Mamahaha no Tsurego ga Motokano datta Vol. 01 BAB 02
BAB 2
Mantan Kekasih Menjaga Rumah Bersama
(Ini rumahku. Jadi, Ini Wajar, kan?)
Saat itu bisa dibilang aku masih muda dan bodoh. Namun, aku mempunyai keberadaan yang disebut pacar pada saat pertengahan kelas dua SMP-ku.
Dia memiliki wajah yang tidak menonjol, tidak perduli sama sekali dengan penampilannya, selalu membungkuk, dan selalu berbicara tentang hal-hal yang membosankan. Dia tidak memiliki daya tarik sebagai seorang pria. Pada dasarnya dia tergolong sebagai seorang sampah, tetapi ... yah, setidaknya dia sedikit cerdas.
Tetapi aku masihlah bocah SMP pada saat itu. Itu adalah saat-saat masa mudaku yang sempurna, aku adalah gadis yang sangat-sangat biasa saja. Hanya karna seseorang bersikap baik padaku, mau mengobrol denganku, dan merasa nyaman bersamaku, aku akhirnya jadi terbuai.
Aku telah ceroboh.
Aku sungguh bodoh.
Ketika aku menulis surat cinta dengan perasaan yang gelisah saat tengah malam, lalu saat-saat menendebarkan ketika aku menyerahkan surat itu kepadanya, pada saat itu rel kereta takdirku sepenuhnya teraspal dari awal hingga akhir.
Akhir dari kisah cinta SMP-ku hanya bisa digambarkan sebagai sebuah ‘bencana’.
Itu bukanlah shoujo manga yang ditujukan langsung untuk para remaja. Hanya tinggal masalah waktu sampai kami terbangun dan menyadari realita yang ada, lalu kami putus seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi. Kami tidak bisa menghindari takdir itu.
Kemudian orang tua kami menikah lagi.
Kami menjadi saudara tiri yang tinggal di bawah atap yang sama.
Orang bilang kalau hidup itu tidak selalu berjalan mulus, tetapi bencana seperti ini bukanlah hal yang sering terjadi. Ini pasti karena Dewa sialan itu telah memasang perangkap untuk kami.
Sudah pasti ini adalah perangkap yang dipersiapkan oleh Dewa.
Dengan kata lain, ini adalah takdir.
Kenangan saat aku bersama dengan pria itu telah dibuang dari otakku dan dimasukkan kedalam tempat sampah. Namun, harus kuakui kalau ada satu kenangan yang tidak bisa dihapus, kenangan itu seperti jamur yang tidak dapat dibersihkan dari tempat pemandian.
Kurasa itu terjadi sesaat sebelum kami memasuki kelas tiga SMP, lebih tepatnya itu terjadi saat liburan musim semi.
Pria itu mengajakku ke rumahnya.
“Ayahku tidak ada di rumah saat ini”
Begitulah caranya mengajakku secara blak-blakan, dengan suara yang malu-malu. Aku sangat bodoh saat itu dan hal pertama yang aku pikirkan adalah ....
Jadi, akhirnya sudah sampai ketahap ini, ya.
Kami telah berkencan dan berciuman. Jadi, tentu saja selanjutnya adalah ... itu adalah apa yang dipikirkan oleh setiap siswi SMP yang ada. Bukan aku yang mesum, loh. Aku serius ini.
Di antara obrolan para gadis yang kadang kudengar, sepertinya belakangan ini gadis-gadis sering membahas tentang topik ini. Lagi pula, kami telah sering berjuang melawan haid yang mengerikan. Ada sedikit perbedaan antara gadis seperti kami dan bajingan yang melongo dan menggonggong karena foto mesum di internet(1).
Aku mempersiapkan diriku.
Akhirnya aku akan mengalami hal yang hanya kuketahui lewat buku. Perbandingan antara penantian dan rasa gelisahku sekitar 3:7. Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar pacarku, aku seperti gadis desa yg baru pertama kali mengunjungi kota.
Ya, aku seperti gadis desa yg baru pertama kali mengunjungi kota.
Itu merupakan cara yg konyol untuk mengibaratkan diriku yang berkunjung ke rumah pacarku. Selain itu, untuk menjelaskan tekad yang kumiliki ... saat malam sebelum kunjungan itu, aku mencari info tentang ‘hal-hal yang perlu diketahui sebelum memulai pengalaman pertama(2)’ di internet. Bahkan sebenarnya aku mencari semua hal yang berhubungan dengan itu, tanpa melewatkan hal apapun. Aku bahkan berlatih cara mendesah(3).
Aku memastikan bahwa diriku telah benar-benar siap, lalu masuk ke kamar pria itu, dan mulai mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Kamar itu berantakan karena buku yang berserakan, satu-satunya tempat yg bisa diduduki hanyalah kasur. Serius nih? Apa hal itu akan dilakukan disini? Pikiranku kacau, aku tidak tahu harus bagaimana. Kemudian pria itu berkata.
“Tak perlu sunggkan. Silakan duduk.”
Jadi, akupun duduk di kasurnya. Namun, hal yang terjadi selanjutnya benar-benar mengejutkanku.
Pria itu duduk di sampingku dengan santainya.
Kemudian akupun berpikir.
Ehhhhh ... !? Di-Di-Dia lebih agresif dari perkiraanku ... ! Meskipun biasanya dia jadi pria yang pendiam!
