Home My Stepsister is My Ex-Girlfriend Wandering Witch: The Journey of Elaina

Majo no TabiTabi Vol. 01 BAB 01




BAB 1

Negeri Penyihir


Ini adalah negeri yang tentram, dikelilingi oleh pegunungan menakutkan, dan tersembunyi di balik tembok yang tinggi. Tak seorang pun dari dunia luar dapat berkunjung.

Di atas permukaan batu yang berkilauan karena teriknya sinar mentari yang cemerlang, sebuah sapu melayang tinggi melintasi udara yang hangat. Yang mengendarainya ialah seorang gadis muda nan cantik. Ia mengenakan jubah hitam dan topi runcing, serta memiliki rambut abu-abu yang berkibar tertiup angin. Seandainya saja ada orang di sekitar sana, mereka pasti akan menoleh dan bertanya-tanya sambil mendesah siapakah gerangan gadis cantik di atas sapu itu ....

Tepat sekali. Gadis itu adalah aku.

Ah, cuma bercanda.

“... Sedikit lagi sampai.”

Tembok yang tinggi itu tampak seolah-olah terukir dari gunung asli. Melirik sedikit ke bawah, dapat terlihat sebuah gerbang dan aku pun memutar sapuku ke arah sana.

Butuh usaha yang keras untuk sampai ke negeri ini, tetapi kurasa penduduk negeri ini memang sengaja mendirikannya di sini –– untuk mencegah adanya orang yang tidak sengaja masuk kemari. Lagi pula, mana ada orang yang mau berjalan jauh kemari tanpa tujuan yang jelas.

Aku turun dari sapu tepat di depan gerbang. Seorang penjaga lokal, yang tampaknya bertugas menginspeksi imigran, datang menghampiriku.

Setelah melihat secara perlahan dari ujung kepala hingga ujung kaki, serta memeriksa bros di dadaku, ia pun tersenyum.

“Selamat datang di Negeri Penyihir. Silakan masuk, Puan Penyihir.”

“Hmm? Apa kalian tidak memeriksa bisa–tidaknya aku menggunakan sihir?”

Kudengar bahwa siapa pun yang mengunjungi negeri ini harus membuktikan kemampuan sihirnya agar bisa masuk, dan yang tidak mampu memenuhi standar tertentu akan ditolak.

“Saya tadi telah melihat Anda terbang kemari. Lagi pula, bros yang Anda pakai itu merupakan tanda seorang penyihir. Jadi, silakan masuk.”

Oh, benar juga. Terbang menggunakan sapu juga salah satu standar minimum untuk masuk kemari. Tentu saja mereka dapat melihatku terbang kemari dari pos jaga. Bodohnya aku!

Setelah sedikit membungkuk kepada penjaga, aku pun masuk melewati gerbang yang besar itu. Inilah negeri penyihir. Pengguna sihir pemula, murid penyihir, dan penyihir–– Selama mampu menggunakan sihir, kau diizinkan masuk ke negeri yang unik ini. Negeri yang tak akan bisa dimasuki orang normal pada umumnya.

Setelah melintasi gerbang yang besar itu, perhatianku tertuju pada dua rambu jalan aneh yang berdiri bersebelahan. Aku menatapnya dengan terheran-heran.

Rambu pertama berbentuk lingkaran dengan gambar seorang pengguna sihir yang mengangkangi sapu. Sementara itu, Rambu kedua berbentuk segitiga dengan gambar prajurit yang sedang berjalan.

Rambu macam apa ini?

Aku segera mengetahui jawabannya setelah melihat ke atas –– Di atas perumahan yang terbuat dari batu bata dan terpapar sinar mentari yang berkilau, bermacam-macam pengguna sihir meluncur di angkasa dari berbagai arah.

Oh, begitu. Pasti beginilah peraturan di negeri-negeri yang hanya membolehkan pengguna sihir untuk masuk –– Karena kebanyakan penduduknya terbang menggunakan sapu, maka sedikit sekali yang memilih berjalan kaki.

