Mamahaha no Tsurego ga Motokano datta Vol. 01 BAB 03
BAB 3
Mantan Kekasih Berangkat Sekolah Bersama
(Merasa Kesepian, ya?)
Saat itu bisa dibilang aku masih muda dan bodoh. Namun, aku mempunyai keberadaan yang disebut pacar pada saat pertengahan kelas dua SMP-ku.
Seperti kata orang, hidup manusia itu dipenuhi dengan banyak sejarah. Saat ini aku telah menjadi pria yang matang. Masa laluku sama seperti kebanyakan orang, selalu dipenuhi dengan hari-hari yang tidak terduga.
Contohnya saat hari pertama di semester kedua, saat aku kelas dua SMP.
Hari itu aku terbangun dalam keadaan yang masih mengantuk, karena kurang tidur, lalu dengan perlahan-lahan aku beranjak dari kasurku. Sangat jarang bagiku mengalami hal itu. Sebenarnya agak menyakitkan sekaligus memalukan untuk menjelaskannya, tetapi kalau memang harus menjelaskannya ... yah, itu karena hal yang terjadi sehari sebelumnya.
Sehari sebelumnya aku ditembak(1) oleh Yume Ayai.
Aku membaca sampai habis surat cinta yang ditulis olehnya, kemudian langsung menerimanya saat itu juga. Meskipun lebih tepat kalau kubilang, ‘Entah bagaimana aku menerimanya.’ Jadi, semenjak hari itu, aku secara resmi mendapat seorang pacar.
Pacar pertama dalam hidupku.
Aku merasa agak bahagia sekaligus gelisah. Pada malam harinya, aku berguling-guling tak karuan di atas kasur sampai pagi menyingsing. Meskipun itu bisa dianggap normal ... tentu saja itu bukan karena aku telah terjebak di dunia fantasi maupun terjebak di dunia mimpi. Itu hanyalah fenomena biologis tidak masuk akal, yang merampas waktu tidur berhargaku. Perbuatan Ayai sungguh tak termaafkan.
Ngomong-ngomong, itu adalah pagi pertama setelah aku mendapat pacar.
Sekaligus pagi pertamaku di semester kedua, saat kelas dua SMP.
Aku bersiap-siap, kemudian aku berangkat ke sekolah dengan terburu-buru.
Datang terlambat saat upacara pembukaan memang bukan hal yang baik, tetapi bukan itu alasanku berangkat dengan terburu-buru. Aku berangkat dengan terburu-buru karena aku mempunyai janji bertemu seseorang.
Di persimpangan jalan menuju sekolah, tempat di mana aku akan mendapat ciuman pertamaku nantinya, ada seorang gadis berkepang yang sedang berdiri di sana. Gadis itu sedang menungguku sambil menenteng tas di depan lututnya.
Gadis itu adalah Yume Ayai.
Alias pacarku.
“Ma-Maaf! Tadi aku ketiduran ...!”
“Ti-tidak apa-apa ... masih ada waktu kok ....”
Saat itu Ayai bukanlah orang yang pandai berbicara, bahkan saat berbicara denganku pun dia selalu tergagap. Aku marah saat memikirkan sebenarnya apa yang dialami gadis ini sampai-sampai jadi gadis yang selalu berkata kasar seperti sekarang ini, tetapi mari kita abaikan itu untuk saat ini.
Ayai melirik ke wajahku, mulutnya sedikit terbuka.
“A ... A-Apa kau tidak tidur tadi malam?”
“Ahh, ya ... yah, hanya sedikit kurang tidur ... sih.”
“Be-Begitu toh ....”
Dia terus memain-mainkan poni panjangnya, mengalihkan pandangan matanya, pipinya jadi agak merona, kemudian dia berkata dengan suara yang sangat pelan, saking pelannya suara itu bahkan bisa hilang terbawa angin.
“A-Aku juga ... tidak bisa tidur sama sekali tadi malam ....”
Saat itu aku sangat bodoh, bahkan percakapan sederhana seperti ini membuatku sangat kewalahan. Jantungku berdebar dengan kencang, sedangkan lidahku bergerak lebih lambat lima detik daripada Ayai. Aku bertingkah layaknya robot yang lupa diberi pelumas.
Kami hanya melanjutkan percakapan dengan kata-kata seperti, “ahhh” dan “uuuhhh”, kata-kata yang sebenarnya tidak bisa disebut sebuah percakapan. Kami melakukannya sambil berjalan berdampingan menuju ke sekolah. Jarak di antara kami berdua hanya setengah langkah. Setiap kali kami melangkah, punggung tangan kami akan bergesekan. Pada saat seperti itu, kami penasaran apakah harus bergandengan tangan atau tidak.
Karena kami berpacaran, kelihatannya kami boleh bergandengan tangan.
Namun, karena kami baru resmi berpacaran kemarin, mungkin hal itu masih terlalu cepat bagi kami.
Itulah yang kupikirkan pada saat itu, tetapi bergandengan tangan atau semacamnya merupakan hal yang terlalu sulit bagiku. Apalagi kalau mengingat aku ini perjaka yang menghargai kenangan saat jari-jemari kami saling bersentuhan sehari sebelumnya2.
Kemudian tanpa kami sadari, tinggal 50 meter lagi sebelum sampai ke sekolah.
Aku mulai melihat para siswa lain yang menuju ke sekolah. Jadi, kupikir, ahh, inilah akhirnya–hahaha, hidupmu sudah berakhir–sayang sekali, diriku.
