Home My Stepsister is My Ex-Girlfriend Wandering Witch: The Journey of Elaina

Mamahaha no Tsurego ga Motokano datta Vol. 01 BAB 07B

 




 BAB 7B 

Mantan Kekasih Pergi Berkencan, Bagian Kedua

(Dasar Maniak Misteri menyebalkan)

(Dasar Otaku menyebalkan)



◆Mizuto ◆


Saat itu bisa dibilang aku masih muda dan bodoh. Namun, aku mempunyai keberadaan yang disebut pacar pada saat pertengahan kelas dua SMP-ku.

Itu sudah satu setengah tahun yang lalu. Namun, pengalaman kencan kami bisa kalian abaikan –– 

Itu telah berlangsung selama satu setengah tahun, tetapi meski demikian, kedua pengalaman kencan kami tidak begitu penting — karena lingkaran sosial kami lebih kecil daripada seekor kucing liar.


Opsi 1: Toko Buku.

Opsi 2: Perpustakaan.

Opsi 3: Toko Buku Bekas.

[Jadi, kemana kita pergi hari ini?]


Kurang lebih begitulah kencan kami dulu.

Para pasangan di seluruh dunia akan pergi ke tempat kencan seperti karaoke, bioskop, restoran, dan sungai Kamo(1) …. Namun, aku dan Ayai seorang introver. Kami bukan tipe orang yang aktif mencari alasan demi meninggalkan zona nyaman kami.

Karena itulah rencana ini dipenuhi begitu banyak hal yang tak kuketahui.

Hari sabtu pagi. Aku bangun lebih awal dari biasanya, berpakaian, lalu meninggalkan rumah tanpa menemui Yume.

Kami setuju bertemu di alun-alun dekat ‘menara jam’ di stasiun Kyoto. Itulah yang membuatnya disebut kencan─ atau begitulah kata orang itu(2).

Aku naik kereta bawah tanah ke stasiun Kyoto, lalu keluar dari gedung stasiun lewat pintu keluar timur Hachijo.

Tujuanku adalah halte bus malam dekat gedung stasiun. Di sana ada tempat istirahat berbayar serta toilet dan ruang ganti, harganya terjangkau bagi pelajar (atau begitulah yang kudengar).

Aku melewati pintu dan menemukan orang itu, Kogure Kawanami yang sedang duduk di kursi. Dia berbalik untuk melihatku.

“Yo, Irido—ahhh …”

Dia memakai kaos raglan(3) dan celana capri(4). Setelan itu membuatnya terlihat seperti playboy sungguhan. Dia terdiam sesaat setelah menatapku.

“Kau ... Kau tau kalau ini bukan kunjungan ke toserba, ‘kan?”

“Tentu aku tahu.”

"Kalau begitu, pilihlah pakaian dengan serius!"

"Hah?"

Apa ada yang aneh dengan pakaianku? Aku membuka lemari pakaianku, memilih pakaian yang pertama kulihat, lalu memakainya. Sama seperti biasa, kok.

Kawanami medesau. Dia terlihat sangat putus asa.

“Yah, bukan berarti aku tidak menduga hal ini akan terjadi. Lagi pula, kau memang terlihat seperti pria macam itu.”

“’Pria macam itu’ apa maksudmu?”

“Tipe orang yang tidak serius saat berkencan. Seorang gadis tidak akan menerima hal ini!”

Kasar sekali. Tidak ada yang mengkritik selera berpakaianku sebelumnya.

“Yah, aku sudah menyiapkan satu setel pakaian untukmu. Cepat ganti sana. Waktunya sudah mepet, tahu.”

“Eh? Aku tidak keberatan berpakaian begini ... "

“Sudah kubilang, seorang gadis tidak akan menerima hal ini! Sepertinya keberhasilan rencana hari ini tergantung padaku!!”

Kawanami menyeretku ke ruang ganti, dan memberikan satu setel pakaian baru untukku. Dia bahkan memilihkan sepatu dengan ukuran yang pas. Apa-apaan ini? Dia menyiapkan semua ini untukku? Seberapa banyak biaya yang dia keluarkan untuk ini ...? Memangnya dia perlu bekerja sekeras ini untuk kencan orang lain? Menjijikkan.

“Bung, teman baikmu ini sudah repot-repot membiayai kencanmu, loh –– Demi kalian berdua, loh. Begitukah tatapan yang pantas diberikan ke teman baikmu ini? Kasar sekali!”

“Maaf, aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Jujur saja, kau menjijikkan. ”

“Jangan membuatnya terdengar seolah-olah perasaanku tertolak! Yah, rata-rata fetish seseorang memang menjijikkan, jadi ini masih bisa dimaafkan kok.”

Bisa dimaafkan? Berarti mendandaniku adalah fetish-mu begitu? Sungguh menjijikkan.

“Dengar, Irido. Tujuan kencan hari ini adalah membuat si gadis periang gila yang bernama Akatsuki Minami berhenti mengejar Yume-san.”

Setelah selesai berganti pakaian, Kawanami mengoleskan pomade ke rambutku. Pada dasarnya, ini untuk mencegahku mundur saat tengah menjalankan rencana ini. Dia sangat serius dalam hal ini.

“Yume Irido mendeklarasikan diri sebagai Brocon tepat beberapa hari setelah tahun ajaran baru dimulai, jadi kita harus memperjelasnya — kita harus memperjelas deklarasi tentang Brocon itu agar Minami paham bahwa Irido-san hanya menyukaimu. Dengan begitu, rencananya untuk menikahimu pun akan gagal. Kau harus merayu Irido-san, bermesra-mesraan dengannya, dan menghancurkan hati Minami.”

[Kalau gadis itu tahu bahwa hari ini kau berkencan dengan Irido-san, dia pasti akan membuntuti kalian —] begitulah kata Kawanami.

…Aku mengerti maksud perkataannya. Sangat-sangat mengerti…

“Oi, oi, apa-apaan lagi ini? Hari ini kau akan berkencan dengan gadis tercantik di angkatan kita, loh. Kok wajahmu malah terlihat enggan begitu?”

“... Aku tidak bisa menjelaskan situasi Minami-san kepada Yume, yang berarti dia tidak tahu tentang rencana ini. Dengan kata lain, aku harus terus menyerang dia. Bukankah ini sangat mengkhawatirkan?”

"Itu bukan masalah, setidaknya bagiku."

Hihihi, dia cekikikan dengan tak bertanggung jawab. Setiap kali orang ini membuka mulut, dia hanya mengatakan omong kosong.

Tentu saja aku keberatan dengan rencana yang dibuat Kawanami secara mendadak ini, tetapi sayangnya aku tidak bisa memikirkan solusi lain.

Aku harus menaklukkan si mantan pacar setelah sekian lama — dan semakin aku memikirkannya, aku semakin merasa seperti seorang bajingan yang tidak bisa melupakan mantannya. Aku tidak menyukai ini.

Tepat setelah aku mendesau, Kawakami selesai mendandaniku.

Dia heran. Sepertinya dia heran karena menampilanku malah jadi tambah aneh.

“…I-ini…”

“Sangat tidak cocok untukku, ‘kan? Kalau begitu jangan …”

Gaya busana modern memang tidak cocok untukku. Bahkan meski mengenakan pakaian mahal, aku masih terlihat aneh, baik dari luar maupun dalam.

Tampaknya ini hanya buang-buang waktu saja. Aku menjulurkan tanganku, mencoba menyingkirkan pomade yang sudah dioleskan ke rambutku.

“Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu!”

Kawanami buru-buru menghentikanku.

"Lajutkan saja rencananya! Jangan terlalu dikhawatirkan! Lajutkan saja rencananya dan kau akan paham!"

Apa dia sangat ingin mempermalukanku? Serius ini, sebenarnya orang ini ingin kencanku berhasil atau tidah sih?

Aku medesau dengan suram saat meninggalkan ruang tunggu.

Entah mengapa para pejalan kaki yang lewat selalu menatap ke arahku.



◆Yume ◆


… Sedikit ke kanan. Ahh, kelewatan. Sedikit ke kiri. Yap … tidak, ... hmm…?

Aku menggunakan ponsel sebagai cermin, sedang mengatur posisi poni rambutku berulang kali.

Aku sedang menunggu adik tiriku di depan Menara Kyoto, menara putih mirip lilin yang ada di belakangku.

Tentu saja aku tidak mau berkencan dengan pria itu lagi, tetapi ini adalah hukuman karena sudah melanggar “peraturan saudara”. Aku tidak bisa menolaknya. Ngomong-ngomong, berkencan dengan saudara itu juga melanggar peraturan, kan?

“… Enggak. Saudara yang akrab pasti sering jalan bareng …’kan? Mereka setidaknya akan berjumpa di luar … mungkin.”

Yap. Ini hanya jalan bareng saudara biasa, bukan kencan sepasang kekasih. Tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan kami dulu! Benar-benar tidak ada!

Aku memeriksa jam sambil memain-mainkan poni rambutku. Aku bisa merasakan tatapan hangat dari sekitarku.

Aku mulai terbiasa dengan tatapan yang diberikan orang-orang setelah aku mengubah penampilan, tetapi apa-apaan dengan tatapan hangat ini…? Bahkan para pria yang bersiul untuk menggoda gadis-gadis yang lewat juga ikut menatapku, seolah-olah sedang mengawasi anak perempuan mereka sendiri.

Apaan sih? Memangnya aneh kalau memain-mainkan poni rambut sendiri? Ataukah ada yang salah dengan pakaianku? Mungkin aku jadi terlalu bersemangat karena diajak kencan oleh pria itu. Uuuu…aku sedikit gelisah!

“… Kira-kira seperti apa si pria yang dia tunggu, ya ~~ …?”

“... Karena si gadis seimut itu, aku rasa si pria juga pasti sangat tampan.”

Aku mendengar bisikan macam itu.

Aku rasa jadi terlalu mencolok itu merepotkan. Tidak ada yang memerhatikan kami saat berkencan dulu. Namun, kali ini, orang-orang di sekitar terlihat sangat penasaran.