Serius ini, sebodoh apa sih diriku yang dulu? Lebih baik kau di tabrak truk dan pergi ke dunia lain saja sana!
Itulah saat ini yang sedang kupikirkan, tetapi sayangnya aku terjebak di Bumi dan mulai mengobrol dengan pria itu.
Aku sama sekali tidak fokus ke pembicaraan kami. Pikiranku sedang dipenuhi dengan hal-hal seperti, kapan dia akan ‘menyerangku’? Apa kami akan memulainya dengan ciuman? Apa pakaian dalam yang kupakai sudah benar?
Setiap kali pria itu membetulkan posisi duduknya, pundakku bergetar; setiap kali jari-jemarinya yang kecil menyentuhku, aku mengeluarkan suara yang aneh. Khayalan menyedihkan gadis lugu itu terus berlangsung sampai 10 menit, 20 menit, 30 menit ...
Kemudian satu jam berlalu, dua jam berlalu, tiga jam berlalu ...
Hah? Kok kami hanya diam begini?
Saat aku mulai memikirkan itu, pria itu akhirnya berkata.
“Yah, mengingat tentang waktunya. Kupikir ....”
Ini dia.
Akhirnya tiba saatnya.
Tolong jangan terlalu kasar, jangan takut, dan pastikan semuanya berjalan lancar ... !
“Kau harus pulang sekarang. Aku akan mengantarmu pulang.”
...............................................
Eh?
E-erm ....
“Ini sangat disayangkan, tetapi kalau lebih larut daripada ini nanti keluargamu akan khawatir.”
Pada akhirnya aku dikawal oleh pria itu ke apartemenku.
Tunggu, memangnya dia anjing pengawal apa!?
Aku memikirkan hal-hal semacam itu saat perjalanan pulang. Namun, kalau dipikir-pikir, sekarang Ibu sedang ada di rumah. Bagaimanapun aku melihatnya, akan lebih tepat kalau kami melakukan hal itu di rumahnya.
Dia hanya melambai dengan normal saat di depan pintu masuk apartemenku, lalu dia berkata.
“Hari ini sungguh menyenangkan. Kalau begitu, sampai jumpa, Ayai-san.”
Aku hanya bisa terbengong dan menyaksikan kepergiannya. Setelah itu aku pun tersadar.
Pria itu mengundangku ke rumahnya bukan untuk melakukan hal semacam itu.
Dia hanya ingin berbicara denganku di kamarnya.
Hanya aku yang berpikir ingin ‘lulus menjadi wanita dewasa’!
“Ara? Yume, wajahmu merah banget, loh. Apa kamu terkena demam~?”
Aku pulang ke rumah dan Ibu khawatir padaku saat beliau melihatku.
Aku tidak bisa memberikan jawaban yang tepat kepadanya, aku hanya bisa berbaring di kasur dan merasa sangat hancur karena rasa malu yang kurasakan.
Semenjak saat itu, sekitar satu tahun kemudian.
Pria itu dan diriku tidak pernah berhasil mengambil langkah berikutnya sampai kami putus.
o
“Ayah dan Yuni-san bilang kalau mereka akan pulang telat hari ini.”
“... Hmm, terus?”
Akhirnya aku selesai menata barang-barang ke kamar baruku(4). Saat aku sedang membaca novel misteri dengan anggun, adik tiriku – ya, mau bagaimanapun orang lain menyebutnya, sudah jelas dia Adik tiriku – mampir untuk memberitahukan itu kepadaku.
“Terus kau bilang? Yah ....”
"Terus? ...."
Adik tiriku, Mizuto Irido, terlihat seolah-olah baru saja menelan pil yang pahit.
... Ahh, jadi begitu. Kurasa bahkan berbicara dengan formal kepadaku pun masih terasa sangat menyakitkan baginya? Hmph.
“Terus bagaimana dengan makan malamnya?”
“Jangan membuatnya terdengar seolah-olah aku yang harus bertanggung jawab akan hal itu. Aku bukan Ibumu, tahu.”
“Oke. Aku mendiskusikan hal ini denganmu karena kau akan makan di meja yang sama denganku. Cih, aku tidak bisa melanjutkan percakapan kalau seperti ini.”
... Kau membuatnya terdengar seolah-olah akulah yang bodoh. Aku sudah jadi jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan saat kita pertama kali bertumu, tahu.
Adik tiriku ini sekurus kecambah yang tumbuh di tempat redup. Matanya tidak terlihat seperti orang baik-baik, malahan matanya terlihat sangat kejam. Dia sedang mengetuk-ngetukkan jari kakinya ke lantai dengan gelisah.
Rambutnya sangat berantakan, dia juga tidak perduli dengan pakaian yang dipakainya. Namun, pada kenyataannya wajah pria ini sama standarnya dengan sebuah ilustrasi. Rasa sukaku kepadanya sudah jatuh sampai ke negatif. Dia sangat menjengkelkan, tetapi aku rasa, kalau dia berusaha, dia bisa terlihat baik. Namun, itu tidak ada gunannya, malahan itu hanya meningkatkan kekesalanku terhadapnya..
“Kalau begitu aku yang akan menyiapkan makan malamnya. Tidak apa-apa kalau aku yang memutuskan menunya, ‘kan?”
“Mempersiapkan ...? Memangnya kau bisa memasak?”