Setelah puas karena mengetahui maksud dari rambu jalan itu, aku pun mengeluarkan sapu lalu duduk di atasnya. Dengan entakan ke tanah, aku melayang dengan lembut ke udara seperti gambar rambu jalan yang pertama tadi. 

“Rupanya terbang adalah moda transportasi yang disukai di sini, ya?”

Dengan begitu, aku pun melihat negeri penyihir sebagaimana yang seharusnya. Di atas genting-genting cokelat kemerahan yang terbentang bak tanah tandus, para pengguna sihir beterbangan di udara. Beberapa sedang nongkrong di udara sambil mengobrol dengan rukun, sedangkan sisanya terbang dengan sebundel barang bawaan yang diikatkan ke sapu masing-masing. Ada Nenek tua yang terlihat seperti penyihir mencurigakan dan sebugar anak-anak sedang berlomba di angkasa, berlomba untuk melihat siapa yang mampu terbang lebih tinggi.

Orang-orang ini pasti lebih sering menjalani hidupnya di udara.

Ini pemandangan yang sangat indah. Bahkan hampir membuatku menghela napas.

Aku bergabung dengan barisan, membubung tinggi di atas negeri, tanpa niat menyerah pada arus lalu lintas udara di sekitarku. Tiba-tiba, perhatianku tertuju pada tanda di salah satu genting rumah. Rupanya itu sebuah tanda PENGINAPAN. Aku terus maju tanpa berhenti dan melihat tanda TOKO GROSIR di genting rumah berikutnya. Bahkan ada juga PENJUAL DAGING dan TOKO PERHIASAN. Sesuai dugaanku, kehidupan di sini berlangsung di udara, dan menempatkan tanda di atas genting masing-masing pasti telah menjadi kebiasaan umum.

Saat melihat sekeliling, aku menyadari bahwa genting di sebagian besar rumah mempunyai jendela yang cukup besar untuk dilewati manusia. Ketika keasyikan melihat-lihat, salah satu jendela terbuka dan seorang pria yang mengendarai sapu terbang keluar.

Begitu toh fungsi jendela-jendela itu.

Awalnya aku terbang dengan santai sambil menikmati pemandangan, hingga––

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaa!”

–– sebuah teriakan datang dari belakang. Setelah menyiagakan sapu dengan satu tangan dan memegang topiku agar tidak terbang dengan tangan satunya, aku pun menoleh ke belakang.

Ah, terlambat.

“Aaaaaaaaaaaaa!”

Menuju langsung ke arahku dengan kecepatan yang absurd, bak meteorit yang menjerit dan berekor air mata, jarak orang yang dimaksud tinggal satu atap jauhnya ketika aku melihatnya.

Menghindar? Tidak akan sempat.

Aku membalikkan badan bagian atas secara refleks, tetapi mustahil untuk menghindari tabrakan. Dengan serangkaian geraman (“Ugya!” “Geh”), kami saling bertabrakan dan jatuh ke genting rumah yang ada di bawah. Genting-genting yang berjejer rapi itu terlepas dengan suara gemerincing lagi kerisik, dan akhirnya tak segan-segan menjatuhkan kami ke tanah. Aku sempat melihat salah satu genting yang memantul dan hancur di tanah. Untunglah tidak ada pejalan kaki di bawah sana.

Dengan posisi yang hampir menyentuh tanah, aku berusaha menghindari tubrukan langsung. Ditambah lagi, karena mendarat di atas orang aneh yang bertabrakan denganku tadi, aku pun tidak terluka sama sekali.

Aku berdiri menggunakan kaki dan menyapu serpihan genting berwarna cokelat kemerahan yang menempel di jubah hitamku.

“........”

“Uhhhhh ....”