Ini terlalu canggung … Karena sebenarnya si pria adalah tipe orang yang tidak mengerti sama sekali tentang gaya berbusana. Dia tidak mencolok sama sekali. Mungkin ini terdengar seperti bualan, tetapi perbedaan penampilan kami yang sekarang bak langit dan bumi.

Aku pasti akan dianggap gadis bodoh —

Sesaat setelah memikirkan hal itu, suara yang dalam dan familier terdengar di telingaku.

“Maaf aku agak telat.”



◆ Mizuto ◆


“Maaf aku agak telat.”


Aku menyapa Yume yang sedang bersandar di dinding.

Pada saat itu, dia menatapku.

“Kyaa …?!”

Dia menjerit dengan malu.

Aku mengerutkan kening.

... Yah, pakaian ini memang sangat tidak cocok untukku. Meski sudah tahu ini tidak cocok, Kawanami tetap memaksaku memakainya …

Entah hanya perasaanku atau bukan, rasanya orang sekitar sedang menatap kami. Yah, kalau cuma melihat penampilannya, Yume memang imut. Aku rasa mereka hanya penasaran mengapa gadis seimut dia menunggu pria biasa seperti diriku.

Aku jarang memerhatikan reaksi orang di sekitarku, dan ini adalah pertama kalinya aku merasa sedikit gelisah.

Aku tidak akan memaafkanmu … Kawanami!

“…Erm.”

Yume mengedipkan mata saat menunjuk ke arahku. Jarinya sedikit gemetar.

“Kau … adik tiriku, kan? Si Mizuto maksudku.”

“… Yang benar itu ‘Kakak’, tahu.”

Seaneh itukah penampilanku sampai-sampai kau pangling begitu?

Yume terus menatapku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dari depan dan belakang. Entah mengapa, dia malah gemetaran dan menutupi mulutnya dengan kedua tangan.

"Ker ––"



◆Yume◆


——— KEREN BANGEEEEEEEEEEEEETT ~~~~~~~~~~~~!!!

Aku menjerit di dalam hati saat memperhatikan penampilan pria itu sekali lagi.

Pakaiannya tidak terlalu berlebihan. Rompi berwarna terang dengan tampilan yang menarik, kemeja, dan celana jeans. Lumayan. Setidaknya gaya berbusana ini tidak akan mempermalukan gadis mana pun yang jalan bersamanya.

Ya ampun.

Dia seperti seorang pria intelek. Selain itu, entah mengapa wajah gelisahnya terasa seperti sebuah kesempatan yang sempurna untuk menyerang. Wajah itu membuat naluri keibuan dalam diriku tergerak. Aku benar-benar ingin melihat dia lebih gelisah lagi.

Terlebih lagi, tulang selangka dan pergelangan tangan yang terlihat jelas dari balik pakaiannya itu ... memberikan getaran aneh! Mau memamerkan kejantanan, ya?! Itu curang, tahu!

Lalu pukulan terakhir adalah perasaan melankolis yang mengalir dari wajah dan sikapnya.

Eh? A-A-Apa? Ada apa? Apa kau sedang mengalami masalah? Aku tidak keberatan mendengarkannya, loh.

Sikapnya membuatku tergerak untuk mengatakan hal-hal semacam itu.

Oh, tidak. Apa-apaan dengan tampilan pria intelek dan sangat-sangat tampan ini? Apa khayalanku jadi kenyataan? Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak. Itu sama saja seolah-olah bumi sedang berputar dengan kecepatan yang bisa dilihat oleh mata. Ini sangat-sangat-sangat-sangat buruk!

“... Tolong jangan beri komentar apa pun tentang gaya berpakaianku.”

Mizuto mengalihkan pandangan dengan sedikit malu. Dia memain-mainkan poni rambutnya yang rapi dengan ujung jari. Dia sangat-sangat tampan, dan seketika terdengar jeritan dari sekitar kami.

Itu reaksi yang wajar. Karena di depanku sekarang ini ada seorang pria yang seolah-olah berasal dari otome game(5).

Dia adalah mantan pacar, sekaligus adik tiriku.

Sejujurnya, sekarang aku sedang berjuang keras menahan keinginan untuk menjerit seperti mereka.

… Te-Tenanglah. Aku tidak boleh tertipu oleh penampilannya. Mau sekeren apa pun penampilannya, dan mau bagaimanapun dia menyembunyikan kaki yang payah itu dengan jeans, di dalamnya tetaplah pria itu — Yap, penampilannya memang terlihat ideal, tetapi tidak dengan kepribadiannya.

“En-Enggak apa-apa? Enggak ada yang mau kukomentari. Yang terpenting sekarang, ayo segera ke tempat tujuan kita. Waktunya sudah mepet, nih. Ini salahmu, tahu."

Aku menyilangkan tangan di depan dada untuk menyembunyikan gemetaranku. Aku nyaris tidak bisa bersikap seperti biasa.

Itu terlalu berbahaya. Syukurlah dia hanya sebuah vas(6).

Haa~ Syukurlah, syukurlah. Untungnya dia tidak punya kejantanan untuk menggandeng tanganku ––.

"Ya. Ayo pergi,” kata Mizuto sambil meraih tanganku dengan 80% kelembutan dan 20% kekuatan.

Semua gadis di sekitar kami menjerit sekali lagi. Jantungku berdebar kencang. Aku merasa akan mati.


◆ Mizuto ◆


Kami pergi mendekati jalur bus.

Setiap kali dia akan menabrak orang lain, aku menariknya ke sisiku.

Saat kami menunggu di lampu merah, aku mengajaknya membicarakan beberapa topik.

Saat dia terlihat tertarik pada sesuatu, aku berseru kepadanya.

Aku mengikuti semua instruksi yang dikatakan Kawanami.

Aku sadar bahwa ini tidak seperti diriku yang biasanya. Aku tidak pernah memperlakukan dia baknya seorang Putri, bahkan saat kami masih berpacaran dulu.

Si 'Putri' itu mungkin merasakan hal yang sama, itulah sebabnya dia merasa tidak nyaman dan lebih pendiam dari biasanya. Tatapan dari sekitar seolah-olah mengindikasikan bahwa kami menarik banyak perhatian, dengan cara yang mengerikan.

... Ini bukan masalah bisa tidaknya aku 'menaklukkannya' .... Seharusnya sejak awal aku tidak melakukan sesuatu yang tak diperlukan macam ini. Mungkin aku harus memperlakukannya seperti biasa?

Namun, setiap kali berpikir demikian, ponsel di sakuku akan bergetar pada saat-saat yang tepat. Ini adalah cara Kawakami mengatakan bahwa 'Aku sudah melakukannya dengan benar'.

… Serius?

Aku melirik sekilas ke arah Yume yang sedang memanyunkan bibirnya.

Kurasa gadis ini merasa jijik karena diperlakukan terlalu baik.



◆ Yume ◆


Rasanya mantaaaaaaaaaaaappp ~~~~!!!

Apa!? Ada apa dengan pria ini? Hari ini dia sangat jantan! Sangat baik! Dia berhasil mencentang semua kotak lis tipe cowok kesukaanku dengan sempurna!

U-Uh oh…aku memanyunkan bibirku.

Kalau aku kelepasan dan cengengesan enggak jelas, semua orang akan menganggapku orang aneh. Aku harus menahannya ... tahan ... tahan ...

“…Wah, lihat! Lihat mereka berdua …”

“… Menakjubkan. Mereka pasangan yang sempurna …”

Setiap kali mendengar bisikan semacam itu dari pasangan yang lewat, bibirku tanpa sadar melengkung menjadi senyuman.

Aku berjuang keras selama satu tahun penuh untuk merubah kastaku jadi Gadis Cantik yang layak (tidak salah bila menyebutnya seperti itu, ‘kan?), lalu jalan bersama Mizuto yang berubah drastis jadi pria yang tampak intelek dan baik. Begitu, ya. Ini memang membuat kami terlihat seperti pasangan kasmaran lainnya. Ini merupakan hal umum yang mudah menarik perhatian orang di jalan.

Saat ini, di tengah jalan yang ramai ini, kami jadi pusat perhatian semua orang.

Kalau mengingat bahwa kami adalah pasangan suram setahun yang lalu, rasanya seperti jadi perabotan di ruang kelas!

… Aku sangat menikmati ini …

Aku terus menajamkan pendengaran untuk mendengar suara-suara dari sekitar. Aku bahkan lupa tentang Mizuto yang berjalan di sampingku. Ahh, aku mendengar gumaman kecil lainnya.

“…Heee~ keduanya benar-benar akur, ya …”

“… Oi. Berhenti menatap mereka …”

Enggak apa-apa! Jangan khawatir! Terus saja menatap! Meski sebenarnya kami tidak akur seperti yang kalian kira!



◆ Mizuto ◆


“… Heee~ keduanya benar-benar akur, ya …”

“… Oi. Berhenti menatap mereka …”

Aku nyaris tidak bisa menahan keinginan untuk membentak saat mendengar gumaman kedua orang itu.

Sekali lagi, aku melihat pasangan dengan tinggi tidak serasi yang bercampur di antara kerumunan itu.

… Kogure Kawanami dan Akatsuki Minami.

Rencana awalnya adalah Kawanami akan mengawasi Minami-san yang membuntuti kami. Entah bagaimana, malah berakhir begini. Ini jelas kencan ganda yang aneh, tetapi setidaknya ini membuat orang itu lebih mudah mengawasi Minami-san.

Tinggi Kawakami begitu kontras dengan Minami-san yang mungil, tetapi gadis itu tidak terganggu dengan itu. Minami-san memakai kacamata lensa bening dan topi. Jelas dia sedang berusaha untuk menyamar ... tetapi aura yang dipancarkannya membuat penyamaran itu percuma.

Dia memakai baju terusan panjang dengan kata-kata bahasa Inggris yang aneh di bajunya. Pakaian itu memang menonjolkan kaki indahnya, tetapi tetap saja dia terlihat tomboi. Sebaliknya, dia malah memancarkan aura sekental rawa. Mungkin ini bisa diibaratkan seperti Yin dan Yang7.

[— Dengar, Irido. Kau tidak boleh setengah-setengah dalam masalah ini.]