Ayai mulai melihat ke sekeliling dengan tampang yang mencurigakan.
“Ahh ... erm ... ke sebelah sini ...”
“Eh?”
“Te-terlalu ... memalukan kalau ... pergi ke kelas bareng.”
Kurasa saat itu keberuntunganku telah pergi, tepatnya saat aku menyadari kalau Ayai yang sedang berbisik itu terlihat sangat imut. Pada saat itu, telah ditakdirkan kalau hanya kami yang mengetahui hubungan ini.
Jika saat itu kami pergi ke kelas bersama dan bertingkah layaknya pasangan, aku mungkin tidak akan memiliki keinginan posesif yang aneh ini, Ayai juga tidak akan mencari-cari kesalahanku ... dan kami tidak akan putus sekarang ini.
Namun, semua itu hanyalah masa lalu.
Kami bukanlah Kazuko Yoshiyama(3) ataupun Natsuki Subaru(4). Semua pengandaian itu ... hanyalah khayalan semata .... Namun ... tentang yang akan kukatakan selanjutnya ... aku akan mengatakannya seolah-olah itu hanya khayalan semata.
Jika .... Bagaimana jika ....
Bagaimana jika hari itu, Ayai dan aku dapat berangkat sekolang bersama sampai ke kelas?
... Namun, bahkan bagi diriku yang sudah matang ini, aku tidak pernah mengharapkan hari di mana rute “What If” itu akan muncul.
o
Masa-masa yang paling kubenci(5) dalam hidup ini, liburan musim semi sebelum masuk ke SMA, akhirnya telah berakhir.
Aku sangat senang akan hal itu. Namun, aku memiliki masalah besar yang lain.
“....”
“....”
Adik tiriku, Yume Irido, muncul dari kamar mandi. Kami hanya saling melotot tanpa bertukar kata sama sekali.
Kami saling merengut, atau lebih tepatnya, merengut karena seragam yang kami pakai.
Yaitu jas sekolah berwarna biru kelasi. Desainnya memberikan banyak kesan keseriusan, sedangkan dasi yang berwarna merah menunjukkan kalau kami anak kelas satu SMA.
Yume dan aku memakai seragam SMA yang sama.
Tentunya ini juga jebakan lain yang dipersiapkan si Dewa pencinta kisah ironi itu, sama seperti saat bagaimana Yume dan aku menjadi saudara.
Tahun lalu, kami sedang bersiap-siap untuk ujian masuk SMA ... dan saat itu hubungan di antara kami sudah sangat dingin.
Tentu saja kami tidak membahas apa pun tentang SMA yang ingin kami masuki. Malahan, aku memilih sekolah persiapan swasta, yang tidak dipilih siswa lain dari SMP kami, sebagai pilihan pertamaku.
Ada juga masalah biaya sekolah bagi keluarga yang hanya memiliki satu orang tua, tetapi aku bisa mengatasi ini kalau berhasil lulus ujian masuk. Kudengar gadis itu juga memiliki satu orang tua saja, yaitu Ibunya. Jadi, akan kupastikan agar berhasil masuk ke sekolah ini, aku pasti bisa menjauh darinya. Karena itulah aku belajar dengan giat.
Kemudian aku mendapat beasiswa gratis.
Bersama dengan Yume.
... Ya.
Pemikiran gadis ini sama persis denganku.
Dia tidak ingin masuk ke SMA yang sama denganku. Jadi, dia memilih sekolah persiapan yang menurutnya pasti tidak akan aku pilih, lalu belajar dengan giat.
Tidak banyak sekolah yang menyediakan beasiswa. Kemudian kami, siswa dari SMP yang sama, berhasil mendapatkan beasiswa yang terbatas ini.
Apakah kalian memahami keputusasaan yang kami rasakan saat dipanggil ke ruang guru bersama! Lalu dipuji karena 'Telah menjadi kebanggaan SMP kami'!
... Sejujurnya, itu bahkan lebih mengejutkan daripada gagal di ujian masuk. Saking mengejutkannya, kami hanya bisa tersenyum hampa sampai akhir.
Di dunia ini, ada banyak pasangan yang belajar dengan giat agar bisa masuk ke sekolah yang sama. Mungkin hanya satu pasangan tertentu, yaitu kami, yang belajar dengan giat agar bisa masuk ke sekolah yang berbeda .... Namun, pada akhirnya kami malah memasuki sekolah yang sama. Bagaimana bisa begini?!
DASAR DEWA SIALAN!
... Tidak, sebenarnya kami juga bodoh karena tidak saling memata-matai dan mengumpulkan informasi.
Ngomong-ngomong, melihat seragam yang sama membuat kami saling menatap dengan hina.
“... Seragam itu tidak cocok untukmu.”
Mata gelap Yume menusukku dengan dinginnya.
“... Kau juga sama saja. Rok lipit itu sungguh tidak cocok untukmu.”
Aku balas menusuknya dengan suara yang dingin serta mata yang gelap.
“Rata-rata seragam sekolah anak perempuan memiliki rok lipit, tahu!”
“Maaf, aku salah bicara. Kau tidak pantas menjadi anak sekolahan.”
“Ohh, iya! Setelah kau membahasnya, kau bahkan tidak pantas menjadi manusia.”
“Kalau begitu, kau bahkan tidak pantas di Bumi ini.”
“Kalau begitu, kau bahkan tidak pantas di tata surya ini.”
“Kalau begitu, kau bahkan tidak pantas di Galaksi Bimasak–!”