Gadis yang merintih dan menatap sekeliling dengan linglung itu sepertinya sedikit lebih muda dariku. Dia memiliki rambut hitam yang bahkan lebih pendek daripada orang sekitar, dan berwajah androgini(1). Ia mengenakan blus berwarna putih dan rok kotak-kotak di balik sebuah mantel hitam, tetapi kondisinya jadi acak-acakan setelah tertindih olehku tadi.

Dia tidak mengenakan bros di dadanya, dia pasti seorang pemula.

“... Um, apa kau baik-baik saja?”

Ketika aku menyentuh pundak gadis yang terjatuh itu, dia pun membuka matanya.

“........”

“........” Ia terdiam.

Karena tampaknya dia masih berusaha memproses situasi, aku pun memberanikan diri untuk memulai percakapan.

“Apa kau kesulitan mengendarai sapu?”

Ya, harus kuakui bahwa aku sedang menyindir.

“... Ah.”

“Sepertinya kau sudah tersadar,” kataku sambil tersenyum.

“Aaaaa!” Dia menatap sekeliling lagi. “A-A-A-Apa yang harus kulakukan? Apa? Mustahil aku mampu memperbaiki genting sebanyak ini ....”

Hei, .... “Bagaimana kalau minta maaf kepadaku dahulu?”

“Ah, m-maaf! Yang tadi tidak disengaja! Sumpah!”

Yah, aku tahu. 

“Ngomong-ngomong, apa kau baik-baik saja? Kau tadi terbang secepat badai.”

“Oh, aku baik-baik saja! Lihat?! Aku sangat sehat.”Itulah yang dikatakan gadis itu saat anak sungai berwarna merah mengalir dari kepalanya. Matanya jernih, dan ia tidak kesulitan berbicara.

........

“Kepalamu berdarah, tuh.”

“Ini hanya keringat!”

“Apa keringatmu memang berbau besi?”

“Um, yah, ... um, begitulah!”

“Baiklah, aku mengerti. Tenanglah sedikit.”

“Ya, Bu!”

“........”

Entah mengapa aku merasa lelah. Mungkin ini karena tabrakan tadi.

Sebenarnya aku berencana membuat gadis ini memperbaiki genting-genting yang hancur setelah sedikit memarahinya, tetapi kurasa ini sudah cukup. Dia sudah kelabakan. Terlalu kejam kalau menyuruhnya memperbaiki genting dalam keadaan begini. Sebagai gantinya, aku mengeluarkan saputangan dari sakuku.

“Nih, ambil. Tekanlah ke kepalamu.”

“Oh ... tetapi ....”

“Sekarang aku akan memasang kembali genting-gentingnya, kau istirahat di sana saja.”

“Tidak, aku akan membantu!”

“Jika membantu dalam kondisi begini, kau hanya akan menghalangi. Istirahat saja sana,” ucapku dengan tegas.

“Tetapi––”

“Kau. Hanya. Akan. Menghalangi.”

“... Ba-Baik.”

Bagai seekor kucing liar, gadis muda yang murung itu pun duduk di puncak genting sambil menekan saputangan ke luka di kepalanya. Mau seenergik apa pun dia, terlihat jelas bahwa dia telah memaksakan diri terlalu keras. Tepat setelah duduk, dia membungkuk dan pingsan.

Aku akan mengurus gadis itu nanti. Lagian dia tidak akan mati hanya karena luka begitu. Pertama, mari lakukan sesuatu terhadap kekacauan yang ada di sini ....

Aku mengumpulkan energi sihir ke tangan. Dalam sekejap, dengan cahaya yang samar, muncul sebuah tongkat panjang dan ramping di genggamanku.

Ini merupakan kemampuan spesial para pengguna sihir. Kami mampu membuat apa pun –– Contohnya, tongkat sihir, sapu, serta  peralatan sihir lainnya –– dari ketiadaan.

Aku menyalurkan energi ke tongkat dan mulai bekerja.

Ini adalah sihir pembalik waktu.