“Pfft” Kemudian Mizuto terkikik, dia melihatku seolah-olah aku orang yang bodoh.
Pria ini tahu kalau aku tidak bisa memasak. Dia pernah mencoba bekal yang aku buat, yang pada dasarnya terlihat seperti limbah pabrik(5), lalu berkata, “Yap, rasanya sungguh enak.” dan membuat wajah berbohong yang amat jelas.
“Yah, kita sekarang adalah keluarga. Aku bisa memasakkan sesuatu untukmu. Jadi, bersyukurlah dan makan masakanku layaknya seekor babi.”
Suatu saat aku akan mencincang pria ini.
Aku berusaha tersenyum sambil menyembunyikan niat membunuh yang ada di dalam hatiku.
“Tidak, Mizuto-kun. Aku akan merasa tidak enak kalau menyerahkan semuannya padamu. Aku akan ikut membantu.”
“Itu tidak perlu. Akan sangat merepotkan nantinya kalau kedua tanganmu itu dipenuhi dengan luka.”
“Maksudku itu, aku tidak suka menerima keramahan yang tulus dari pria tak berperasaan sepertimu.”
“Aku tidak ingin mendengar itu dari gadis tak berperasaan sepertimu. Argh, ya ampun.”
Mizuto tampak gembira, walau hanya diluarnya saja. Apa dia pikir akting buruk macam itu bisa meyakinkan dan membuatku berpikir bahwa dia peduli kepadaku? Kalau memang berpikir begitu, lebih baik kau mati saja.
“Kalau begitu, ayo pergi.”
“... Pergi?”
Pergi ke mana? Aku memiringkan kepalaku.
“Kita perlu membeli bahan-bahannya. Apa kau pikir makanan itu akan nongol dengan sendirinya?”
Situasi macam apa ini? Kenapa aku ada di supermarket bersama mantan yang baru putus denganku sebulan lalu? Bukankah kami malah terlihat seperti pengantin baru? Atau malahan kami terlihat seperti kekasih yang hidup bersama?
“Erm ... ah, yang ini murah.”
Selagi aku masih membiarkan pemikiranku itu berlanjut, mantanku terus memasukkan satu persatu bahan makanan ke dalam troli belanjaan.
Apa pria ini tidak sadar situasi apa yang terjadi sekarang ini? Sungguh enggak peka sekali pria ini .... Atau jangan-jangan dia tidak menganggapku sebagai seorang gadis? .... Tidak, yah, baginya aku bukanlah seorang gadis dan bagiku dia juga bukanlah seorang pria. Aku adalah Kakak perempuannya dan dia adalah Adik laki-lakiku .... Tunggu, bukankah ini hanya mengulang apa yang terjadi pada saat itu? Hanya akulah yang membiarkan pemikiranku berjalan dengan liarnya, serta hanya akulah yang tidak senang akan hal itu. Tenanglah, diriku.
“... Kok rasanya kau cuma memilih bahan makanan secara asal-asalan? Apa kau sudah memikirkan apa yang ingin dimasak?”
“Hm? Yah, sebenarnya enggak sih.”
“Ehh ... kamu tidak tahu mau memasak apa? Semua bahan makanan ini akan digunakan untuk makan malam nanti, ‘kan?”
“Biar kuberi tahu, kita harus membeli bahan makanan yang lebih murah terlebih dahulu sebelum memikirkan apa yang bisa kita masak menggunakan semua bahan ini. Jika kita merencanakan apa yang akan dimasak duluan, itu artinya kita juga harus membeli bahan-bahan makanan yang mahal, ‘kan?”
“Begitu toh ....”
Aku mengerti sekarang.
Jadi, ini sebuah gumpalan kecil dalam kehidupan, ya ... pria ini benar-benar mempunyai perhitungan yang disebut keterampilan hidup(6).
Apa-apaan pria ini? Mengapa dia sangat cakap dalam hal-hal yang tidak berguna seperti ini?
“Dalam kasus terburuknya, jika kita tidak bisa memikirkan cara untuk menggunakan semua bahan ini, langsung campur saja semuanya jadi satu ke dalam panci, tambahkan bubuk kari, dan entah bagaimana jadilah sebuah kari. Pahamilah perbedaan antara ‘memasak’ dengan ‘membuat makanan’, wahai Adikku.”
“Siapa yang kau panggil Adik? Sudah kubilang kalau akulah Kakak perempuanmu, ‘kan?”
“Iya, iya.”
... Semakin aku mendengarkan ocehannya, aku menjadi semakin menyesal karena telah memberinya bekal ampas yang telah kubuat. Arggghhhhh ...
“Yah, membuat makanan ampas sesekali memang lucu, tetapi tidak setiap hari kok. Ayo kita coba!”
Pendapat Mizuto yang ngawur membuat tubuh dan pikiranku membeku.
... Lu-Lucu?
Pria ini mengoceh lagi ... tidak, yang barusan rasanya seolah-olah dia hanya asal bicara tanpa memikirkannya sama sekali. Kemungkinan sebenarnya yang dia pikirkan adalah ....
“... Ada apa? Nanti kutinggal, loh.”
Tanpa kusadari, aku sedang berdiri di tengah jalan. Aku bergegas menyusul Mizuto, sambil menggelengkan kepala untuk menyingkirkan pemikiran itu.