Kemudian kami menggunakan konsep-konsep ruang, seperti tiga dimensi, meskipun itu tidak cocok digunakan untuk bertengkar. Saat kami bertengkar menggunakan konsep ruang, wajah seorang wanita muncul dari ruang tamu.
“Oh, astaga~! Seragam itu sangat cocok untuk kalian!”
Wanita itu adalah ibu tiriku, Yuni-san.
Dengan semangat yang tidak biasa, dia menghentikan kami yang akan saling membantai. Kemudian dia mengangguk dengan wajah kekanak-kanakan.
“Kurasa seragam sekolah persiapan itu memang berbeda~! Kalian terlihat sangat keren! Kalian berhasil masuk ke SMA yang sukar dimasuki! Anak-anak kami memang luar biasa!”
... Meskipun kami saling mencaci seragam ini, kami tidak pernah membicarakan tentang “Masuk ke SMA yang lain.” Tentu saja ada alasannya.
Itu karena orang tua kami sangat senang saat kami lulus ujian masuk.
Yume dan aku sepaham tentang keluarga kami ... Bahkan tanpa diberitahu pun, kami tahu bahwa intinya ini adalah hal yang tidak bisa kami singgung.
“Tentu kita akan memfotonya kan!? Ayo lebih dekat lagi, kalian berdua!”
Kau bercanda, ‘kan?
Itulah yang ingin kutahu. Namun, setelah melihat Yuni-san mengeluarkan ponselnya dengan riang, meski sebagai anak tiri, aku tidak bisa menolaknya. Nampaknya itu juga berlaku untuk putri kandungnya, yaitu Yume.
Saat akan difoto, kami berdiri bersebelahan sambil mencoba memasang senyuman palsu, Aku sungguh mulai terbiasa membuat senyum palsu.
Manusia memang mudah beradaptasi dengan kebiasaannya, ya.
“––Fufu. Setelah dilihat-lihat, bukankah kalian mirip sepasang kekasih?” ”
Setelah mendengarnya, aku jadi memikirkan akan hal itu. Namun, tanpa disadari, ada serangan tiba-tiba yang menghantam dan membuatku terkejut.
... Jelas banget ya? Ekspresi wajahku jelas banget, ya?
“Ibu bicara apa sih? Lagi pula, kami baru kenal akhir-akhir ini, ‘kan?”
Sambil menendang kakiku secara diam-diam, Yume mengatakan itu dengan tenang kepada Ibunya. Apa ekspresi wajahku sungguh mudah ditebak?
“Namun, kau itu mirip aku, sedangkan Mizuto-kun mirip Mine-kun kan? Rasanya seperti melihat diri kami saat masih SMA~.”
“... Jangan gunakan anak sendiri untuk memamerkan cintamu. Juga, aku tidak mirip Ibu.”
“Maaf, maaf.”
Mine-san yang dia maksud itu adalah Ayahku. Nama lengkapnya adalah Mineaki Irido.
“Kalau begitu, maukah kalian masuk duluan ke mobil? Kami akan menyusul setelah selesai.”
Setelah mengatakan itu, Yuni-san kembali ke ruang tamu.
Hari ini adalah upacara pembukaan. Kami adalah siswa baru. Sementara itu, sebagai wali kami, Ayah dan Yuni-san akan berkunjung ke sekolah hari ini .... Jadi, apa-apaan ini sebenarnya?
“... Haa.”
“Jangan mendesau begitu. Nanti aku malah tertular.”
“Memangnya aku bisa? Pertama-tama, karena kita berada di SMA yang sama, kita bisa berpura-pura tidak saling mengenal ....”
Tak ada seorang pun di SMA ini yang mengenal kami.
Jadi, mudah saja bagi kami untuk berpura-pura tidak saling mengenal.
Namun, sekarang kami adalah saudara, kami memiliki orang tua yang sama, dan akan naik mobil yang sama untuk berangkat ke sekolah. Kami harus pura-pura akrab.
Mengingat semua faktor ini, terlalu sulit untuk berpura-pura tidak saling mengenal.
“Sampai jumpa lagi!”
“Mizuto~ jangan lupa cari teman yang banyak, ya!”
Kami tiba di sekolah. Setelah selesai berfoto di depan gerbang sekolah dan menyelesaikan banyak hal, kami akhirnya berpamitan dengan orang tua kami untuk saat ini. Kami harus pergi ke ruang kelas sebelum upacara pembukaan, lalu bertemu teman sekelas dan guru wali kelas kami.
Kami sudah mengetahui di mana kelas kami. Sepertinya mereka membagi kelas berdasarkan nilai di ujian masuk .... Dengan kata lain, entah mengapa, meski bukan karena alasan keluarga, pada akhirnya kami malah masuk ke kelas yang sama (Kelas 1-7). Kebetulan saat ini aku tidak bisa mendesau.
Saat orang tua kami telah pergi, “Nnn~” Yume merenggangkan punggungnya.
Kemudian.
“Dasar Otaku menyebalkan.”
“Dasar Maniak Misteri menyebalkan.”
“Dasar Kecambah.”
“Dasar Cebol.”
“Sekarang aku sudah enggak cebol lagi tahu!?”
“Bagiku, kau masih terlihat sama.”
Kami melanjutkan rentetan cacian kami. Ini diperlukan agar kami tidak meledak nantinya.
Kami memasuki sekolah, kemudian saling berbicara selama perjalanan ke ruang kelas 1-7.
“Jadi, sekarang bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”
“Apa kita benar-benar akan masuk ke ruang kelas bersama?”