Sesuai dengan namanya, sihir ini mampu memperbaiki benda-benda yang rusak dan menyembuhkan luka dengan membuat waktu berjalan terbalik. Ini memerlukan kemampuan sihir yang sedikit lebih tinggi, tetepi para penyihir yang tinggal di negeri ini seharusnya mampu melakukannya. Meski aku yakin ini akan sulit bagi pemula di belakangku.

Pecahan genting-genting tadi mulai bergerak saat aku menghujaninya dengan sihir. Bagai potongan puzzle yang amat banyak, genting-genting yang pecah itu menempel kembali ke tempat aslinya secara otomatis.

Setelah semua pecahan dan jejak kecelakaan lenyap, aku menonaktifkansihir dan berbalik. Sekarang waktunya untuk memperbaiki(2) gadis itu.

“Oke, berikutnya kau.”

“Um, uhhh ....”

Aku menghampiri gadis,yang duduk dengan gelisah sambil mencengkeram kepalanya itu, kemudian mengaktifkan sihir. Di bawah cahaya nan lembut, pakaian compang-camping dan luka-lukanya pulih seketika.

“Wah ....” Aku dapat mendengar gumamannya.

Meski menurutku tak ada yang mengesankan. Begitu kau menjadi penyihir, hal ini mudah dilakukan.

Setelah memastikan bahwa gadis itu telah pulih, aku bergegas mengambil sapuku yang terjatuh di atas genting tadi. Aku memutuskan bahwa lebih baik segera pergi sebelum terjadi perkara lagi.

“Oh, um!”

Tampaknya gadis itu punya banyak hal yang ingin dikatakan kepadaku, tetapi aku mengabaikannya dan melontarkan satu kaki ke atas sapuku. “Kau tidak perlu minta maaf. Jangan lupa melihat sekitar saat terbang mengendarai sapu, ya?”

“Tolong tunggu sebentar, aku harus membalas budi––”

“Tidak perlu. Aku sedang terburu-buru. Selamat tinggal,pemula yang tak dikenal.”

Kemudian aku mengambil kembali sapuku dan terbang menjauh.


o


Setipa orang yang mampu menggunakan sihir akan memulai pelatihan sebagai pengguna sihir pemula. Tidak semua orang mampu menggunakan sihir dan menjadi seorang pemula. Dalam kebanyakan kasus, kemampuan ini diturunkan lewat hubungan darah. Orang tuaku juga seorang pemula.

Di atas peringkat pengguna sihir pemula, terdapat murid penyihir dan penyihir. Tentu saja, peringkat tertinggi adalah penyihir. Sesuai namanya, gelar “penyihir”(3) hanya dipakai untuk perempuan. Aku sendiri tidak tahu alasannya, tetapi perempuan umumnya mempunyai kemampuan sihir yang lebih besar daripada pria. Maka dari itu hanya perempuan yang bisa mencapai peringkat lebih tinggi dari seorang pemula.

Hanya ada satu cara untuk menjadi murid penyihir: lulus ujian sihir dan menerima korsase(4) yang membuktikan statusmu. Tidak ada cara lain. Namun, ujiannya amat kejam, sampai-sampai banyak yang tertendang sebelum lulus.

Setelah menjadi murid penyihir, seseorang akan menjalani program pelatihan yang amat khusus untuk mendapat gelar “penyihir”. Ini berarti si murid penyihir harus melalui masa-masa penuh kerja keras yang panjang di bawah pengawasan penyihir. Sampai si murid penyihir mendapat pengakuan. Pelatihannya bisa jadi selesai dalam satu hari, atau mungkin juga memakan waktu sampai sepuluh tahun. Semuanya tergantung pada usaha si murid penyihir sendiri dan juga penyihir yang bersedia menjadi gurunya.

Saat seseorang secara resmi diakui sebagai penyihir, ia menerima bros berbentuk bintang dengan namanya yang terukir di bagian belakang, dan akan mendapat gelar penyihir dari gurunya. Gelarku adalah “Penyihir Abu-abu.”