Serius ini, kalau begini pada akhirnya akan seperti waktu itu. Hanya akulah yang memikirkan hal-hal aneh semacam itu, sedangkan pria itu hanya bersikap seperti biasanya. Ini sungguh tidak adil.
... Akan kubuat kau menyadarinya.
Akan kupastikan wajah yang kubenci itu berubah jadi semerah darah6.
Kemudian akan kupastikan pria itu memanggilku dengan sebutan ‘Onee-chan’!
Dengan enggannya kami berdiri berdampingan di dapur, selesai membuat kari, dan kemudian menyelesaikan makan malam.
Kurasa tidak ada kecelakaan saat membuat kari ini, kecuali saat Mizuto melihatku memengang pisau dan berteriak, “Hei, tunggu. Kau membuatku takut! Begini cara yang benar memakainya. Begini, loh!” lalu memegang tanganku dengan tidak sengaja. Orang tua kami sedang tidak ada di sini. Jadi, kami tidak perlu bertingkah layaknya saudara yang akur, tentu saja ini terasa lebih baik bagiku.
“Air panasnya sudah siap. Lalu bagaimana?”
“Aku akan mandi duluan.”
“Sudah kuduga kau akan bilang begitu.”
“Aku tidak ingin berendam di air bekas kau mandi.”
“Jadi, kau tidak keberatan kalau aku berendam di air bekas mandimu?”
“... Kalau begitu aku mandi setelahmu saja!”
Aku tidak pernah menyadarinya karena Ibu dan Ayah tiriku selalu ada di rumah, tetapi setiap harinya aku selalu mandi menggunaka air panas yang sama dengan pria itu.
Kalau begitu ... kalau begitu, sama saja ... seperti ...!
... Tenang, tenanglah.
Untunglah Mizuto mandi duluan. Mari jernihkan pikiran selagi Mizuto sedang mandi.
Lalu, mari rencanakan serangan balik untuk nanti.
“Aku sudah selesai.”
Aku menenangkan diri dengan ‘gim pembunuhan di ruang tertutup’ (Yang pada dasarnya kulakukan di dalam pikirkanku. Aku membayangkan Mizuto terbunuh di sebuah ruangan tertutup, kemudian aku akan memikirkan segala jenis trik yang mungkin dipakai dalam kasus itu). Namun, belum sampai 10 menit berlalu, Mizuto kembali dengan rambut yang basah kuyup.
“Uu ...”
“Hm?”
... Yah, siapa pun yang rambutnya basah akan terlihat sedikit lebih keren. Pada dasarnya ini adalah hal yang sudah biasa dilihat. Tidak ada yang spesial akan hal itu. Tidak ada sama sekali.
“... Bukankah mandimu itu terlalu cepat? Contohnya, apa kau sudah membilas badanmu dengan benar? Dasar jorok.”
“Jangan menuduh sembarangan sebelum aku menjawabnya. Aku sudah membilas badanku. Aku selesai cepat karena menurutku mandi terlalu lama itu buang-buang waktu.”
Selalu saja terburu-buru ... itulah hal yang kubenci darimu. Bahkan saat awal berpacaran, kau akan mempercepat langkah kakimu tiap kali jalan bersamaku.
Namun, bagaimanapun saat itu telah berlalu.
Aku menghapus pemikiran tentang mayat Mizuto yang ada di ruangan tertutup, lalu aku berdiri.
“Kalau begitu sekarang aku akan mandi .... Akan kubunuh kau kalau berani mengintip.”
“Kalau sampai melihatmu telanjang, aku pasti akan langsung mati tanpa harus kau bunuh. Mataku pasti akan langsung membusuk tahu.”
... Katakanlah itu selagi masih bisa.
Aku terus mengawasi pintu saat melepas bajuku, lalu aku memasuki kamar mandi.
Aku tidak menyadarinya karena Ibu dan Ayah tiriku selalu ada di rumah, tetapi kalau kupikir-pikir lagi ... Sekarang aku sedang telanjang di rumah pria itu ... dan jika pria itu tiba-tiba menerobos masuk ke kamar mandi, tidak akan ada yang bisa menolongku ....
“....”
... Kalau dipikir-pikir lagi, mustahil si pria kecambah itu berani melakukannya. Namun, kalau itu benar-benar terjadi, akan kupastikan untuk mencabik-cabiknya.
Aku membilas badanku dengan benar dan kemudian mengeringkannya, lalu aku pergi meninngalkan kamar mandi. Aku melilitkan handuk kering ke tubuh telanjangku, lalu aku mengeringkan rambutku menggunakan hair dryer.
... Ini baru dimulai.
Aku mengencangkan ikatan pada handukku
... Aku sengaja tidak membawa baju salin ke ruang ganti ini.
Aku tidak boleh mundur. Aku sudah memutuskan untuk menghancurkan muka datar pria itu.
Ya. Aku bisa melakukannya meski tanpa baju sekalipun. Aku hanya harus muncul di depan pria itu sambil hanya memakai handuk ini!
"....!"
Cermin di depanku memperlihatkan tubuhku yang telah tumbuh jauh lebih feminin dibandingkan saat aku masih berpacaran dengan pria itu. Dadaku telah berubah total selama setahun terakhir ... lumayan banyak sampai-sampai membuat Ibu dan teman sekelasku iri.