Aku mengamati pakaian Minami-san, dan teringat dengan yang dikatakan Kawanami.

[— Jangan lupa memuji pakaiannya. Kau paham? Lakukan saja.]

Hmm. Bahkan meski dia bilang begitu, aku tidak pernah melakukannya. Aku terlalu sibuk memikirkan penampilanku sendiri. Aku melewatkan kesempatan untuk memuji penampilannya.

Aku mengerti apa langkah selanjutnya, dan dengan senang hati akan melakukannya. Bukan ide yang buruk bila menggunakan kesempatan ini untuk menikam Minami-san.

Itulah yang aku pikirkan saat mengamati pakaian Yume sekali lagi. Penampilannya terlihat feminin, sangat berbeda dengan Minami-san.

Yume memakai baret merah, blus berwarna polos, rok selutut, dan juga stoking ketat berwarna biru sampai ke pahanya ─ Dia sangat memperhatikan detail di bagian lainnya juga. Namun, tampaknya dia menolak menunjukkan paha telanjangnya.

Dengan baret merah dan rambut hitamnya itu, dia seperti 'seorang Putri yang bersekolah di fakultas seni'. Aku mulai penasaran apa dia memang punya hal semacam itu dalam nama keluarganya.

Namun … saat itulah aku sadar.

Bukankah dia terlalu bersemangat untuk ini?

Rasanya seolah-olah dia sangat antusias dengan kencan hukuman yang tidak romantis ini. Kenapa begitu … ? Karena dia tidak tahu alasan sebenarnya dari kencan ini?

Tidak ... tunggu, mungkin memang itu alasannya.

Dia percaya bahwa ini kencan sungguhan. Ini sudah beberapa bulan sejak terakhir kali kami jalan bersama.

Kalau dipikirkan dengan akal sehat, jelas itulah alasan dia berusaha sangat keras untuk mempercantik dirinya sendiri.

Yume menatapku. Bulu matanya yang panjang berkedip-kedip.

… Sial. Rasanya sangat aneh. Ini karena aku dipaksa melakukan hal-hal yang tidak biasa kulakukan. Dengan kata lain, ini salah Kawanami.

[— Kau tidak boleh setengah-setengah dalam masalah ini.]

Aku bisa mendengar suara orang itu di pikiranku …. Ahh, iya, iya! Aku akan memujinya. Puas!?

"Hari ini …."

“Eh?” Dia menoleh ke arahku dengan ekspresi terkejut. Itu membuatku gugup. Aku nyaris gagal menekan perasaan ini saat akan lanjut memujinya.

“Kau terlihat … agak imut.”

Suaraku agak serak, dan entah mengapa malah terdengar agak sarkastik.

A-Aku mengacaukannya. Aku berpikir untuk memperbaikinya, dan berbalik menghadap gadis itu lagi.

Namun, aku justru melihat sepasang telinga yang memerah.

Kepala Yume menunduk sangat dalam hingga wajahnya tidak dapat terlihat.

Lalu, dia mengatakan sesuatu dengan pelan, bahkan lebih pelan dari perkataanku tadi, melalui tirai rambut hitamnya yang terkulai.

"Terima ... kasih …."

……Oi, oi, oi, oi, oi.

Padahal dia sudah pernah berpacaran sebelumnya. Apa memang begini reaksi yang seharusnya dia berikan? Dia tidak ada bedanya dengan siswi SMP yang baru pertama kali menaksir seseorang.

Haahhh, menyedihkan. Aku sangat payah kalau menghadapi gadis pemalu. Bahkan sekarang aku malah ikut tersipu malu. Hei, kau si ‘Junior’ SMA, sudah saatnya menenangkan diri. Nah, akan kutunjukkan caranya.

“ ……Oh, oh… ”

Aku menoleh ke arah gadis itu, dan malah memberikan jawaban yang lebih serak dari sebelumnya.

Sesaat kemudian, ponsel di sakuku bergetar .. Oi, Kawanami, ada apa lagi!? Kami berdua sedang tersipu malu, tahu, Apa sekarang kau senang, bajingan!?

Rasanya aneh. Entah mengapa ada kecanggungan yang tak tertahankan di antara kami. Serius ini, aku mulai mencemaskan kelanjutan kencan ini. Padahal ini baru awalnya ....

"Ngomong-ngomong ...."

Yume mulai berbicara. Sepertinya dia berusaha menghilangkan suasana canggung ini. Kerja bagus. Aku memujimu.

“Erm … sekarang … kita akan pergi ke mana?”

Oh, aku lupa memberitahunya.

Rencananya adalah membuat Akatsuki Minami berhenti mengejar Yume dengan memperlihatkan betapa eratnya hubungan kami. Karena tidak tahu apa pun tentang hal semacam ini, Kawanami-lah yang mengatur seluruh kencan ini untukku. Tentu saja orang itu juga sangat menikmati ini.

Karena kemungkinan harus mengantre terlalu lama, menurutnya taman hiburan bukan pilihan yang bagus. Bioskop itu terlalu berisiko karena ada kemungkinan selera film yang bertentangan. Kesimpulannya, dia memilih tempat yang tidak terlalu populer, tidak terlalu terang ataupu gelap, dan memiliki sejumlah atraksi.

"Kita akan ke akuarium."



◆ Yume ◆


Kami benar-benar terlihat seperti pasangan sungguhan.

Itulah pikirku saat berdiri di sebelah Mizuto yang sedang membeli tiket masuk.

Bukankah akuarium itu tempat yang biasa dikunjungi pasangan keluarga dan kekasih? Kenapa pria ini membawaku kemari? Bukan berarti kami berkencan, ‘ka — ah, tidak …. Apa kami memang berkencan?

Aku bahkan tidak ingat pernah melakukan kencan yang layak saat masih berpacaran dulu. Memang sih ada festival musim panas, Natal, dan ….

Bagaimanapun, aku harus tetap waspada. Aku memang terkejut karena dipuji barusan, tetapi aku masih belum tahu rencana asli pria ini.

Karena itulah aku harus tetap waspada.

“Di sini agak gelap. Jangan sampai tersesat.”

"Aku sudah tahu. Aku bukan anak kecil, tahu."

"Iya, iya."

Mizuto hanya mengangguk. Saat kami memasuki akuarium yang agak gelap itu, dia sengaja memperlambat langkah kakinya agar bisa mengimbangiku.

… Hah~?

Seharusnya wajahku terlihat angkuh saat ini, ‘kan? Sarkastik? Menyebalkan? Apa pria ini lupa tentang seringai menyebalkan yang selalu kuberikan kepadanya? ... Aku sangat kacau.

Tampaknya pria ini akan memainkan peran sebagai pacarku tak peduli apa pun yang terjadi. Kalau dia melakukan ini hanya untuk menambah tingkat rasa sukaku, aku akan tertawa sampai gigiku rontok.

Bukannya mau menyombongkan diri, tetapi tekadku ini sekeras es di Kutub Selatan. Selama perang dingin kami setengah tahun yang lalu, rasa sukaku kepadanya telah jatuh sampai ke negatif. Jangan kira bisa menghancurkan tekadku dengan akting pacarmu yang setengah matang itu!

Kalau kau memang ingin melakukan itu, oke, silakan. Tindakanmu itu akan 100% sia-sia!

"–– Ah."

Dia meraih bahuku, lalu menarikku mendekat.

"Ah, maaf." Dia menundukkan kepala untuk meminta maaf, lalu memberi jalan kepada pengunjung di belakang kami.

“Siapa sangka ada sebanyak ini pengunjung di akuarium. Kau tidak menabrak pengunjung lain, ‘kan?"

Bahuku! Telingaku! Dia baru saja menarikku! Dia berbisik kepadaku! Wajahnya sangat dekat! Aroma tubuhnya sangat harum! Arghh, serius! Tidak bisakah dia memberiku peringatan terlebih dahulu!? Aku juga perlu mempersiapkan diri dulu, tahu! Dia benar-benar tidak peka!

“… Sampai kapan kau mau memegang bahuku?”

Aku menatap wajah Mizuto dari dekat. Aku berusaha agar tetap terlihat tenang. Wah, wajah yang bagus. Bulu mata yang begitu panjang. Bibir yang begitu tipis. Aku iri dengan kulitnya yang bagus. Apa dia tidak bisa terus seperti ini saja? Tidak. Jika itu terjadi, aku mungkin akan kalah.

“A-Ahh, maaf.”

Mizuto melepaskan bahuku dengan agak canggung, lalu mundur setengah langkah. Kau tidak perlu sampai melakukan itu, tahu. Aku dengan dingin mengibaskan rambutku ke belakang bahu.

... Dia lebih mampu dari dugaanku. Setidaknya aku harus melakukan kencan ini sesuai permintaannya.



◆ Mizuto ◆


"Buuhhhhhhhhhhhhiiiiiiiii!"

Aku menelepon temanku, tetapi malah disambut oleh suara babi.

“Suatu hari nanti aku akan menendangmu(8) dari sekolah.”

“Itu seram, Bung! Lagian aku hanya tertawa seperti otaku yang menjijikkan!”

“Jangan menjelek-jelekkan otaku! Kau memang lebih baik ditendang dari sekolah!”

Aku sedang berada di bilik toilet laki-laki.

Bahkan belum ada setengah jam sejak kami berkencan, tetapi aku lelah dan memutuskan istirahat lebih awal di toilet. Tentu saja aku kemari bukan untuk kencing, melainkan untuk mengistirahatkan pikiran.

Berkencan itu … tidak mudah.

Bagaimana cara pasangan kekasih di seluruh dunia menyelesaikan quest yang sangat sulit ini? Aku senantiasa membantu tiap kali gadis itu akan menabrak pengunjung lain, tetapi dia malah memelototiku. Kami sedang melihat-lihat ikan, tetapi dia malah memelototiku dari samping. Aku berusaha mencari topik pembicaraan, tetapi dia malah memelototiku. Keselurahan kencan kami adalah Unlimited Glare Works!(9)

Sejujurnya, bahkan kematian lebih baik daripada ini.