Tadi merupakan penjelasan yang cukup bertele-tele. Inti dari penjelasanku adalah, sebagai penyihir, aku seharusnya memiliki peringkat yang setara dengan pengguna sihir terbaik di negeri ini. Aku mengira bahwa orang-orang akan melihatku yang terbang di angkasa dengan tatapan iri, bahwa pemilik restoran yang aku kunjungi akan berkata, “Puan penyihir! Izikan saya memberikan diskon untuk semua makanan yang Anda pesan! Silakan makan sepuas-puasnya!” dll. Akan tetapi ...

“Ha? Diskon? Kami tidak memberikan hal semacam itu. Jangan bilang kau tidak punya uang, Gadis kecil?”

“........”

Begitu, ya. Hmm? Aku kira restoran akan memberikan perlakuan khusus kepada setiap penyihir, mereka pasti akan bangkrut.

Aku meninggalkan restoran dan pergi ke toko perhiasan yang ada di sebelahnya. Aku ingin menjual permata yang aku pungut di salah satu negeri yang aku kunjungi sebelumnya, dan berharap akan mendapat uang yang banyak darinya.

“Ah, ini benaran palsu. Mengerti, bukan? Aku tidak bisa memberi sepeser pun untuk ini.”

“Pasti ada yang salah. Tolong dilihat lagi.”

“Aku bisa melihat sebanyak kehendakmu, tetapi jawabannya tetap sama. Kau mau apa? Bila tidak membutuhkan ini lagi, aku bisa membuangnya untukmu ....”

“... Terdengar seolah-olah kau ingin mencuri itu dariku, bukan?”

“Tentu saja tidak, sayang! Aku tidak akan pernah melakukan itu. Jadi, bagaimana?”

“Kembalikan.”

Setelah meninggalkan toko perhiasan itu, suasana hatiku jadi masam.

Yah, aku yakin pemilik toko perhiasan itu hanya sedikit licik, cuma itu. Bukan berarti dia sengaja melecehkanku, bukan? ... Benar, bukan?

Dengan perasaan gelisah, aku pun menuju penginapan. Sebentar lagi hari akan berakhir. Namun,––

“Hei. Ini bukan tempat untuk bocah sepertimu. Enyahlah.”

... Haaaaa? Apa-apaan ini? Memangnya ini semacam hotel kelas atas khusus konglomerat? Hmm .... Bagaimanapun, aku tidak akan tinggal di sini. Mari pergi ke tempat lain.

Aku melompat dari sapu ke atas sebuah penginapan nang tampak sangat murahan dengan tanda yang sudah compang-camping. Tempat ini pasti tidak akan mengusirku.

Aku membuka jendela di atas dan menuruni tangga yang menuju ke dalam. Tetapi di tengah jalan, karena tidak mau repot-repot lagi, aku pun melompat.

*Gedebuk*. Suara itu bergema di seluruh bagunan bak bola meriam.

Hei, aku tidak seberat itu. Dasar tidak sopan.

Aku jatuh ke lobi penginapan.

Gadis yang duduk di belakang konter menatapku. “Selamat da––”

Dia membatu.

Demikian pula aku.

Dia berambut pendek. Mirip pria, karena wajahnya yang androgini.

Nang duduk di depanku adalah seorang gadis yang (secara harfiah) bertabrakan denganku beberapa jam lalu.

“........”

“........”

Sesaat kemudian, dia berhenti membatu lebih dahulu dariku.

“E-Eeeeeee! A-A-A-Ampuni aku! Ampuni aku! Kau kemari untuk balas dendam, bukan? Benar, bukan?! Ampuni aku! Ampuni nyawaku! Ampuni akuuu!”

“Bukan, uh ....”

“Aaaaaaaa! Aku tidak mau matiiiiiiiiii!”

“Em ....” Tidak perlu histeris; Ayolah.

Dia menggosok-gosok kepalanya ke meja dan menangis. “Ampuni nyawakuuu ....”