“Kita memiliki nama keluarga yang sama, itu saja sudah menarik perhatian. Jadi, mending sekalian saja ke ruang kelas bareng.”
“... Aku tidak bisa membayangkan kalau kau orang yang sama dengan si gadis pemalu dulu.”
“Bicara apa kau tadi?”
“Enggak ada kok.”
Dia benar. Kalau kami terlalu mengkhawatirkan akan hal itu, malah akan berefek sebaliknya.
Kami akan memasuki kelas 1-7 seperti biasa, yaitu masuk dari depan.
Semua pandangan orang di kelas tertuju ke arah kami. Ada sekitar 20 siswa di dalamnya, mereka sangat gelisah karena akan bertemu dengan teman-teman baru.
Berdasarkan kertas yang ditempelkan di papan tulis, aku duduk di depan.
Nama keluarga Yume dan aku adalah “Irido”. Jadi, kami harus duduk di depan dan belakang. Aku duduk di depan karena namaku berawalan huruf “Mi”, sedangkan Yume duduk di belakang karena namanya huruf “Yu” .... Aku punya firasat buruk tentang Yume yang duduk di belakangku. Namun, untuk saat ini, kami akan duduk di kursi yang telah ditetapkan.
*gedebuk!*
“Ow!”
Kursiku ditendang dari belakang.
Sangat sesuai dengan yang diharapkan!
Aku berbalik dan menatap tajam ke belakang, si pelaku hanya menatap keluar jendela seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi. Dasar gadis ini ....
Aku rasa kami baru akan berganti tempat duduk bulan depan dan aku merasa harus menyerahkan punggungku pada gadis ini untuk sementara. Sungguh tidak menguntungkan. Aku harus memikirkan tindakan pencegahan dengan cepat ,,,,
Mengingat situasi saat ini, teman sekelas kami hanya memperhatikan.
“... Tadi kau menendang kursiku, ‘kan?”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu.”
“Apa tidak apa-apa kalau kau tidak mencoba berteman? Junior-chan.”
“Siapa yang kau sebut ‘Junior-chan’ hah?!”
Saat kelas tiga SMP dulu, dia masihlah gadis biasa. Namun, sekarang kesan itu telah hilang. Dia berubah dari luar dan dalam. Pada dasarnya dia sangat berbeda dengan Yume Ayai yang memberiku surat cinta saat akhir liburan musim panas dulu.
Situasinya sekarang adalah kami memasuki SMA tanpa mengenal seorang pun yang ada di sini. Aku tidak tahu sebutan yang lebih tepat selain “Junior.”
“Tidak usah khawatir tentang hal itu, Mizuto-kun?”
Yume tersenyum, seolah-olah akulah yang bodoh.
“Aku memiliki ‘senjata mematikan.’”
“Irido-san, kamu dari SMP mana?”
“Aku hanya dari SMP biasa kok. Tidak ada yang spesial tentang hal itu.”
“Hobimu apa!?”
“Kurasa, aku hobi membaca. Walau agak membosankan kalau dibahas sih.”
“Kamu ada di peringkat teratas saat ujian masuk kan? Berapa banyak yang telah kau pelajari?”
“Kurasa enggak banyak-banyak amat ... yah, pengennya sih ngomong gitu. Namun, aku sungguh menghabiskan banyak waktu untuk menjejalkan semua meteri itu, bahkan waktu tidur dan makanku pun jadi terabaikan. Aku lega karena telah terbebas.”
Aku bisa mendengar suara cekikikan yang ada di belakang.
... Saat hari pertama sekolah, Yume Irido naik ke kasta teratas di kelas.
Hal itu terjadi saat kami kembali ke kelas, seusai upacara pembukaan dan sesi perkenalan yang sederhana. Para siswa yang mengeremuni kami mulai mendekat, layaknya semut yang mengerumuni gula.
Yap, itu karena upacara pembukaan, senjata mematikan yang dibicarakan Yume, berhasil bekerja dengan sangat efektif.
Gadis itu ... dia menjadi perwakilan para siswa baru.
Yah, itu membuktikan kalau dia siswa peringkat teratas di antara semua siswa baru. Di sekolah persiapan ini, yang lebih mementingkan nilai, realitas menjadi posisi terkuat. Sekarang Yume Irido bukan lagi gadis rendahan yang harus kesulitan mencari teman.
Namun, bagiku, itu tdaklah berarti.
Sialan ...!
Mengapa nilaiku lebih rendah darinya!? SIAAAAALLLLLL ...!
Sekarang dia memiliki label baru yang berkilauan, yaitu label sebagai kebanggaan sekolah. Meski kami mempunyai nama keluarga yang sama, semua orang tampaknya telah melupakanku. Terserahlah. Aku beranjak dari kursi, seolah-olah terdorong oleh kerumunan yang mengelilingi Yume.
Upacara pembukaan dan jam pelajaran telah berakhir. Jadi, tidak ada gunanya tetap di sekolah. Aku akan menemui Ayah dan Yuni-san, kemudian bergegas pulang.
Tidak perlu pulang bersama gadis itu ... karena kami bukan kekasih.
“.......”
Rasanya Yume sedang melirikku, ataukah itu hanya peasaanku saja.
Hmph. Berteman dengan banyak orang memang bagus sih.
Aku melanjutkan membaca buku di kamarku. Kemudian tanpa kusadari, sekarang sudah sore.
Aku turun ke lantai bawah karena merasa haus dan ingin minum. Kemudian tepat pada saat itu, pintu masuk terbuka.