Buku yang paling bisa mendeskripsikan situasiku saat ini adalah 'Ningen Shikkaku'(10). Aku akan pergi ke suatu tempat di mana tidak ada perempu — Eh, tunggu dulu. Kata-kata itu seharusnya tidak sedangkal ini.

“Tolong aku, Kawanami. Kalau tidak aku akan jadi seperti Osamu Dazai.”

“Bagus dong. Kau bisa jadi Bungo(11),” kata Kawanami setengah bercanda. 

“Huuuh? Enggak ada apa-apa. Lanjut saja melihat-lihat ikannya, Gadis Cebol.”

Apa dia tadi berbicara dengan Minami-san? Entah mengapa aku jadi sedikit lega.

“Apa kau enggak paham? Suasana di antara kami saat ini sangat buruk, tahu! Perutku terasa seperti ditusuk!”

“Hah? Serius ~? Begitukah menurutmu?”

“Apa maksudmu? Bukankah memang begitu?”

“Yah, sebagai seorang pengamat, menurutku kau memang sedikit gugup. Buhihohoho!”

Orang ini sangat suka menertawakan kemalangan orang lain, ya?! Kaulah yang memulai kekacauan ini, tahu!

“Yah, aku hanya bisa bilang — akan kuserahkan keputusan di garis depan kepadamu!”

“Jangan melemparkan tanggung jawab ke orang lain! Lakukan tugasmu sebagai komandan dengan benar!”

“Ups, aku harus mengakhiri panggilan ini. Ada seekor kuda liar yang akan menggila. Aku tidak sabar melihat dominasimu!”

Komandan Kawanami mengakhiri panggilannya secara sepihak. Kalau ini adalah cerita perang, mengingat tingkahnya ini, dia pasti akan dikhianati oleh bawahannya. Aku tidak akan memaaafkan ini.

Aku menghela napas, dan mencengkeram ponselku.

Aku mulai bingung dengan tujuan kencan ini .... Apa si bajingan itu hanya mempermainkanku?

Lagi pula, kenapa juga aku harus melindungi gadis itu? Salahnya sendiri berteman dengan si gadis gila yang berbahaya itu! Dia bukan kekasihku. Kenapa juga aku harus mengkhawatirkannya!?

Aku meninggalkan toilet dengan kesal.

… Yah, bagaimanapun, akulah yang memilih tanggal kencannya. Namun, aku merasa bimbang. Gadis itu sudah bersedia menghabiskan hari libur yang berharga ini denganku, jelas aku tidak bisa mengakhiri kencannya begitu saja. Kenapa aku tidak berpikir baik-baik dulu sebelum menjalankan rencana ini, sih ...?

Kami sudah janjian bertemu kembali di Mesin Penjual Otomatis dekat toilet. Karena pada akhirnya aku kabur untuk melakukan sedikit protes kepada Kawanami, aku bisa membayangkan bahwa gadis itu sekarang sedang kesal. Aku akan berjuang menahan omelannya saat sampai ke sana nanti.

“… Hmm?”

Aku melihat ke kanan, kiri, dan depan.

Tidak ada seorang pun di Mesin Penjual Otomatis.

Aku berbalik. Ada banyak gadis yang mengantre di luar toilet wanita, tetapi tampaknya Yume juga tidak ada di sana.

Aku menunggu sebentar, tetapi tidak melihat tanda-tanda si ‘Putri’ akan datang.

“…Eh?”



◆ Yume ◆


Ponselku berdering.

Aku berada di koridor yang diapit dua buah tangki akuarium besar. Sebenarnya aku tidak ingin menjawabnya, tetapi tidak ada pilihan lain.

"…Halo?"

“Oi! Kau di mana sekarang?"

Aku membatu. Di sebelahku terdapat tangki akuarium berisi sekelompok ikan tak dikenal yang sedang berenang ke sana-kemari.

Sebenarnya aku juga kurang yakin di mana ini, tetapi aku harus menjelaskan semuanya.

“... Aku juga tidak tahu.”

“… Haaahh—”

Aku tidak mau ikut mengantre terlalu lama di toilet wanita sana, karena itu dengan bodohnya aku memutuskan untuk pergi ke toilet lain. Awalnya aku kira tidak akan ada masalah.

Ada tiga kesalahan dalam perhitunganku. Pertama, jarak toilet lain lebih jauh dari dugaan. Kedua, tata letak akuarium lebih rumit dari dugaan. Lalu yang terakhir, aku payah dalam membaca peta. Yah, yang terakhir sebenarnya kurang tepat. Setidaknya aku masih bisa membaca peta di novel misteri!

Begitulah … meski tidak ingin mengakuinya, tetapi aku memang tersesat.

Ahhhh…! Kenapa selalu saja begini …!? Jangan sok berkeliaran kalau kau tidak mengenal tempat ini dengan baik! Jangan sok membuat rencana kalau kau tidak bisa melakukannya! Kenapa aku tidak pernah belajar dari masa lalu!? Kenapa!?

“Ma-Maaf ....”

Aku mengatakan itu dengan pelan, merasa amat menyesal. Ahh, silakan saja caci maki aku … Aku bisa membayangkan wajah pria itu yang sedang bersiap untuk mencaci maki kebiasaanku. Aku tidak bisa bembela diri kali ini. Aku hanya bisa bertahan dan mendengarkan omelannya. Itulah keputusanku.

Namun ... suara yang datang dari balik telepon malah ─

“… Tidak, itu bukan salahmu. Sebagian juga salahku karena sudah lalai.”

–– terdengar begitu baik dan lembut.

Dia menghiburku dengan nada suara sangat berbeda dari Mizuto Irido yang kukenal.

… Jantungku berdebar kencang.

Bukan berarti aku senang, ataupun jijik!

Aku hanya merasa seperti ada badai pasir yang bergemuruh di dalam dadaku.

“… Beri tahu aku ikan apa yang ada di dalam tangki akuarium. Aku akan mencoba mencari —”

"–– Ini aneh." Pada akhirnya aku bingung, dan berseru. "Seharusnya ... itu tidak pernah terjadi."

“…Eh?”

Aku mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh kukatakan.

Aku baru tersadar setelah mengatakannya.

Namun, itu semua sudah terlambat. ‘Nasi sudah menjadi bubur’. Aku sudah terlanjur mengatakan itu.

Aku tahu itu.

Telinga dan hatiku menderita karena keheningan yang datang dari balik telepon. Dalam tiga detik, aku akan mengakhiri panggilan ini. Aku menurunkan ponsel dari telingaku, dan mengakhiri panggilannya.

Aku menatap langit-langit akuarium yang agak gelap, lalu duduk di kursi.

“... Haaa~”

Aku mengacaukannya.

Aku payah dalam berkomunikasi. Mengapa aku selalu mengatakan hal yang tidak perlu semacam itu …?

Apa sebenarnya yang aku mau dari pria itu? Kalau aku hanya ingin akrab dengannya sebagai saudara, seharusnya tidak jadi masalah kalau dia bersikap baik kepadaku .... Malahan, seharusnya aku senang dengan itu.

Faktanya, hari ini Mizuto … begitu baik.

Bahkan jauh lebih baik daripada dia yang biasanya. Daripada dia yang biasanya selalu menyebutkan kata-kata sarkastis. Jauh lebih baik daripada kami yang selalu bertengkar dang menghina satu sama lain.

Namun.

Perkataanku tadi terdengar seolah-olah aku mau dia menghinaku.

Apa yang sebenarnya aku mau?

Sebenarnya aku ingin dia bagaimana?

— Bukankah aku putus dengannya karena membenci hal itu?


◆ Mizuto ◆


Aku berlarian di akuarium tanpa tujuan. Saat ini hatiku dipenuhi kecemasan.

Saat hubungan kami dulu berada di ujung tanduk, tepatnya setengah tahun yang lalu, rasa jijikku kepada gadis bernama Yume Ayai akan bertambah satu poin setiap harinya. Setiap tindakan dan perkataannya membuatku semakin jengkel.

Lalu, bagian yang paling menyakitkan bagiku melebihi apa pun adalah .....

Dia adalah seorang yang pernah aku cintai, orang yang berharga bagiku. Rasa cintaku ini mulai membuat frustrasi dari hari ke hari, sampai akhirnya perasaan itu berubah jadi kebencian. Rasa sakitnya sungguh tak bisa dibandingkan dengan apa pun.

Karena itulah aku putus dengannya.

Tidak akan jadi masalah selama kami bukan kekasih, tidak peduli sebenci apa pun aku kepadanya — Bagaimanapun, ini normal.


[— Seharusnya ... itu tidak pernah terjadi.]


Memang beginilah yang seharusnya .... Apa kau pikir ada hubungan yang lebih baik dari ini?

Apa kau pikir akan lebih baik kalau kita melanjutkan hubungan yang isinya hanya membenci, menghina, dan saling menyakiti itu?

Apa aku salah karena memilih untuk putus?

Apa semua ini salahku?

Tanpa sadar, aku berdiri diam di tengah lorong, beberapa pasangan keluarga dan kekasih melewatiku.

… Kalau memang itu masalahnya, kenapa tidak memberitahuku?

Apa kau pikir aku akan terganggu karena tahu bahwa kau tidak ingin putus?

“… Terganggu? Heh …”

Kalau diingat-ingat, hal yang sama pernah terjadi sebelumnya.

Dia tersesat, dan aku mencarinya — hal yang sama terulang kembali.

Oh, benar juga. Kajadian itu terjadi sebelum kami resmi berpacaran.

Itu adalah kencan pertama dalam hidupku.



◆ Yume ◆


Mungkin itu adalah pertama kalinya aku memberanikan diri.

Dulu kami hanya mengobrol di perpustakaan sekolah tiap harinya. Namun, pada momen itu, aku memberanikan diri untuk mengajak pria itu ke festival musim panas setempat. Kalau diingat lagi, dengan sifatnya yang suka menyendiri dan sangat menghindari keramaian, pria itu sangat tidak cocok dengan festival semacam itu. Namun, setidaknya dia tidak lupa memberikan satu poin ke dalam status sopan santunnya, jadi dia tersenyum dan menerima ajakanku.

