahun itu, tiap kali melihat ada orang lain memakai hadiah pemberian yang mirip dengan milik kami, kami akan menertawakannya. Karena itulah, kami sengaja menyembunyi hadiah kami di balik kerah baju, syal, atau bahkan di tempat lain yang tidak akan terlihat orang. Meski menurutku tidak ada yang lucu tentang itu.

Namun sekarang, kurasa gadis itu sudah tidak peduli dengan benda ini lagi. Bagaimanapun, aku sangat berharap agar dia membuang liontin itu sebelum pindah ke rumah ini.

“… Sudah lama, haruskah aku memastikannya?”

Kalau aku memakai kalung ini dan gadis itu tidak menyadarinya, berarti pemikiranku terbukti benar. Adapun bila dia menyadarinya, kurasa cukup menarik melihat reaksinya nanti.

Dengan antusias, aku memasang kalung itu, menyembunyikan hiasan bulunya di balik kerah bajuku, lalu bersiap pergi dari kamar.

Aku mungkin akan berpapasan dengannya dalam perjalanan ke kamar mandi— Atau begitulah pikirku.

"Ah."

"Ah."

Namun, baru juga membuka pintu kamar, dan kami langsung berpapasan di lorong lantai dua.

Di depanku adalah Yume, gadis itu sekarang sudah jadi siswi kelas satu SMA. Dia lebih tinggi dan rambutnya juga lebih panjang daripada saat SMP dulu.

Setelah terdiam untuk beberapa saat, aku menyadari tentang sesuatu.

Ada benda berkilau yang tampak familier terkalung di lehernya.

“…  Heh.”

“Hmph.”

Hanya itu interaksi yang kami lakukan. Kami tidak mengatakan apa pun lagi dan langsung menuruni tangga.

Tepat ketika aku memasuki ruang tamu, sinetron yang ditonton Yuni-san saat makan malam tadi berakhir. Sekarang Ayah masih di meja makan, sedangkan Yuni-san mencuci peralatan makan di dapur.

“Ohh, Mizuto. Mau mandi?”

“Aku rasa air hangatnya akan siap sebentar lagi. Yume ~, ayo main batu-gunting-kertas dengan Mizuto-kun untuk menentukan siapa yang mandi duluan ~!”

Mereka tidak pernah menyadari perubahan kecil di antara kami.

Kami menanggapi perkataan mereka, duduk di sofa yang menghadap ke TV, memberi jarak di antara kami, lalu dengan diam membuka buku yang kami bawa dari kamar masing-masing.

“… Fufu.”

Yume tiba-tiba tertawa kecil.

"Apa?" Tanyaku, tanpa mengalihkan pandangan dari bukuku.

"Pemikiran kita benar-benar bertentangan, ya," ucap Yume, tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

"Ya," jawabku dengan singkat, lalu lanjut membaca bukuku.

Judul buku yang kubaca adalah 'A Christmas Carol'(10), sedangkan miliknya adalah 'Hercule Poirot's Christmas.'(11)



CATATAN PENERJEMAH:

(1)Natal putih atau White Christmas. Simpelnya, kalau pada saat malam Natal, tanggal 25 Desember, turun salju, maka disebut sebagai Natal putih atau White Christmas.

(2)BGM merupakan Singkatan dari Background Music, Maksudnya adalah Lagu yang di putar atau di mainkan sebagai latar dan pemanis dalam Sebuah karya. Huh, aku kira cuma ortu-ku doang yang punya kebiasaan begini.

(3)Onomatope dari menelan sesuatu.

(4)Hubungan Teori Evolusi dengan Galapagos 

(5)Chuunibyou (中二病) adalah istilah sehari-hari dalam bahasa Jepang yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berperilaku delusi atau suatu keyakinan yang dipegang secara kuat namun tidak akurat. Salah satunya berpikir memiliki kekuatan khusus yang tidak ada orang lain memilikinya.

(6)The Great Old Ones adalah sekelompok makhluk unik dan ganas dengan kekuatan besar. Mereka tinggal di berbagai lokasi di Bumi, dan pernah memimpin planet ini sebagai dewa dan penguasa. Ada banyak makhluk yang termasuk dalam golongan The Great Old Ones, diantaranya: Apocolothoth, Atlach-Nacha, Basatan, Bokrug, Byatis, Chaugnar Faugn, Cthulhu, dan masih banyak lagi.

(7)Ya, Joni yang ‘itu’.

(8)Liontin kaca Yume  (Kali aja ilustrasi novelnya kurang jelas)

(9)Kalung Pena Bulu Mizuto 

(10)A Christmas Carol

(11)Hercule Poirot's Christmas atau Pembunuhan di Malam Natal adalah sebuah karya fiksi detektif buatan Agatha Christie dan pertama kali diterbitkan di Inggris oleh Collins Crime Club pada 19 Desember 1938.

Share:

0 comments