“Aku pulang.”
Itu adalah Yume. Dia pulang sendirian. Ayah dan Yuni-san sudah pulang ke rumah dari tadi. Karena ini sudah tiga jam seusai upacara pembukaan. Kata Ayah, Yume di undang oleh teman sekelas untuk menghadiri pesta para siswa baru.
Kurasa dia memiliki debut yang bagus. Aku bahkan tidak bisa membayangkan situasi yang dulu akan terulang lagi, yaitu situasi saat dia tidak bisa menemukan satu pun orang yang bisa diajak berpasangan untuk kelas olahraga.
Dia berjalan menyusuri lorong dengan tenang, lalu memberikan senyum riang saat melewatiku.
“Merasa kesepian ya?”
“... Hah!?”
Aku merengut. Namun, gadis itu hanya cekikikan.
“Maaf karena tidak bisa menemanimu saat sendirian, ya.”
“... Enggak apa-apa. Tidak usah khawatir tentang hal itu. Kau boleh menghabiskan sepanjang hari buat chattingan di LINE kok.”
“Kalau begitu, oke.”
Yume menjawabnya dengan singkat, lalu berjalan menaiki tangga.
... Cih. Mengapa aku harus melihat senyum kemenangannya itu.
Memangnya kenapa juga aku harus merasa kesepian?
Keesokan paginya, setelah aku mendapatkan pemikiran yang rumit itu.
“Irido, kau dari SMP mana?”
“... Yah, aku hanya dari SMP biasa.”
“Apa kau mempunyai sebuah hobi? Suka main gim enggak?”
“Enggak terlalu sih ....”
“Bagaimana ujian masukmu? Sebagai saudara Irido-san, harusnya kau juga pintar sepertinya kan?”
“Kurasa lumayan.”
Kenapa?
Kenapa sekarang malah aku yang dikerumuni?
Ini seperti fenomena supranatural. Aku hanya berangkat ke sekolah di pagi hari, lalu tiba-tiba jadi seperti ini .... Sepertinya semua orang telah tahu kalau Yume dan aku adalah saudara. Apa gadis itu membongkarnya saat pesta para siswa baru kemarin? Walau nantinya mereka juga akan tahu sendiri ....
Sejak dilahirkan dari rahim Ibuku, mungkin ini pertama kalinya aku dikerumuni oleh banyak orang. Kalau dibandingkan dengan jumlah beberapa Dokter dan Perawat di Kamar Bersalin saat itu, sekarang, ada lebih banyak siswa laki-laki yang mengerumuniku.
Aku dibombardir dengan pertanyaan satu per satu dan aku sangat kewalahan karenanya. Apa kemarin gadis itu berhasil menangani interogasi yang berbelit-belit seperti ini? Apa gadis itu mata-mata yang dalam pelatihan?
Saat dipaksa ke ambang kematian, Yume datang dan masuk ke kelas tepat sebelum bel masuk berbunyi. Dia menyapa para gadis saat melihatku dikeremuni, lalu kembali berjalan sambil cemberut.
Kemudian, setelah dia meletakkan tasnya di belakang kursiku.
*Bam!*
Dia menendang kursiku.
Kenapa?
Kurasa ini yang sering orang sebut, ‘Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.’
Tidak ada kelonggaran, bahkan saat hari pertama. Kurasa karena ini adalah sekolah persiapan. Selama seharian ini, enam jam pelajaran penuh, kami terus belajar. Tidak seperti sekolah biasa, yang hanya ada MPLS(6) saat hari pertama. Kalau dibandingkan dengan rentetan pertanyaan tadi, jam pelajaran yang ketat ini masihlah surga. Hidup jam pelajaran!
Saat istirahat siang, aku kabur dari ruang kelas. Kabur demi hidupku.
Setiap pagi, saat kelas akan dimulai, aku akan menemukan para interogator yang menungguku. Karena lebih dari setengah interogator itu berasal dari kelas lain, akan membutuhkan waktu sampai mereka berkumpul. Jadi, saat itulah aku mengambil kesempatan untuk kabur.
Aku mengunci diri di bilik toilet sekolah, sambil menunggu keadaan menenang. Toiletnya bagus, bergaya barat, dan rasanya lebih nyaman daripada yang kubayangkan. Sekolah swasta luar biasa.
Ya ampun. Serius deh, mengapa popularitasku membludak seperti ini ... padahal aku tidak sedang trending di internet maupun twitter. Apa ada sesuatu dariku yang menarik perhatian mereka?
Kalaupun ada ... kurasa itu tentang aku yang menjadi saudara tiri Yume Irido ....
“Apa kau datang sore ini.”
“Tentu. Lagi pula, aku ingin mendekati gadis itu.”
Aku bisa mendengar beberapa suara dari luar bilik.
Jadi, bukan cuma gadis yang punya hak menggosip di toilet ya? Mengejutkan juga.
“Gadis itu sangat imut, ‘kan? Dia juga siswa nomor satu di angkatan kita. Dia manusia super yang sempurna, ‘kan?”
“Serius ini, aku melihat foto LINE-nya dan langsung jatuh cinta.”
Nomor satu di angkatan kami ... maksudnya gadis itu?
Mereka bilang gadis itu imut ... ? Kalian berdua harus pergi ke dokter mata, loh.
“Jadi, mengapa kau menempel ke Adik tirinya(7) itu? Bukankah kau bisa langsung mendekati gadis itu saja?”
“Kalau seperti itu, dia akan menganggapku menyebalkan. Bukankah lebih baik kalau mendekati Adik tirinya dulu?”