Festival musim panas tiba. Ada lebih banyak orang dari yang kami duga.

Lalu sesuai dugaan, aku tersesat.

Pada kencan pertama itu, aku tersesat. Waktu terus berjalan tanpa ampun. Sandal geta(12) yang kupakai mulai jadi alat penyiksa, kakiku melepuh karenanya. Namun, bukan itu saja rasa malu terbesarku.

Aku tidak bisa keluar dari kerumunan, dan hanya berjongkok di antara dua kedai festival. Saat itu juga Irido-kun menghubungiku. Dia mengkhawatirkanku. Yang bisa aku lakukan hanya terus meminta maaf sambil menangis.

“Maaf …. Maaf …. Aku mengacaukan kencan ini .…”

Dia menyuruhku menunggu, dan menutup panggilannya.

… Dia pasti marah ....

Aku semakin putus asa saat memikirkan itu.

Itu sangat memalukan. Aku sangat lamban, sangat tidak kompeten, dan selalu saja mengacaukan segalanya … Saat itu aku juga berpikir bahwa tidak akan terjadi masalah, … tetapi pada akhirnya begini lagi.

Aku sangat-sangat-sangat membenci diriku. Padahal orang lain bisa dengan mudah melakukan semua hal yang mustahil bagiku. Bahkan aku kesulitan melakukan percakapan yang sebenarnya mudah bagi orang lain. Aku tidak bisa hidup seperti orang lain … Bahkan hingga ayah pergi.

Setidaknya, aku hanya ingin hidup tanpa merepotkan orang lain.

Setidaknya, aku tidak ingin menjadi beban bagi orang yang kucintai.

Seharusnya memang begitu, tetapi aku malah jadi serakah, tak pernah puas, dan sombong — lalu akhirnya jadi begini.

Suara keramaian di sekitarku berangsur-angsur jadi semakin jauh, dan kesadaranku rasanya seperti terisap ke dalam tanah. Yah, tidak apa-apa. Aku akan lebih senang bila tertelan ke dalam tanah dan menghilang.

Merupakan sebuah berkah bila orang macam diriku ini menghilang dari dunia.


Aku menutup hatiku .... Aku membangun Dinding Besar di dalamnya. Agar aku tidak membangun hubungan apa pun dengan dunia lagi. Agar aku tidak merepotkan orang lain lagi—

Sesaat kemudian, ketika aku memikirkan hal-hal semacam itu, ada orang yang menyodorkan minuman kaleng di hadapanku.

“— Eh?”

Aku menengadah .. orang itu adalah Irido-kun. Dia menatapku dengan tersenyum.

Aku masih berjongkok dan terus menatapnya. Lalu, dia berlutut di depanku untuk memberikan minuman kaleng itu.

“— Yo, Ayai.”

Dia menatap mataku. Sekarang mata kami berada pada ketinggian yang sama.

“— Jujur saja, mencarimu di keramaian seperti ini sangat melelahkan. Ditambah lagi, mendengar isak tangismu dari balik telepon membuat mentalku ikut lelah.”

“— … Uuu ….”

“—Namun, ... ilusiku tentangmu belum hancur, kok. Bukan berarti aku tidak tahu apa pun tentang dirimu.”

Aku melihat ke arah minuman kaleng yang dia berikan .... Ternyata itu adalah teh kesukaanku. Aku pernah membicarakan ini dengannya.

“— Aku sudah tahu betapa menyedihkan, serta canggungnya dirimu. Hari ini, aku juga belajar hal baru. Aku belajar bahwa kau itu mudah tersesat. Namun, aku tetap mencarimu meski tahu semua itu.”

Irido-kun menyodorkan sekaleng teh itu kepadaku. Ada beberapa embun di kaleng. Itu teh dingin.

“— Tidak perlu khawatir .... Kau boleh merepotkanku sebanyak apa pun. Tidak apa-apa.”

Aku memegang kaleng itu dengan kedua tangan, lalu menundukkan kepala.

Aku tidak boleh melihat wajah Irido-kun. Aku tidak ingin parasaan ini meledak, Rasanya seolah-olah aku akan kehilangan kendali: Seolah-olah aku akan memperlihatkan hal yang lebih memalukan lagi.


Aku memasukkan jari ke dalam cincin-tarik kaleng, sambil berusaha menenangkan wajahku yang memerah luar biasa .... Namun ....

“— ... Kalengnya susah dibuka …”

Irido-kun memberi senyum ramah kepadaku.

“–– Sini kalengnya.”

Kejadian satu ini mengubah kencan pertama yang kacau menjadi kenangan tak tergantikan.

Aku pasti akan kemari lagi tahun depan. Begitulah pikirku saat itu. Aku bertekad agar tidak tersesat lagi, dan menikmati festival musim panas dengan benar bersamanya.

— Namun, aku tidak pernah mendapatkan kesempatan itu lagi.

Perpecahan itu terjadi sebelum liburan musim panas, saat aku kelas tiga SMP.

Kami tidak lagi pergi berkencan. Kami selalu gagal membuat janji kencan selama liburan musim panas yang berlangsung lebih dari satu bulan itu.

Meski begitu, aku tetap datang ke festival musim panas itu.


Aku menerobos keramaian sendirian, dan berjongkok lagi di tempat itu. Tempat di mana aku tersesat dulu. 

Aku terus melihat ke arah kerumunan di depanku — Namun, sudah jelas pria itu tidak muncul.



Seandainya saat itu kami tidak bertengkar.

Itulah yang kupikirkan. Aku membayangkan kami berjalan bersama di keramaian ini —

… Serius ini, aku benar-benar plinplan.

Padahal itu sudah begitu lama, tetapi aku masih saja memikirkannya. Tentu saja pemikiran itu 100% tak berguna.

Meski tahu bahwa kami tidak pernah membuat janji, aku terus berpegang teguh pada kenangan indah tahun lalu dan mengharapkan pria itu muncul di depanku. Sungguh bodoh.

Kalau memang serius ingin memperbaiki semuanya, yang perlu aku lakukan hanya mengambil ponsel, menelepon, dan meminta maaf secara langsung kepada pria itu.

Namun, karena tidak pernah bisa melakukan hal itu, buhungan kami pun berakhir.

… Lebih baik aku pulang saja.

Aku muak dan lelah menonton pasangan kekasih dan keluarga di akuarium ini. Aku memang mudah tersesat, tetapi jika terus mengikuti kerumunan lain, aku mungkin bisa menemukan pintu keluar. Dengan pemikiran itu, aku pun menegakkan kepalaku …

Sesaat kemudian, ada orang yang menyodorkan minuman kaleng kepadaku.

“…Eh?”

Aku menengadah, dan melihat Mizuto Irido.

Dia menatapku, tersenyum, dan terlihat lebih tampan dari dirinya yang biasa. Dia memberiku sekaleng teh, sekaleng teh yang sama seperti dulu.






Lalu, dengan senyum penuh sarkasme tetapi suara yang tulus, dia berkata.

“Saya datang untuk menjemputmu, Putri. Apa Anda ingin Saya menunjukkan jalannya?



◆ Mizuto ◆


Merupakan sebuah penghinaan bila aku mengabaikan niat baik yang gadis itu miliki sampai saat ini. Yume membelalakkan matanya karena terkejut.

Selama festival musim panas dulu, aku mencarinya ke mana-mana. Aku mencarinya di antara kerumunan yang sangat kubenci, dan mendengar tangisannya dari balik telepon. Aku membuka kaleng teh itu untuknya.

Bagiku, tidak ada lagi bagian lain yang bisa disukai dari dirinya.

Aku muak dan lelah karena gadis itu tidak pernah melakukan apa pun untuk membuatku lebih menyukainya — Kalau dilihat secara objektif, kencan itu gagal total.

Namun, kenapa ...? Kenapa sejak kencan itu aku jadi ingin terus bersamanya — Itulah yang kurasakan dulu.

Entah apakah itu hanya karena keinginanku untuk melindunginya, tetapi aku mungkin iri dengannya, mengingat bagaimana dia bisa menunjukkan kelemahannya kepada orang lain secara terbuka —

Bagaimanapun — saat melihatnya, aku tersadar.

Nama gadis yang duduk di bangku itu sekarang adalah Yume Irido.

Gadis yang baru-baru ini menjadi saudari tiriku.

Dia jelas bukan lagi Yume Ayai.

Dia bukan keberadaan yang sudah lama aku lupakan itu.

Yume melihat kaleng yang kuberikan, masih ada embun di atas penutup kalengnya, dan menerimanya dengan kedua tangan.

"Kerja bagus. Kau harus memperbaiki hobi membacamu itu,” kata gadis itu sambil tersenyum nakal. Kelemahan yang dia tunjukkan sebelumnya sudah tidak terlihat lagi.

“Kamu ini bilang apa, Dasar Bodoh? Ayo selesaikan ini dengan Biblio battle(13).”

“Aku akan mulai duluan. 'Furenzoku satsujin jiken'(14) karya Ango Sakaguchi.”

“Berikutnya aku. 'Maihime'(15) karya Mori Ogai.”

"Jangan ingatkan aku tentang si Toyotarou bangsat itu!"

"Bukankah 'Furenzoku satsujin jiken' juga sama saja!?"

"Memangnya tidak boleh kalau semua orang di cerita mati!?"

Setelah sapaan yang sedikit santai itu, aku duduk di sebelah Yume.

Dia melihat kaleng dingin yang masih belum dibuka di tangannya itu. Cincin-tariknya masih utuh. Dia memasukkan jari rampingnya ke dalam cincin-tarik itu.

Setelah sedikit usaha untuk menarik cincin itu, terdengar suara letupan, dan udara mengalir masuk ke dalam kaleng.

Dia membukanya dengan mudah, tanpa perlu bantuan orang lain.

Aku juga membuka milikku, lalu kami minum untuk menghilangkan dahaga. 

Banyak pasangan keluarga dan kekasih yang terus melewati kami. Jadi, kami termasuk yang mana? Itulah yang aku pikirkan. Apa kami termasuk pasangan kekasih? Keluarga? Atau yang lainnya?

Dulu Saat Yume Ayai duduk di sebelahku, tanpa sadar aku akan merasa gugup.