Aku menyentuh bahunya dengan lembut.

“Eee! Kau mau mencabik-cabik tubuhku satu per satu? Kau mau mulai dengan mencabik-cabik bahuku dahulu? Jangaaaaan!”

Bisakah kau diam sebentar?––Tunggu, tidak, jangan berteriak-teriak begitu. “Um, tidak apa-apa? Aku kemari hanya untuk menginap selama semalam.”

“Jangaaaaaaan––Oh, cuma itu? Kalau begitu, mohon isi formulir ini.”

“........”

Ada beberapa hal yang ingin aku katakan, tetapi aku menahan diri. Sekarang aku sudah terlalu lelah untuk menonaktifkan(5) gadis ini.

Aku mengambil formulir dan pena bulu dari atas meja konter. Itu adalah selembar kertas biasa. Hanya menanyakan jumlah orang, lama menginap, dan nama perwakilan yang mengisi formulir. Sebagai pengelana berpengalaman, aku sudah terbiasa dengan formulir semacam ini.

Ketika aku menggerakkan pena bulu dengan mulus di atas kertas, gadis itu berbicara dengan suara yang amat ceria. “Aku benar-benar minta maaf atas kejadian sore tadi. Setiap kali fokusku buyar selama latihan, rasanya seolah-olah aku kehilangan kemampuan untuk mengendarai sapu ....”

“Aku paham, kok.” Dengan kata lain, kau penerbang yang buruk.

“Aku sangat ingin berterima kasih dengan benar, tetapi kau meluncur–– Ah, jadi namamu Elaina. Namaku Saya.” Dia tersenyum berseri-seri saat melihatku menulis.

“Tidak perlu berterima kasih kepadaku,” jawabku sambil terus mengisi formulir. “Lagi pula, banyak yang bertikai dengan orang lain ketika latihan sihir.”

Kalau dipikir-pikir, aku pernah membakar rumahku saat memcoba menyalakan lilin. Aku benar-benar diomeli oleh orang tuaku karena itu. Oh, masa muda ....

“Apa kau benar-benar tidak menginginkan apa pun? Aku sudah merepotkanmu, dan kau bahkan menyembuhkan lukaku. Aku tidak mau membiarkannya begitu saja.”

“Tidak apa-apa, tetapi ....”

“Apa pun boleh! Silakan, Mbak Elaina!”

Aku menggelengkan kepala saat gadis itu memohon agar aku membiarkannya membalas budi. Aku yakin ini kelihatan aneh.

Yah, bukan berarti dia meminta bantuan atau semacamnya, jadi tidak perlu menolak. Aku berpikir sejenak saat menulis.

“Hmm ... kalau begitu––“ Bagaimana kalau aku meminta diskon untuk biaya menginapnya? Itulah yang mau aku minta, tetapi aku terhenti sendiri.

Ada bagian formulir yang menarik perhatianku. DISKON KHUSUS PENYIHIR (SETENGAH HARGA UNTUK SATU MALAM) begitulah yang tertulis.

Oh-ho! Apa yang kita punya di sini?

“Ah, diskon itu hanya berlaku untuk penyihir. Pengguna sihir biasa harus melingkari opsi harga reguler,” ucapnya sambil menjalinkan alis.

“Oh, begitu.” Aku melingkari opsi DISKON KHUSUS PENYIHIR (SETENGAH HARGA UNTUK SATU MALAM).

“Eh? Tidak, um .... Ha?”

Reaksi aneh macam apa itu? Dasar tidak sopan. “Karena aku penyihir ....”

“Ayolah, jangan bercanda soal itu .... Yah, tetapi aku memang banyak merepotkanmu, sih .... Oke! Aku akan memberikan diskon!” Dia bertepuk tangan sekali.

Entah mengapa aku merasa pembicaraan kami enggak nyambung(6). Ini membuatku cemas. “Tidak, tidak, tidak, bukan begitu. Lihat? Aku seorang penyihir. Apa kau tidak melihat pakaianku?”