... Hah?
“Kurasa yang lainnya juga berpikiran seperti itu.”
“Namun, Adik tirinya terlihat agak suram. Rasanya tidak mudah bergaul dengannya.”
“Itu karena kaunya saja yang menyebalkan, ‘kan?”
“Aww, kejamnya. Hahahaha–”
... Ahh. Misteri terpecahkan.
Jadi, dengan kata lain, orang-orang itu menggunakanku sebagai batu loncatan untuk mendekati Yume dengan niat jahat mereka.
Itu doang?
Aku keluar dari bilik.
“Woaahh!?”
“Itu membuatku kaget ...”
Aku mengabaikan orang-orang yang terkejut itu dan pergi meninggalkan toilet.
“... Tunggu? Itu kan ....”
“Ah–”
Sesaat setelah aku menampakkan diri di koridor, beberapa orang mulai berkerumun.
Atau lebih tepatnya, kurasa lebih pas kalau disebut, “Mereka hanya mengekor kepadaku.”
... Kalau mereka berbicara kepadaku karena ingin berteman, aku akan menanggapi ajakan mereka dengan lebih serius.
Namun, kalau bukan karena ingin berteman ... tidak ada gunanya lari dan sembunyi.
Malam harinya, aku sudah selesai makan dan sekarang sedang mencuci peralatan makanku di wastafel. Karena Yume sedang berdiri disampingku, nampaknya dia juga sudah selesai makan.
Untuk sesaat, hanya terdengar suara air ... lalu, Yume tampak bergumam.
“... Kau tidak marah tentang itu?”
“Tentang apa?”
Setelah aku menanyakan itu, Yume cemberut dan tampak sedikit resah.
“Kau tahu kan?”
“Maksudmu tentang orang-orang yang mengerumuniku?”
“Ya.”
Para gadis benar-benar bisa menyebarkan informasi dengan cepat.
“Kau ... dipandang rendah.”
“Begitulah.”
“Mereka tidak punya keberanian untuk berbicara denganku. Jadi, mereka memutuskan untuk menggunakanmu, karena kau terlihat jujur ... dan kalau berjalan sesuai rencana, mereka akan mulai beralasan .... Aku sungguh tidak pandai berurusan dengan orang macam mereka.”
“Aku tidak peduli dengan yang kau pikirkan. Abaikan saja orang-orang itu. 'Mencencang air,'(8) 'Bagai alu pencungkil duri.'(9) Sebagai siswa sekolah persiapan, kau tahu peribahasa semacam ini kan?”
“Namun, kalau begitu, kau ...!”
Entah mengapa, suara Yume terdengar sangat gelisah. Namun, dia menghentikan kata-katanya.
Tangannya, yang sedang mencuci peralatan makan, berhenti untuk sesaat.
Aku juga berhenti mencuci peralatan makanku.
Air terus mengalir dari keran.
“... Aku?”
Aku bertanya dengan tenang.
Yume berhenti menggerakan mulut dan tangannya, lalu sesaat kemudian, dia mulai kembali menggosok peralatan makan dengan spons.
“... Tidak ada apa-apa.”
Keesokan harinya.
Ini pagi ketigaku di SMA. Kemarin, Yume dan aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah di waktu yang berbeda. Namun, baru berselang sehari, perjanjian itu hancur.
“Bagaimana kalau kita berangkat sekolah bersama, Mizuto-kun?”
Menjijikkan.
Itulah yang langsung terpikirkan olehku saat mendengar dia bertanya dengan suara yang ramah. Meski begitu, aku tidak bisa menolaknya saat sarapan begini.
“Nampaknya kalian berdua bisa akur di sekolah.”
“Hahahaha, Mizuto. Biarkan Yume mengajarimu cara berurusan dengan perempuan.”
Yume hanya tersenyum. Jelas dia sengaja mengusulkan ini di depan orang tua kami, saat di mana aku bahkan tidak bisa menolaknya.
Apa yang sedang dia rencanakan sekarang?
Wajah curigaku ditangkis sepenuhnya oleh senyum sempurna miliknya.
Kemudian, kami berangkat ke sekolah dengan enggan.
Dalam perjalanan ke sekolah, aku terus mengawasi Yume dengan waspada. Namun, dia terus mempertahankan wajah datarnya. Serius ini, apa sih yang dia pikirkan ....
Setelah dipenuhi dengan ketakutan serta rasa jijik, akhirnya tinggal 50 meter lagi sampai kami tiba di gerbang sekolah. Ada lebih banyak siswa yang sedang dalam perjalanan di sekitar kami.
... Saat berangkat ke sekolah dulu, kami berpamitan di sini.
Aku tidak mengerti mengapa gadis ini mengatakan ingin berangkat ke sekolah bersamaku. Namun, tidak mungkin dia akan dengan senang hati pergi ke kelas bersamaku.
Saat itulah aku berhenti berpikir.
Kau bertanya alasannya?
Aku juga penasaran.
A-A-Apa barusan gadis ini menempel ke lenganku dengan santainya!?
“Hah!? Tu-Tunggu ...!”
“Baiklah.”
Saat berjalan, dia bergumam sambil menenpel ke lenganku. Aku terseret bersamanya.
Aku merasa sedang ditatap. Seperti yang diharapkan. Gosip sekolah hari ini adalah; perwakilan para siswa baru berangkat sekolah pagi-pagi sambil menempel ke lengan seorang cowok!