 Jantungku akan berdebar dengan kencang, telapak tanganku akan berkeringat, dan seluruh tubuhku akan membatu.

Namun, saat ini, — meski yang duduk di sebelahku masihlah gadis yang sama, diriku masih bisa tenang seperti biasa.

Sudah kuduga ....

Aku tidak perlu lagi membuatnya menyukaiku.

Aku — Bukan, kami ... sudah terbebas dari kewajiban itu.

"… Hei."

Yume menurunkan kaleng minuman itu dari mulutnya, dan berkata, "Bagaimana menurutmu kalau seandainya ada mayat yang mengambang di tangki akuarium sebelah sana?"

Aku juga menurunkan kaleng minumanku, dan menjawab.

“Bagaimana kalau kau memeriksakan otakmu yang tergila-gila dengan cerita misteri itu? Perkataan itu hanya akan diucapkan oleh orang yang hampir mati dalam fenomena supernatural dan pada akhirnya jadi gila.”

“Eh!? Kau tidak pernah memikirkan hal semacam itu? Misalnya .... Ujung tajam mirip antena yang ada di puncak kereta Yamaboko, Festival Gion (16)! Saat melihat ujung tajam itu, bukankah kau akan berpikir bahwa ‘sangat menarik bilamana ada mayat yang tertusuk di sana?’”

“Aku tidak pernah memikirkan hal gila semacam itu. Juga, memikirkan hal semacam itu hanya akan membuatku kena karma. Paling-paling aku hanya memikirkan tentang 'hiu pemakan manusia muncul secara tiba-tiba di sungai Kamogawa dan memakan pasangan kekasih yang duduk di sana'.”

“Pemikiranmu bahkan lebih gila dariku! Juga, mana mungkin ada hiu pemakan manusia di sungai yang begitu dangkal!”

"Hiu itu memiliki kemampuan tak terbatas, tahu!"

"Jangan ngawur! Mereka itu cuma ikan!”

"Oke. Ayo kita buktikan. Mumpung sedang di akuarium, aku akan memperlihatkan  kemampuan tak terbatas yang dimiliki oleh hiu. Aku akan membuatmu merinding, dan berlutut di hadapan mereka.”

“Dari mana pria ini mendapat kepercayaan diri semacam itu .... Itu bahkan lebih arogan daripada seorang pembunuh yang menyamar jadi orang terkenal dan memberi si korban peringatan sebelum melancarkan aksinya."

Kami berdiri, lalu membuang kaleng minuman yang sudah kosong ke tempat sampah terdekat.

Begitu, ya.

Ketika terbebas dari kewajiban untuk saling menyukai, kami juga kehilangan kewajiban untuk membenci satu sama lain — Kami hanya saudara tiri yang pernah berpacaran di masa lalu.

Ini jauh lebih baik daripada hubungan busuk yang terjadi saat kami masih berpacaran dulu.

"Dasar Maniak Misteri menyebalkan."

"Dasar Otaku menyebalkan."

Kami menghina tanpa alasan, dan tidak merasakan sakit.



◆ Yume ◆


“Kyaa! Airnya menyembur kemari!”

“Oi! Jangan menggunakan aku sebagai tameng begitu saja!”

“Dasar tameng berisik! Aku jadi tidak bisa mendengar suara lumba-lumbanya, tahu!”

“Serius ...? Gadis ini menganggap suara lumba-lumba lebih penting daripada kakak tirinya sendiri!? Terima hukuman ini! Rok Fanservis!”

“Tunggu, jangan, jangan, jangan! Jangan pakaian ini, dasar bodoh, bodoh, bodoh!!”



Aku dan Mizuto bersenang-senang di akuarium, menggunakan dengan sebaik-baiknya tiket masuk yang sudah kami beli.

Kami memulihkan batin dengan melihat penguin lucu, menggunakan satu sama lain sebagai tameng selama pertunjukan lumba-lumba, dan makan siang di restoran dalam ruangan. Tentu saja, kami saling menghina sepanjang waktu.

Saat di perjalanan pulang, kami singgah ke toko buku untuk membeli buku. Kami tiba di rumah saat sore hari.

“Kami pulang ~” ucap kami dengan suara yang terdengar kelelahan. Namun, tidak terdengar jawaban sama sekali. Tampaknya ibu masih belum pulang.

“Haa. Aku lelah karena beberapa alasan. Seharusnya aku tidak memakai pakaian ini.”

Mizuto melepas kaus kaki, menggosok bahu, dan meregangkan otot-otot lehernya.

Ahhh … jadi ini adalah akhir dari gaya berpakaian tak biasanya itu, ya? Merupakan sebuah kebohongan kalau aku bilang bahwa tidak merasa kecewa sedikit pun. Bagaimanapun, dia tetaplah pria itu. Bahkan meski aku memintanya, dia akan bersikeras menolak berpakaian seperti itu lagi.

Yah, terserahlah. Jujur saja, aku agak lelah melihatnya seperti itu. Aku sudah kenyang melihat gaya berpakaian tak biasa itu hari ini.

Aku harus pergi ke kamar dan berganti pakaian — Begitulah yang aku pikirkan saat pergi menuju tangga.

“... Oke. Wah. Siapa sangka Kawanami akan mengirimikan pesan LINE sebanyak ini.”

Saat Mizuto hendak menuju ke wastafel untuk membasuh rambutnya, dia berhenti dan memeriksa ponsel.

Lalu, saat dia sedang memeriksa ponsel —

Dia mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya.

Lalu yang ada di dalam kotak itu adalah –– sebuah kacamata berbingkai hitam!

“——!?”

Kacamata? … Kacamata!

Oh, iya .… Dia biasa memakai kacamata anti radiasi saat menggunakan Komputer atau ponsel di rumah!

Saat itu juga ....

Dia berubah jadi salah satu khayalanku, yaitu seorang guru les privat!

— Taruh medali itu ke logam!(17) 

Aura inteleknya meningkat saat memakai kacamata, dan itu baru saja membuat sesuatu di dalam diriku tersentak.

“… Serius deh, kenapa orang itu malah jadi gelisah …. Haaa. Terserahlah. Mending aku membasuh rambut —”

“JANGAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAANNN!!”

Aku memegang bahu Mizuto tepat saat dia akan meraih gagang pintu kamar mandi, lalu aku menarik dia dengan penuh rasa keberatan.

Mizuto melihat dari balik bahunya dengan terkejut. Mata yang ada di balik kacamata itu terbelalak.

“Hah? Eh? Apa? Jangan?"

“Ja-Jangan rambutmu. Jangan dibasuh. Biarkan saja begitu!"

Kata-kataku berantakan, tapi sepertinya pria itu berhasil memahami maksudku. Kening yang ada di balik kacamata berbingkai hitam itu mengerut.

“Jangan basuh rambutku ...? Memangnya kenapa?”

Karena gaya rambut itu sangat cocok untukmu yang sedang berkacamata ini!

Tentu saja, mustahil aku mengatakan itu.

Be-Berpikirlah ...! Ini bukan waktunya untuk bingung. Aku harus membuktikan bahwa diriku yang sekarang berbeda dengan saat di SMP dulu. Aku harus cepat memikirkan sesuatu. Aku harus memikirkan cara agar dapat terus menikmati aura intelek dari pria lesu yang tiba-tiba jadi luar biasa saat memakai kacamata ini …!

Sel-sel otakku bekerja dengan kecepatan yang melebihi biasanya. Setelah menggali beberapa ingatan, akhirnya aku terpikirkan sesuatu.

Oh, benar juga!

“I-Ini hukuman untuk insiden celana dalam yang waktu itu. Sebagai seorang kakak, aku akan mengabadikan foto gaya berpakaian adikku yang keren ini!”



◆ Mizuto ◆


Masing-masing dari kami boleh memberikan satu perintah apa pun, asalkan tidak terlalu mesum dan berlebihan.

Aku memang sudah menggunakan hak yang kuperoleh dari insiden itu untuk mengajak Yume berkencan, tetapi Yume masih belum menggunakan miliknya.

Aku lupa tentang hal itu, dan baru mengingatnya sekarang ….

Aku tidak menduga gadis itu akan mengunakan haknya untuk hal semacam ini.

“Duduk di sofa. Bagus. Lalu, silangkan kakimu. Bagus! Taruh Bunkobon(18) ini di atas lututmu! Bagus, bagus! Sekarang taruh sikumu di lutut yang satunya, lalu tangan di pipi! Bagus, Bagus, Bagus, Bagus, Bagus!"

*Jepret!**Jepret!**Jepret!**Jepret!* Suara itu terus terdengar dari ponselnya.

Depan, kanan, kiri, dan bawah. Aku hanya bisa terus duduk, seperti Maneki neko(19), dengan tangan di pipi, sambil menahan pose kaku ini.

“Ehehehehe. Ehehehehehehe……!”

Dari tadi wajah Yume terus terlihat sangat puas.

Dia tampak lebih bahagia daripada saat kami pertama kali berciuman.

“… Hei, apa wajar kalau seorang kakak terlihat sangat bernafsu kepada adik sendiri begitu?”

"Hah? Eh? Bisa enggak diam saja? Kau terlihat sedikit keren, oke?”

“O-Oh.”

“Oooh .... Sosok, gaya rambut, jari-jemari yang panjang, dan penampilan bak playboy ini .... Ini benar-benar sesuai dengan seleraku! Juga, ada banyak hal lain yang tidak bisa kukatakan dengan keras di sini!”

“O-Oh ….”

Sepertinya dia sangat menyukai ini.

Awalnya aku mengira gadis itu menganggap penampilanku aneh, tetapi tampaknya gaya berpakaian yang dipilihkan Kawanami bekerja dengan sempurna.

Meski begitu, aku mulai merasa agak malu. Aku memalingkan wajah, dan memindahkan tanganku dari pipi ke mulut. Aku tidak tahu kegelisahan macam apa ini, tetapi suara jepretan dari kamera itu jadi semakin menggila.

Punggungku merasakan gatal yang tak tertahankan … Yah, kurasa perkataan Kawanami bukan omong kosong belaka.