Masih ada uap yang mengepul dari dadaku karena aku baru saja keluar dari kamar mandi. Seharusnya aku tidak mengatakan ini, tetapi ini adalah suatu adegan yang menarik ... Ha-haruskah aku menunjukkan ini kepada pria itu?
Aku merasa agak pahit, aku berpikir kalau paling tidak aku harusnya membawa pakaian dalamku. Namun, kalau aku tidak berbuat sampai sejauh ini, ini tidak akan efektik kepada si pria bodoh itu.
“... Baiklah.”
Aku membulatkan tekad, lalu keluar dari ruang ganti.
Kaki telanjangku mengeluarkan suara (berdecit) saat aku kembali ke ruang tamu.
“A-Aku sudah selesai.”
“Nn –– uorggh!?”
Mizuto menyemburkan teh yang diminumnya dan mulai terbatuk-batuk saat dia melihatku.
Itu adalah reaksi yang lebih besar daripada perkiraanku!
Aku memalingkan wajah, ekspresi puasku terlalu mencolok.
“Bo-bodoh ... A-apa yang kau lakukan?”
“Ini rumahku. Jadi, ini wajar, ‘kan?”
Aku mencoba menjawab dengan tenang, lalu aku duduk berhadap-hadapan di depan Mizuto yang sedang duduk di sofa berbentul L.
Mizuto memalingkan wajahnya. Namun, dari waktu ke waktu, dia melirik ke arahku.
“Eh, tapi ... yah, aku disini, lho ...”
“Kita ‘kan saudara. Jadi, apa masalahnya? ... apa kau itu ....”
Aku membuat senyum terpaksa dan langsung menunjukkannya ke wajah Mizuto yang tampak bermasalah.
“... Mizuto-kun, apa kau itu bajingan yang suka melihat Adik tiri sendiri dengan tatapan mata yang mesum?”
“Grr ....”
HOHOHOHOHOHOHOHOHOHO!!
Dia tersipu malu!! Dia tersipu malu!! Dia tersipu malu!!
Mizuto berusaha memalingkan wajahnya dariku, tetapi sudah jelas aku bisa merasakan kalau dia melirik ke arahku. Dia melirik ke arah dada dan pahaku yang tidak dapat tertutupi oleh handuk.
Hu hu, ini terlalu menggoda untukmu, ya? Jadi, bagaimanapun, sudah kuduga kau itu masih bocah! Ahh, sayang sekali. Dulu kau berpacaran dengan gadis yang masih dalam masa pertumbuhan, jadi kau tidak bisa menangani gadis yang sudah dewasa sepertiku, ‘kan?! Sekarang siapa yang bocah, hah?
Sekarang, izinkan aku untuk menyilangkan kakiku.
“....!!”
Ahh, dia melihatnya. Dia benar-benar melihatnya. Gampangan sekali.
Pria ini selalu berusaha untuk terlihat tenang, tetapi sekarang dia benar-benar kehilangan ketenangannya ... fufufu!
Aku sungguh menikmati pemandangan ini.
Aku meraih remot TV, sambil berusaha memamerkan dadaku.
“~~~~~~!!!!!!”
Aah, dia melihatnya, dia melihatnya, dia melihatnya. Dia benar-benar melihatnya.
Aku terus berusaha mempertahankan wajah datarku. Sepertinya aku berhasil membalas dendam untuk hari ini dan juga untuk setahun yang lalu. Dulu pria ini tidak pernah memperhatikannya, tetapi sekarang dia begitu terpikat oleh tubuhku.
Apakah ini yang mereka sebut kebanggaan seorang wanita? Aku merasakan dengan pasti kalau ada sesuatu di dalam hatiku yang terpuaskan.
... Atau begitulah kelihatannya.
Masalahnya, yah .... Aku merasa agak malu.
Dia melihatnya lebih lama daripada dugaanku ... dan aku merasa kalau handukku sedikit miring. Jika aku tidak berhati-hati, dia akan melihat sesuatu yang harusnya tidak boleh dia lihat.
... Atau lebih tepatnya, apa yang sedang aku lakukan sih?
Tanpa perlu diragukan lagi, bukankah yang kulakukan sekarang ini benar-benar mesum ...?
Bukankah ini berarti aku tidak berhak mengeluh jika pria ini ‘menyerangku’?
“....”
Aku segera menenangkan diri.
Aku ingin menarik handukku ke atas agar bisa lebih menutupi dadaku lagi. Namun, kalau kulakukan itu, pertahanan yang ada di bagian bawah akan melemah. Sedikit gerakan saja dapat menyebabkan hasil yang tidak dapat diubah, karena itu aku tidak dapat bergerak sama sekali.
... A-Aku sudah terlalu sombong ....
Mengapa aku selalu jadi seperti ini saat sombong ....
“... Haaa ....”
Mizuto menghela napas panjang, berdiri dengan tiba-tiba, lalu melangkah ke arahku.
Eh, eh, eh? A-A-Apa dia, ... serius nih ...?
Mizuto mendekatiku yang sedang menbeku layaknya sebuah batu sambil masih memegangi handuk. Dia melepas pakaiannya.
Jantungku mulai berdebar. Eh, seriusan nih? Eh, tunggu, A-A-Aku enggak berencana melakukannya sampai sejauh itu ...!
Tanpa sadar aku menutup mataku, setelah itu ...