A-A-Apa yang dipikirkan gadis ini, sih!? Aku tidak ingat pernah melakukan hal seberani ini saat kami masih berpacaran dulu!
Yang lebih menakutkannya lagi, saat Yume menempel ke lenganku dan melewati gerbang sekolah ... seperti biasanya, ada lebih banyak siswa di sana. Aku merasa gelisah. Pasangan yang berangkat sekolah sambil bergandengan tangan saja sudah menarik perhatian, apalagi kami!
“Eh. Bukankah itu Mizuto-kun ~?”
“Haruskah kita mengkampiri ...?”
Lalu seperti kemarin, para siswa laki-laki yang mengincar Yume berke– berhenti tanpa mendekati kami.
Yah, enggak heran sih.
Orang yang coba mereka dekati telah jadi sangat dekat denganku, si Batu Loncatan mereka.
Yume mengencangkan genggamannya. Berkat itu jugalah, tubuh kami jadi semakin dekat– Argghh, siku sialan! Rasanya lembut, goblok! Apa-apaan pertumbuhan tak berguna ini, dasar gadis cebol!
“Maaf?”
Yume menunjukkan senyum yang mempesona dan para siswa laki-laki itu pun tertegun.
“Seperti yang kalian lihat, sekarang aku sedang berbicara dengan Mizuto. Bisakah kalian tidak mengganggu kami?”
Para lelaki ternganga, karena keget, dan melihat bolak-balik antara aku dan Yume.
“Iri ... do ... san ...?”
“Hm?”
“Kalian ... bersaudara ... kan?”
“Iya.”
Pada saat itu, senyuman Yume tampak sangat menakutkan.
“–– Maaf, aku Brocon(10).”
Tubuhku membeku.
Para siswa laki-laki tadi tertembak jatuh.
Para kerumunan melongo saat melihat adegan berapi-api itu.
“Begitu deh.”
Yume memberikan pukulan terakhir kepada para siswa laki-laki yang sudah sekarat itu, lalu menarikku pergi.
Kami memasuki gedung sekolah. Akhirnya Yume melepaskan lenganku dan aku pun berhenti membeku.
“Ta-Ta ... Tadi kau hanya menyebabkan kekacauan besar, tahu!”
“Memangnya kenapa? Dengan begini, kelompok tadi tidak akan mendekatimu lagi, ‘kan?”
“Yah, benar sih, tapi!!”
Mereka mengincarmu, loh. Katanya mereka tidak tertarik dengan orang lain selain dirimu, loh!
“Tidak apa-apa. Aku akan menjelaskannya kepada teman-temanku dengan bahasa yang lebih baik lagi.”
“Apa tidak apa-apa!? Maksudku, kesan mereka terhadapmu ...!”
“... Lagi pula, kau tetaplah keluarga.”
Yume bergumam sambil sedikit mengalihkan pandangannya.
“Aku tidak bisa membiarkan keluargaku diremehkan. Cuma itu. Enggak lebih.”
... Gadis ini ....
Ahh, terserahlah. Serius deh, mana mungkin aku bisa tertawa dan menganggapnya sekadar lelucon setelah kau mengatakan itu, ‘kan?
Aku menekan sedikit keraguan dalam diriku, lau mengucapkan terima kasih sejujur-jujurnya.
“––Terima kasih, tadi kau sangat membantuku.”
Kemudian hanya karena perkataan itu, bahu Yume gemetar.
Harusnya bukan seperti itu reaksi saat menerima ucapan terima kasih.
“Apa? Aku hanya berterima kasih kepadamu.”
“... Tidak apa-apa!”
Yume berbalik dan bersiap memasuki ruang kelas sendirian .... Namun, tabi-tiba dia berbalik ke arahku dan menatap lenganku.
“... Barusan.”
“Hah?”
“Barusan ... sikumu ... Arrghh, pokoknya hapus rasa yang tadi dari ingatanmu!”
“Ahh ...”
Aku secara refleks menyentuh lengan yang tadi ditekan oleh payudara gadis itu.
“~~~ !?”
Saat Yume melipat kedua tangan di depan dadanya, wajahnya langsung memerah. Eh? Apa?
“... Diam, dasar mesum!”
Yume meninggalkan penghinaan bodoh itu, lalu kabur dari tempat kejadian.
Apa-apaan tadi itu ... bikin heran saja. Aku mulai membelai lenganku.
Ah.
“Sentuhan tidak langsung, ya?”
Itu bahkan tak terpikirkan olehku.
o
Setelah pagi yang gila itu, segalanya menjadi tenang. Kemudian saat isthirahat makan siang, seorang siswa laki-laki mendekatiku.
“Yo. Halo, Mizuto Irido-kun. Bolehkan aku makan siang denganmu?”
Siapa sangka akan ada pendekar baja yang mampu bertahan dari deklarasi tentang Brocon tadi pagi. Aku menengadah dengan jengkel.
Dia terlihat seperti seorang playboy. Rambut ikalnya yang cerah seolah-olah menantang peraturan sekolah persiapan yang sangat ketat ini. Dia lebih tinggi dariku. Dia juga memiliki tubuh seorang anggota klub basket, atau begitulah menurutku. Aku jengkel karena dia memberikan senyuman yang ambigu, tetapi dia tidak terlihat sangat suka menggoda ataupun terlihat sangat jujur, malahan agaknya dia dulu memang begitu. Sepertinya dia populer.
... Apa dia bagian dari kelompok yang menggangguku? Aku memang memiliki kesan seperti itu, tetapi mungkin dia hanya teman sekelas biasa.