“Ehehehehehehe … Sekarang aku punya foto pria tampan di ponselku …”

Yume memasang ekspresi penuh cinta di wajahnya saat menatap foto-foto di ponselnya itu. Ini membuatku terdorong untuk memberikan sedikit penawaran. Dengan senyum setengah bercanda, aku berkata,

"Yakin cuma mau foto saja?"

Sekarang aku jadi pria yang sombong.

"Sekarang adalah kesempatanmu. Apa kau punya permintaan lain, wahai saudariku?"

“Eh? … Se-Serius!? Apa pun boleh!?"

"Selama itu masih dalam batas kemampuanku tentunya."

"Ka-Kalau begitu, kalau begitu, kalau begitu!"

Matanya berbinar-binar, lalu dia duduk di sofa berbentuk L ini.

"Aku akan duduk di sini. Kau memelukku dari belakang, lalu berbisik ke telingaku!"

“… Permintaan macam apa itu?”

“I-Ini hukuman, tahu! Tidak ada hubungannya dengan keinginanku! Tentu saja seorang adik laki-laki punya kewajiban untuk memeluk kakak perempuannya dengan lembut dari belakang seperti ini!”

Akan sangat mengesankan kalau kewajiban macam itu benar-benar ada.

… Yah, ini memang gilirannya untuk memberikan perintah. Aku harus menuruti apa pun perintahnya. Harus.

Aku berdiri, memutari sofa, dan duduk di belakang Yume. Bahkan dari belakang sini, aku bisa melihatnya sedang gugup. Entah mengapa aku akhirnya juga ikut gugup.

Apa yang harus aku bisikkan …? Mungkin aku akan memilih salah satu dialog dari manga shoujo saja … hmmm …

Aku mengingat-ingat dialog dari beberapa manga shoujo yang aku tahu, dan mencari yang cocok untuk situasi seperti ini. Apa aku memang harus melakukan hal semacam itu? Pria macam apa pula yang akan mengatakan hal macam itu? Aaah, serius! Ini terlalu memalukan!



◆ Yume ◆


Tadi sepertinya aku baru saja membuat permintaan yang tidak dapat dipercaya, tetapi itu bukan masalah.

Apa yang akan dia bisikkan? Seperti apa nada suara yang akan dia gunakan? Aku sangat menantikannya.

Momen kegelisahan ini terus berlanjut. Setelah menggerakkan diriku untuk ketiga kalinya, aku merasa bahwa dia telah membuat keputusan. Ini dia, ini dia. Jantungku berpacu lebih cepat. Uh, oh. Aku sangat bersemangat. Aku sangat kaku— Sesaat kemuadian ....

Dia memeluk bahuku dengan lembut dari belakang, bagaikan sebuah sayap yang membungkusku.

Lalu, aku bisa merasakan saat bibirnya akan berbisik ke telingaku dengan suara maskulin yang jelas dan kental, dan hanya aku yang bisa mendengar ini.

“(—Aku menangkapmu).”

Aku tidak dapat mengingat apa pun yang terjadi setelah itu.



◆ Mizuto ◆


Aku merasakan penyesalan yang kuat di sekujur tubuhku saat mengucapkan perkataan itu. Apa-apaan yang barusan kukatakan ...? Aight, aku akan jadi daging hiu.

Namun, serius ini .... Aku mengatakannya. Aku benar-benar mengatakannya. Aku benar-benar mengatakan hal yang kau inginkan! Dengan suara yang sangat manis! Ayo, silakan saja tertawa sepuasmu! Aku sudah siap!

— Sesaat kemudian ....

Yume memegang tanganku yang ada di bahunya. Tangannya begitu putih.

Dia menoleh ke belakang, lalu menatapku dari dekat dengan mata hitamnya yang lembab. Dia bergumam dengan pelan, seolah-olah sedang mengatakan rahasia yang harus disembunyikan dari dunia.

"(–– Aku tertangkap)."

Aku tidak dapat mengingat apa pun yang terjadi setelah itu.



◆ Yume ◆


Pada akhirnya, kencan dadakan di akuarium berakhir dengan tragedi dua mayat di ruang tamu.

Meski begitu, masih banyak misteri yang belum terpecahkan. Pertama, bagaimana dengan sepatu siswi perempuan yang ada di pintu masuk waktu itu? Apa alasan Mizuto mengajakku berkencan, dan berpakaian mewah seperti itu? Juga, kenapa Mizuto ikut-ikutan terkapar di ruang tamu? Memangnya apa yang sudah kulakukan?

Sebelumnya belum pernah terjadi kasus di mana aku meninggalkan begitu banyak misteri yang belum terpecahkan begitu saja. Kalau ini adalah cerita misteri, ini merupakan kegagal besar. Yang aku ketahui dengan pasti hanyalah tentang foto-foto pria tampan ideal yang tersimpan di ponselku.

“Haaa … keren sekali …”

“... Bisa enggak jangan jilat foto itu saat si model sedang ada di hadapanmu begini?”

Aku membandingkan Mizuto yang biasa (Mode jelek), dengan si guru les privat yang tampan (Mizucool(20)) di ponselku ini.

“... Hei, apa kau tidak bisa pergi ke dunia lain saja?”

“Aku harus mati dulu untuk melakukan itu, ‘kan!?”

Eh~  tidak tidak, itu mustahil. Dia dari spesies yang sangat berbeda.

Baginya, gaya berpakaian itu merupakan hasil karya Kawanami-kun. Aku benar-benar harus membuatnya berpakaian seperti ini lagi. Sekarang produksi massal bukan sekadar khayalan lagi. Suatu hari, aku akan mencetak foto ini dan menempelkannya di langit-langit kamarku. Ehehehe…

“… Kau punya kebiasaan jadi liar begitu mulai bersemangat terhadap sesuatu.”

"Hah? Siapa juga yang bersemangat?”

"Dengar ya, apa kau sebodoh itu sampai tidak menyadari tindakan sendiri?."

“Aku tidak mau mendengar itu darimu. Kau yang tidak menyadari seberapa tampan wajahmu saat ini."

"Hei, bagaimana caranya kau bisa mempertahankan perilaku siswi terhormatmu sampai saat ini?"

Harus aku akui, aku tidak pernah menyadari tindakan yang akan aku lakukan saat mulai bersemangat. Namun, tindakanku tidak seburuk itu. Jadi, si penyendiri yang murung ini harusnya tidak perlu mengkhawatirkanku.

“Pagi, Yume-chan~!”

“Pagi juga, Minami-san.”

Hari senin pagi. Saat aku dan teman-teman yang lain sedang dalam perjalanan ke sekolah, Minami-san datang dan ikut bergabung dengan kami. Lalu, Minami-san memulai topik pembicaraan dan berkata.

“Apa yang kalian lakukan akhir pekan kemarin~?”

"Aku kerja sambilan."

“Serius? Kalau aku cuma tidur sepanjang hari.”

“Wah, irinya~!”

“Kalau kau bagaimana, Yume-chan?”

“Kurang lebih sama. Aku hanya membaca buku di rumah.”

“Intelektual banget~! Kesannya seperti Irido-san banget, ya~!”

Tidak perlu mengatakan apa pun tentang kencan akuarium dengan adik tiriku.

Tidak perlu meminta bantuan orang lain. Kehidupan SMA-ku yang ideal akan terus berlanjut.



◆ Mizuto ◆


Tidak ada mimpi yang terwujud tanpa biaya.

Hanya dengan membayar biaya itu, entah melalui penawaran ataupun pengorbanan, maka masa depan yang diimpikan bisa jadi kenyataan.

Bagian yang paling menjengkelkan adalah fakta bahwa mimpi ini terjuwud dengan membawa biaya lain juga. Sebut saja itu sebagai biaya pemeliharaan. Orang harus terus berkorban untuk mempertahankan dan melindungi mimpi yang telah terwujud itu.

Aku menyaksikan adegan bak mimpi di mana Yume Irido mengobrol dengan gembira bersama beberapa temannya. Aku menyadari bahwa rencana konyol yang dijalankan kemarin benar-benar berhasil.

Sejak hari itu, Minami-san tidak pernah mendekatiku.

Kawakami, yang telah mengawasinya, memberitahu bahwa, “Sepertinya semua sudah beres sekarang. Dia tidak akan mengejar Irido-san lagi! Dia sudah menerima ganjarannya!” Sekarang sudah aman.

Meski begitu, aku harus mengakhiri ini untuk selamanya.

Mungkin karena merasakan hal yang sama, Minami-san menatapku saat istirahat makan siang tiba.

Aku menghabiskan bekalku dengan cepat, lalu pergi ke perpustakaan. Tempat di mana dia melamarku.

Kami berada di sudut seberang pintu masuk. Tempat dikelilingi oleh banyak rak buku. Tentu saja Akatsuki Minami sedang menungguku dengan penyamaran si gadis kutu buku miliknya.

"Maaf! Aku sudah keterlaluan karena memasuki rumahmu seenaknya!”

Dia berkata sambil menepuk kedua tangan, lalu menundukkan kepalanya sedalam-dalamnya.

“Aku tidak bermaksud jahat! Kau sangat ceroboh sampai-sampai lupa mengunci pintu. Karena itulah aku jadi tidak tahan!”

“Bukankah aneh kalau mengingat fakta bahwa kau bisa mendengar suara mengunci pintu? Padahal suara semacam itu tidak terlalu nyaring."

Jelas dia memang sengaja menyelinap ke rumahku, ‘kan?

Minami-san menatap wajahku dengan cemas melalui kacamata berbingkai kehijau-hijauan yang tampak polos itu.

“… Apa kau akan memberi tahu Yume-chan tentang perbuatanku ini?”

Secara logika, aku memang harus melakukan itu.

Dia adalah seorang penguntit. Penjahat sungguhan. Lupakan tentang Yume, aku harus melaporkannya ke polisi.

Namun.

“…Yah, aku tidak akan memberitahunya. Lain kali lebih berhati-hati lagi, ya.”

“Eh? Kenapa …?"

Aku melihat ke luar jendela sambil memain-mainkan poni rambutku.

“… Yah, aku hanya tidak ingin gadis itu sedih.”