... Aku merasa ada kain yang menutupi pundakku.
... Hah?
“Kelihatannya kau mencoba menggodaku atau semacamnya ... apa kau tidak berpikir kalau kau akan menyesalinya? Dasar bodoh.”
Saat aku membuka mata dengan sangat takut ... aku melihat kalau pakaian Mizuto hanya dipakaikan ke pundakku.
Mizuto sendiri sedang menatapku dengan tatapan tercengang.
“Biasanya kau selalu jadi gadis penurut, tetapi terkadang kau terbawa arus dan bertingkah tidak seperti dirimu yang biasanya. Kau ... lebih baik kau ubah kebiasaan itu. Aku tidak akan selalu ada untuk membersihkan kekacauan yang kau buat.”
Nada suaranya kaku dan kata-katanya terdengar sangat angkuh.
Namun, kata-kata itu terdengar sama seperti saat SMP dulu, saat dia menolongku berkali-kali.
Aku membelai pakaian yang ada di dadaku, pakaian yang masih memiliki kehangatan tubuhnya ini.
Kata-kata serta kehangatannya ... membuatku mengingat apa yang terjadi setahun yang lalu.
“... Setahun yang lalu.”
“Nn?”
“Saat aku berkunjung ke rumah ini ... mengapa kau tidak melakukan apa pun kepadaku?”
Hubungan kami berubah tiba-tiba sesaat setelah hari itu terjadi ... tepatnya saat kami mulai memasuki kelas tiga SMP.
Aku pernah berpikir kalau ada hal aneh yang kulakukan pada hari itu, hal yang menghancurkan khayalannya tentangku.
Namun, itu hanya kesalahpahamanku. Perubahan sikapnya dikarenakan sesuatu yang lain ....
“Kenapa ... kau mengungkit itu sekarang!?”
Eh!?
Mizuto memperlihatkan wajah yang tidak terduga.
“Ha! Tertawalah sepuasmu!”
Dia langsung ke intinya.
“Silahkan tertawai pecundang tak berguna yang telah mempersiapkan segalanya ini. Pecundang yang mengundang pacar ke rumahnya, tetapi hanya bisa grogi dan tidak melakukan apapun! Puas!?”
Butuh waktu sekitar lima detik untukku memahami perkataannya.
Pikiranku terhenti.
“––– EHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!?”
Kemudian saat otakku mulai kembali berpikir, aku berdiri dan meneriakkan semua yang ada dipikiranku.
“Me-Mempersiapkan!? Gr-Grogi!? A-A-Apa – apaan maksudmu itu!? A-aku sudah sangat mempersiapkan diri pada saat itu, tetapi tidak ada apa pun yang terjadi. Kupikir hanya aku yang ingin melakukan hal itu ....!?”
“Hah!? E-Eh!? Saat itu kulihat kau sangat tegang dan waspada, jadi aku berpikir ulang untuk melakukannya ...”
“Itu! Karena! Aku! Sangat! Gugup! Tahu!!!??????”
“HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHH!?”
Mizuto juga berteriak dengan mata yang terbelalak.
“Kau bercanda, kan? Apa kau juga berencana untuk melakukannya pada saat itu!?”
“Aku serius! Aku sangat serius ingin meninggalkan salah satu kenangan berharga di kamar itu!!”
“K-Kau serius ...? Kalau begitu, penyesalanku karena telah membatalkannya pada saat itu ....”
“Akulah yang harusnya menyesal!! Kembalikan semua kekhawatiranku karena kupikir aku tidak punya daya tarik sama sekali!”
“Memangnya aku peduli!!? Itu salahmu karena terlalu gugup pada saat itu!!”
“Sudah jelas itu salahmu!! Dasar pria hina!”
“Apa!?”
“Apa!?”
Setelah itu, terjadi rentetan cacian tiada akhir yang tidak bisa dituliskan dengan kata-kata.
Kami saling mencaci, kemudian saling memukul saat kami beranjak dari sofa.
Setelah kami mengeluarkan semua cacian yang kami miliki, kami hanya bisa terengah-engah, bahu kami naik-turun saat kami saling melotot.
“... Haa ... haaa ....”
“Haaa ... nn ... haaaa ....”
Kami saling terengah-engah, dengan Mizuto yang menekanku ke sofa.
Aku benar-benar ... tidak bisa menerima ini.
Kami terlihat akur karena kami sama-sama menyukai buku, tetapi sebenarnya kami tidak akur. Hal kecil itu berakhir menjadi kesalahpahaman besar dan entah bagaimana akhirnya kami malah menjadi saudara ....
“... Uuu ...”
Entah mengapa aku merasa ingin menangis.
Mengapa segalanya tidak berjalan sesuai keinginanku.
Seandainya saja aku tidak gugup pada saat itu, mungkin saja sekarang ....
“... Menangis saat bertengkar itu dilarang, tahu.”
“Diam ....! Aku tahu kok ....!”
Aku menggunakan lenganku untuk menyeka air mataku.
Diriku setahun yang lalu, yang lemah dan selalu mengandalkan pria itu, sekarang sudah tidak ada lagi.
Itulah mengapa perasaan itu berakhir seperti ini. Namun, aku tidak merasa menyesal akan pertumbuhanku ini.
Jadi, ini bukanlah salahku.
Ini semua salah pria itu! Semua ini salahnya!
“... Hei, Ayai.”