Yah, meskipun begitu, jawabanku tidak akan berubah.
“... Maaf, tetapi aku hanya akan menjawab dengan dua usulan.”
“Oke, mari kita dengarkan.”
“Pertama. Aku sudah selesai makan siang.”
“Sangat disayangkan.”
“Kedua–– ... aku tidak akan membiarkan playboy sepertimu mendekati Yume.”
Si playboy itu ditolak habis-habisan olehku. Namun, entah mengapa dia malah memberikan senyum yang menyebalkan kepadaku.
... Apa?
“Kalau begitu, sebagai balasannya, aku akan memberitahumu dua hal yang bagus.”
“...?”
“Pertama. Aku menghampirimu bukan karena ingin mendekati Irodo-chan.”
“...!?”
“Kedua–– ... dia barusan mendengar yang kau katakan, loh.”
Si playboy itu menunjuk ke samping.
Yume, yang mungkin baru saja selesai makan siang, berdiri di samping kami.
... Erm?
Aku mulai mencerna apa yang barusan kukatakan.
[–– aku tidak akan membiarkan playboy sepertimu mendekati Yume.]
... Memangnya aku pacarnya apa!?
Wajah Yume lebih merona daripada biasanya. Aku ingin menganggap itu sebagai cahaya dari bola lampu, tetapi aku benar-benar tidak bisa melihat ke matanya yang goyah.
Yume mulai bertingkah mencurigakan, sebuah tingkah yang sungguh nostalgia. Dia mengayun-ayunkan tangannya tanpa maksud yang jelas, saat berjalan seperti robot, dengan normalnya, dan duduk di belakangku. Setelah itu,
*Bam!* *Bam!* *Bam!*
Dia mulai menendang-nendang kursiku.
“Gyhahahahahahaha!”
Si playboy yang belum kuketahui namanya itu mulai tertawa. Apa yang lucu? Ini KDRT(11) tahu.
“Eh, yah! Ha ha ha! Kurasa! Penciumanku tepat!”
“Hah? Penciuman?”
“Enggak, enggak, enggak. Enggak ada apa-apa kok.”
Si playboy itu mulai menyeka air matanya, sambil tertawa, lalu menjulurkan tangannya kepadaku.
“Aku Kogure Kawanami. Hanya seorang pria yang ingin berteman denganmu, itu saja kok.”
“... Mendengar ada orang yang mengatakan niat jujurnya itu sangat mencurigakan, tahu.”
“Jangan bilang begitulah, Bung.”
“Aku tidak ingat pernah menjadi temanmu.”
“Eh? Bukankah kau ahlinya kalau masalah bergaul dengan siswa normal yang lain?”
“Aku sama sekali tidak ahli dalam masalah semacam itu.”
“Begitu ya. Oke, kalau begitu mari berteman. Mohon bantuannya mulai sekarang, ya!”
Si playboy yang bernama Kogure Kawanami itu menggenggam tanganku dengan paksa .... Nampaknya aku berteman dengan orang yang sedikit merepotkan.
“Nah, kawanku.”
“Kenapa tiba-tiba kau bersemangat begitu?”
“Untuk merayakan pertemanan kita, aku akan memberitahumu hal yang sangat menarik.”
“Menarik?”
Kawanami masih menunjukkan senyum menyebalkannya.
“Ada hal yang sangaaaaaattttttttt menarik kalau sekarang kau berbalik ke belakang.”
Berbalik ke belakang? Aku berbalik, sesuai perkataannya.
“....”
Kemudian, wajah Yume yang agak cemberut, tertangkap oleh penglihatanku.
Dia mengerutkan bibir dan memalingkan pandangannya ke tempat yang jauh.
... Haaaaahhh?
Otakku yang luar biasa langsung memikirkan apa yang harus dikatakan, lalu berkata.
“Merasa kesepian ya? Brocon?”
*BAM!* Dia menendang kursiku lagi.
Ini merupakan tendangan terkuat yang pernah kuterima.
CATATAN PENERJEMAH:
(1)Ditembak dalam konteks menyatakan perasaan.
(2)Waktu menerima surat cinta.
(3)Kazuko Yoshiyama itu karakter dari film anime “Toki wo Kakeru Shoujo”.
(4)Sudah jelas yang di maksud itu Subaru dari Re:Zero. Tapi gua ogah jadi Subaru sih.
(5)Semenjak orang tua mereka menikah, mau enggak mau Mizuto harus melihat wajah Yume selama 24 jam saat liburan musim semi. Mizuto senang karena dia pikir enggak bakal ketemu Yume lagi waktu di sekolah. Tapi yah, ini seri Romcon, loh. Sudah jelas mereka bakal sekelas :v
(6)”Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah” atau bisa juga disebut “Masa Orientasi Siswa” (MOS).
(7)Yume lahir 30 menit lebih dulu daripada Mizuto. Secara teknis Mizuto itu memang adik Yume sih.
(8)Mencencang air = Melakukan sesuatu yang sia-sia. Mencencang artinya memotong.
(9)Bagai alu pencungkil duri = Melakukan sesuatu yang tidak mungkin berhasil.
Note: Idiom nomor 8 & 9 itu aku lokalisasikan ke peribahasa yang ada di Indonesia. Tapi maknanya masih sesuai dengan idiom di versi inggris kok.
(10)Brocon merupakan sebutan bagi karakter perempuan yang menyukai saudara laki-lakinya.
(11)Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hei, keknya gua gk perlu ngejelasin yg ini dah.
0 comments