Yang muncul di benakku adalah pemandangan seorang gadis tertentu sedang mengobrol santai dengan teman-temannya.

Aku paham.

Gadis tertentu yang biasanya akan menangis bila tersesat sekarang sedang asyik mengobrol dengan teman-teman sekelasnya di sekolah. Aku paham sebanyak apa pengorbanan yang harus gadis itu lakukan.

“… Hmmm, begitu, ya.”

Dia berkata dengan penuh niat, dan memberikan senyum yang sangat bertentangan.

"Tapi aku enggak akan berterima kasih, loh"

"Enggak usah sungkan begitu. Silakan saja kalau memang mau berterima kasih sambil menangis tersedu-sedu.”

“Enggak mau~ aku tidak akan melakukan hal lebay semacam itu, tahu~”

Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Minami-san melihat sekeliling, dan aku mendesau.

“… Hei, boleh aku bertanya sesuatu? Kenapa kau menambahkan kursi kelima di meja makan keluargaku?”

“Eh? Apa yang kau maksud dengan ‘kursi kelima’?”

“... Eh?”

“Maaf, aku berbohong! Yah, saat itu aku hanya bercanda. Ah, aku sangat malu. Aku sengaja melakukan sesuatu seperti yang ada dalam film horor agar kau terkecoh~! Jangan dianggap terlalu serius~!”

Minami-san menutupi wajahnya dengan malu-malu. Pikirkan juga perasaanku yang gelisah karena hal itu, oi!

"Maafkan aku! Aku akan berhati-hati dan berkunjung lagi sebagai teman yang benar!”

"Oi, kau tidak terlihat sedang menyesali perbuatanmu sama sekali. Kau bahkan tidak terlihat ingin menjauhiku sama sekali."

“Soalnya kita mungkin akan hidup bersama setelah menikah, Irido-kun~!”

“Kau masih belum menyerah untuk menikahiku!?”

Bukankah kau bilang dia sudah menyerah, Kawanami!?

Minami-san melengkungkan bibir merah mudanya, lalu mendeklarasikan,

“Cara terbaik mengalahkan saingan cinta adalah dengan memasangkan saingan itu dengan orang lain — Benar, ‘kan?”



Sepulang sekolah, aku mengadakan rapat strategi tentang cara menghadapi Akatsuki Minami.

Tentu saja pesertanya adalah aku dan Kogure Kawanami.

“Jujur saja, aku tidak bisa melakukan apa pun kalau gadis itu memang belum menyerah. Mungkin kita harus mencobanya beberapa kali lagi!”

"Jangan coba-coba mengakhiri rapat secepat itu, dasar penguntit terkutuk."

"Aku lebih suka disebut 'love ROM specialist'."

"'ROM' apa?"

“Read Only Member Specialist. Atau disebut juga dengan pengamat. Seseorang yang hanya menonton dan tidak melakukan apa pun.”

Dengan kata lain, dia tipe orang yang suka menonton percintaan orang lain, tetapi tidak suka bila harus mengalami percintaan itu sendiri(21). Pantas saja aku tidak pernah melihat gadis di sekitarnya.

“Yah, tenang saja. Aku akan mempersatukanmu dengan Irido-san! Sehingga para gadis lain yang mendekatimu akan mati jantungan karenanya!”

"Oi, ada orang gila lain di sini!"

"Abaikan saja leluconku tadi."

"Jangan pikir kau bisa terbebas dangan alasan bahwa itu hanya lelucon!"

“Mari berhenti membicarakan tentang ship Mizuto Irido untuk saat ini.”

“Kau bahkan tidak berusaha mencari alasan lain untuk membohongiku …”

“Kalau gadis itu melakukan hal buruk lagi, beritahu saja aku. Aku lebih bisa diandalkan daripada orang lain kalau masalahnya menyangkut Akatsuki Minami.”

Aku menatap dengan tajam ke wajah playboy si teman andalku itu.

... Aku memang mempunyai firasat sebelumnya, dan perkataan barusan memperkuat firasat itu.

“… Boleh aku bertanya sesuatu, Kawanami?”

“Hmm?”

"Apa kau — pernah dilarikan ke rumah sakit sebelumnya?"

Kawanami menghentikan langkahnya, menaruh sikunya di atas meja sambil mengangkat wajah, dan memberikan senyuman yang sangat bertentangan.

Senyuman itu — sama persis dengan milik Akatsuki Minami.

"Ya. Saat SMP dulu.”

...Ahh, sesuai dugaanku.

Tampaknya teman andalku ini adalah si pacar yang stres itu.

Setelah memahami itu, aku memberinya senyum kecut dan lelah.

“Kita sama-sama menderita, ya.”

“Yap, sangat malah.”

Aku benar-benar merasa bahwa punya pacar adalah kesalahan besar.


CATATAN PENERJEMAH:

(1)Sungai Kamogawa 

(2)Kawakami.

(3)Kaos raglan adalah kaos yang memiliki potongan diagonal warna berbeda pada bagian lengan.  Gambar Kaos Raglan

(4)Celana capri (Kurang lebih begitu, agak susah mencari contoh gambarnya)

(5)Otome game berasal dari kata ‘Otome’, yang berarti "gadis muda" dalam bahasa Jepang, merujuk pada game dating sim alias simulasi berkencan. Game otome berkonsep memilih salah satu dari karakter-karakter ikemen (cowok ganteng) yang ditampilkan dalam game untuk dijadikan pasangan karakter yang Anda mainkan.

(6)Dalam versi inggris ditulis, “Thank goodness he was just a vase.” Mungkin maksud Yume di sini, penampilan Mizuto ibarat sebuah vas, diluarnya memang bagus, tetapi di dalam tetap kosong (enggak punya nyali). Dan yah, sisanya dah di jelaskan di monolog Yume selanjutnya, di situ dia mengira Mizuto enggak bakal berani mengambil inisiatif seperti berpegangan tangan.

(7)Yin dan Yang adalah konsep dalam filosofi Tionghoa yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia.

(8)Menendang dalam konteks mengusir atau mengeluarkan.

(9)Ya, ini referensi dari Fate series.

(10)Rivew buku Ningen Shikkaku

(11)Bungo sendiri sebenarnya berarti ‘Literatur’. Jujur aku enggak paham apa yang dimaksud Kawakami di sini. Mungkin maksud dia itu, ‘Bagus dong. Kau bisa jadi sastrawan terkenal seperti dia’?

(12)Sandal Geta 

(13)Biblio battle merupakan kegiatan yang berasal dari Jepang. Peserta biblio battle atau yang disebut battler, menyampaikan ulasan mengenai sebuah buku dan mengajak orang lain untuk membacanya. Waktu penyampaian selama 5 menit.

(14)Sayangnya aku enggak tahu apa-apa tentang novel ini. Sudah berselancar di internet pun, tapi hasilnya tetap nihil. Mohon maafkan penerjeman kalian yang kurang wawasan ini. *membungkuk*

(15)Maihime merupakan kisah tragedi cinta. Cerita Maihime berlatar di Berlin, Jerman. Sang tokoh, Ota Toyotaro saat masih kanak-kanak ayahnya meninggal, dan sejak itu ia dididik secara keras. Ia menempuh pendidikan di Kyuuhan (Sebutan wilayah kekuasaan Daimyo pada masa pemerintahan Tokugawa di Zaman Meiji), kemudian belajar di sekolah persiapan masuk Universitas Tokyo. Setelah masuk Fakultas Hukum di Universitas Tokyo, namanya selalu tercatat di papan teratas dan prestasi ini membuat ibunya bangga. Di usia 19 tahun, ia menjadi sarjana, lalu ia pindah dan bekerja di instansi pemerintah di Tokyo. Atas perhatian khusus atasannya, Ota ditugaskan ke Eropa untuk belajar, kesempatan ini juga digunakannya untuk mengangkat nama dan nasib keluarganya. Sejak kecil Ota selalu giat belajar, atasannya senang karena ia menunaikan tugas dengan baik, tetapi ia merasa dirinya orang yang pasif, mirip manusia yang bekerja seperti mesin. Selama di Berlin, dirinya pelan-pelan mulai berubah, ia sebenarnya tidak tertarik untuk terjun ke dunia politik, ia lebih tertarik pada sejarah dan kesusastraan. Ketika di Berlin, ia selalu menjadi ejekan orang-orang dan dijauhi oleh kelompok mahasiswa lainnya.

Pada saat dalam perjalanan pulang ke kosnya, ia bertemu dengan seorang gadis yang sedang menangis. Gadis tersebut bernama Elis. Elis bekerja sebagai penari di teater Victoria. Sejak saat itu hubungan mereka semakin akrab, namun banyak yang tidak suka dengan hubungan mereka, termasuk atasannya. Karena dianggap telah melenceng dari tugasnya, akhirnya pihak kedutaan memecatnya. Penderitaan Ota semakin menjadi ketika ia harus memilih nasibnya antara pulang ke Jepang dalam keadaan gagal atau tetap di Berlin tanpa mendapat beasiswa. Sampai ada seorang teman, Aizawa Kenkichi, ia meyakinkan editor beberapa surat kabar agar menjadikan Ota sebagai koresponden di Berlin. Aizawa juga menyadarkan Ota agar ia harus mempunyai tujuan hidup yang pasti untuk mengembalikan nama baiknya. Akhirnya Ota, memutuskan untuk kembali ke Jepang dan meninggalkan Elis yang pada saat itu sedang hamil. Elis pun histeris dan menjadi gila.

(16)Gion Matsuri 

(17)Dalam versi inggris tertulis, “Put that medal to the metal!” Aku sendiri enggak tahu apa maksudnya. Kalau kalian tahu artinya, tolong tulis di kolom komentar, ya.

(18)Bunkobon

(19)Maneki Neko

Note: Meski Mizuto bilang Maneki Neko, sebenarnya pose aslinya begini https://drive.google.com/file/d/1lxTG0dP0P4jNA38PVCizKyN8YYQntr3c/view?usp=sharing

(20)Penggabungan dari kata Mizuto + Cool (Keren) = Mizucool.

Share:

0 comments