Saat mendengar itu, jantungku tersentak.
Ayai.
Itu nama keluargaku yang dulu ... dan juga nama panggilan yang biasa dia gunakan untuk memanggilku.
Aku menggosok-gosok pahaku dengan gelisah. Pakaian yang dia pakaikan kepadaku telah terlepas saat kami bertengkar tadi. Sekarang aku hanya dibalut oleh handuk, tidak ada bedanya dengan telanjang. Bahkan handuknya pun sekarang berantakan dan bisa terlepas kapan saja.
Aku masih terbaring di sofa bersama Irido-kun yang berada di atasku, tangan putihnya mulai menyentuhku. Jari-jemarinya lebih lembut dan ramping utuk seorang pria pada umumnya, kemudian dia menyapu poni yang menutupi wajahku.
Ini adalah ... hal yang harus dilakukan sebelum kami melakukan sesuatu.
Saat aku kurang percaya diri, aku menjadi sangat malu dan menggunakan poniku yang panjang untuk menutupi wajahku. Jadi, dia harus melakukan ini agar bisa melihat wajahku dengan jelas.
Dia selalu memindahkan poniku kesamping sebelum melakukan itu(7).
Tatapan Irido-kun langsung mengarah ke mataku. Aku merasa seluruh tubuhku, dari dada sampai perut, sedang dilihat olehnya. Kemudian aku menutupi wajah menggunakan tangan kananku.
Tangan kananku dipegang dengan lembut oleh Irido-kun, lalu dia menyingkirkannya dengan lembut dari wajahku.
Tatapan tulusnya dengan jelas memberitahukan niatnya yang tidak ingin membiarkanku pergi. Yang bisa kulakukan hanyalah memberikan alasan yang lemah melalui mulut ... melalui bibirku.
“Ja-Jangan ... peraturannya ....”
Ini sudah jelas kelewatan.
Sesama saudara tidak boleh melakukan hal semacam itu.
... Namun, kata-kataku terdengar sangat lemah ....
Aku tahu ini tidak cukup untuk menghentikannya ... itulah yang kutahu dari pengalamanku.
Suara lembut Irido-kun bergema di dadaku.
“... Hari ini adalah kekalahanku.”
Mata kami saling bertemu.
Wajahnya memerah karena dia telah menggunakan tenaganya selama pertengkaran kami tadi .... Eh, bukan deng.
Aku merasa kesadaranku tersedot ke dalam mata Irido-kun.
Aku bisa merasakan segala hal tentangnya. Kehangatannya, napasnya, detak jantungnya ...
... dan tanpa kusadari aku telah menutup mataku.
Aku dapat merasakan napas yang tenang dengan lembut mengenai bibirku.
... Ah.
Sudah lama sejak terakhir kali kami berciuman ....
“Kami pulang ~!”
Kami tersentak layaknya pegas saat mendengar suara yang datang dari pintu masuk.
“Mizuto ~! Yume-chan ~!? Apa kalian sedang di ruang tamu ~!?”
I-Ibu ...!? Mereka sudah pulang!?
“Ahh ...! Ini sudah waktunya!?”
Mizuto buru-buru mengambil jarak dariku saat dia melihat jam.
Woah ...! Tanpa sadar ternyata sudah selarut ini. Berapa lama kami bertengkar tadi ....
“Hei! Cepat pakai pakaianmu! Situasinya gawat nih!”
Membahas situasi saat ini ... pada dasarnya aku hampir telanjang, pakaian Mizuto berantakan, dan kami sedang berada di atas sofa.
Kami harus mempertahankan akting saudara yang akur di depan orang tua kami, tetapi sekarang waktunya tidak sempat. Bahaya kalau sampai mereka mengira kami melakukan hal tercela!
“Ta-Tapi ... pakaianku ....”
“Oh, iya! Tadi kau kemari cuma pakai handuk ... cih! Bersembunyilah di suatu tempat! Erm, erm ... sembunyilah di sini!”
“Ehh!?”
Mizuto membuka dudukan sofa dan mendorongku masuk ke dalamnya. Sepertinya bagian itu dibuat untuk menyimpan barang.
“Cepatlah masuk!”
“Tu-tunggu! Kau tak perlu mendorongku ...! Aw!? Apa kau menendangku!? Tadi kau menendangku, kan!?”
“Jangan berisik, paham!?”
Setelah memasukkanku ke dalam sofa, Mizuto menutup kembali dudukannya.
Di dalam sini sangat gelap dan aku tidak bisa melihat apa pun.
“––Eh? Kau cuma sendirian, Mizuto!?”
“Rasanya tadi aku mendengar suara Yume ~....”
“Selamat datang, Ayah, Yuni-san. Yume-san tadi tidur duluan––”
Saat Mizuto berusaha mengecoh mereka, aku kembali teringat tentang apa yang terjadi tadi.
Jika Ibu dan Ayah tidak pulang ....
Apa ... yang akan terjadi ...?
"…… Uuuuuu ..."
Ini aneh. Sangat-sangat aneh!!
Kami sudah putus. Kami saling membenci. Tidak peduli apa yang dia lakukan, dia hanyalah adik tiri yang menyebalkan. Dia bukan pacarku! Tapi, tapi ...!
Aku memegangi dadaku yang sedang berdebar kencang.
Kenapa enggak pernah berjalan sesuai rencana sih?
Kami berhasil mengakhiri perasaan ini dengan baik ... dan harusnya kami senang akan hal itu.
Kami sekarang bersaudara, aku juga hanya menggodanya, tetapi baru sekarang aku tahu kalau kami merasakan hal yang sama!
“... Astaga ...!!!”
Aku benci ini!!!
Saat keesokan harinya, aku menggunakan hakku sebagai pemenang.
“Kemarin kau mengaku kalah, kan, Mizuto-kun?”
“... Yah, kurang lebih begitu. tetapi aku terpaksa mengaku kalah karena kau ....“
“Kalau begitu, Adikku, ini perintah dari Kakakmu. Segera keluar dari kamarmu sekarang.”
Aku mengusir Mizuto dari kamarnya, lalu memulai pencarianku.
Kemarin Mizuto mengaku kalau dulu dia ‘mengundangku dan telah mempersiapkan berbagai hal’ ... kalau itu benar, harusnya benda itu ada di sini. Aku tidak masalah meskipun tidak berhasil menemukannya. Namun, kalau memang masih ada, aku harus menghancurkannya.
Aku sudah siap untuk mengobrak-abrik kamarnya, dari bawah kasur sampai ke rak buku sekalipun, tetapi aku agak kecewa karena aku langsung menemukan benda itu saat memeriksa laci meja belajarnya ... bahkan sepertinya pria itu tidak berniat menyembunyikannya sama sekali.
Aku membawa barang itu dan pergi meninggalkan kamar Mizuto.
Sementara itu, Mizuto sedang menunggu di koridor. Saat aku keluar dari kamarnya, Mizuto hanya menatapku layaknya ikan mati yang sudah busuk.
“Sebenarnya apa yang sedang kau cari?”
“Yang sopan dong, mana panggilan ‘Onee-chan’-nya?”
“... Nee-san.”
“Aku mencari sesuatu yang tidak diperlukan oleh saudara.”
Kataku sambil membawa kotak yang kusembunyikan di belakangku. Pura-pura bodoh, ya .... Banyak juga sampai satu kotak(8). Eh, erm .... dia beli satu kotak hanya karena kebetulan, ‘kan? Tidak ada peraturan yang mengharuskan kami menggunakan semuannya, ‘kan? Kurasa.
Aku dengan hati-hati melewati Mizuto sambil memastikan agar dia tidak melihat kotak itu, lalu aku menuruni tangga yang menuju ke lantai pertama.
“Hei, nee-san.”
Tiba-tiba dia memanggilku, lalu aku berbalik kearahnya.
“Ada apa, wahai Adikku, Mizuto-kun?”
“Saudara tiri itu ....”
Dia mengatakan itu sambil melihat ke samping, mencoba melihat yang ada di belakangku.
“... Enggak, enggak ada apa-apa.”
Aku mendengus dan kembali menuruni tangga.
Aku menuju plastik sampah yang ada di koridor, membuang kotak itu ke dalamnya, dan mengikat plastik sampah itu dengan kuat.
Aku hanya perlu membuangnya saat hari pembuangan sampah tiba. Ini hanya untuk berjaga-jaga agar kami tidak lagi melakukan hal yg tak pantas sebagai saudara.
Aku menghembuskan napas dengan lega ... lalu melihat ke arah tangga.
Aku tahu kalau mustahil dia bisa mendengarnya, tetapi aku menjawab.
“... Setidaknya aku tahu itu.”
Namun, tidak ada gunanya membahas tentang trivia ini, kan? Tidak ada gunanya mengingat ataupun mengetahui akan hal ini ... apalagi membahasnya.
Itu sebabnya baik dia maupun aku tidak ada yang membahasnya.
Sebuah trivia yang tidak berguna ... sebuah trivia bahwa saudara tiri boleh menikah.
CATATAN PENERJEMAH:
(1) Simpelnya, Yume mau bilang: Ketika perempuan mencari hal-hal semacam itu di internet, tujuannya untuk pembelajaran. Berbeda dengan laki-laki yang mencari hal-hal semacam itu cuma untuk pemuas birahi AKA bahan bacol. Yah, ini cuma pembelaan diri Yume supaya enggak dianggap mesum sih.
(2) Tentu saja pengalaman pertama yang dimaksud adalah pengalaman ngewe.
(3) Di versi inggrisnya, “I even practiced how to make the voices.” Dan tentu saja ‘voices’ yang dimaksud di sini adalah suara desahan.
(4) Orang tua mereka baru menikah beberapa minggu lalu, yang berarti Yume juga belum lama ini pindah ke rumah Mizuto. Barang-barang yang dia bawa saat pindahan jelas masih di dalam kardus, dan baru selesai di tata ke kamar baru pas di chapter 2 ini.
(5) Bayangkan saja limbah pabrik secara harfiah.
(6) Dalam versi inggrisnya, “So this is a little nugget of life, huh…this man actually has a parameter called life skills,” Aku juga enggak ngerti maksudnya apa.
(7) Jangan mikir yang aneh-aneh. Yang dimaksud Yume itu ciuman.
(8) Yap, yang diambil Yume dari kotak pandora Mizuto adalah satu kotak kondom isi 12 pcs. Entah berapa 'ronde' yang akan mereka lakukan, kalau seandainya hari itu Mizuto enggak salah paham :v
0 comments