“Ha?” ucapnya sambil menunjuk dadaku. “Tetapi tidak ada bros penyihir.”

“Apa tadi?”

Mengikuti jarinya, aku menurunkan pandangan ke dadaku.

Bros yang seharusnya di sana telah lenyap.


o


Dalam artian tertentu, bros itu merupakan identitas diri seorang penyihir. Tanpa itu, aku hanya pengelana pengguna sihir biasa.

Pasti karena inilah penginapan tadi memperlakukanku seperti bocah. Begitu, begitu. Akan tetapi mengapa aku baru sadar sekarang? Penyihir tidak begitu langka, dan seandainya aku sedikit lebih berhati-hati, aku dapat melakukan sesuatu lebih awal. Apa aku ini bodoh? Uh, sialan kau, Elaina!

Sembari mengutuk dan mencaci maki diri sendiri, aku mencari bros itu dengan panik.

“... Hilang.”

Brosnya tidak ketemu.

Seharusnya bros itu terjatuh saat bertabrakan dengan Saya, tetapi sekarang sudah gelap gulita. Bros itu lumayan kecil untuk muat di telapak tanganku ... itu bukan benda yang dapat aku cari hanya dengan meraba-raba dalam gelap.

“... Uhh.””

Setelah memeriksa genting secara zigzag dan melihat semua celahnya, aku turun ke tanah dan mencari di sekitar rumah. Tetapi tentu saja, tidak beruntung.

Aku mau menangis.

“Aku tidak menemukan apa pun!! Mbak Elaina, di sini juga tidak ada!!” Suara nyaring yang menjengkelkan datang dari genting, bergema di gang. Ketika mendongak, aku milihat Saya yang diterangi sinar rembulan.

Tepat setelah kami menyadari bahwa bros itu hilang, dia berkata, “Ini juga salahku, jadi aku akan ikut!” dan bersikeras ikut mencari bros itu denganku. Dia sudah menyuruh orang lain untuk menjaga penginapan, mungkin.

Selagi menelusuri bagian bawah, aku membiarkan dia memeriksa genting dengan kemungkinan bahwa aku melewatkan sesuatu. Namun ternyata, nasibnya sama saja.

Aku terbang di sampingnya dengan menggunakan sapu.

“Kita sudah mencari di sini dan brosnya tidak ketemu. Kita harus mempertimbangkan bahwa seseorang mengambilnya ....”Aku menghela napas panjang.

“Aku rasa akan sulit menemukannya karena sekarang sudah gelap,” ucap Saya. “Mungkin lebih baik mencarinya lagi besok pagi.”Suaranya ceria, meski bahuku terkulai karena putus asa. Aku sedikit berterima kasih atas optimismenya.

“Baiklah ....” Aku mengangguk dengan patuh pada sarannya dan berbalik untuk kembali ke penginapan.

Terbang dengan oleng di atas sapu, aku pasti terlihat seperti murid penyihir yang masih belajar mengendarai sapu. Ah, bila ada yang terbang di sekitar sini, bisa jadi aku akan bertabrakan dengan mereka.

Aku sudah melewati banyak hal untuk mendapat bros itu, dan benda itu menyimpan banyak kenangan saat masih bersama guruku. Kehilangannya merupakan hal buruk yang harus diterima.

Seandainya bros itu hilang saat pertama kali menjadi penyihir, aku yakin akan langsung menyadarinya. Akan tetapi setelah memakainya terus-menerus selama dua tahun, aku mungkin tidak sadar karena sudah terbiasa memakainya.

“... *Mendesah*.”

Ini menyedihkan.

Setelah pencarian, aku kembali ke penginapan dan makan malam. Kemudian masuk ke kamar menggunakan kunci yang Saya berikan. Karena teringat belum mandi,aku pun langsung menuju kamar mandi besar terlebih dahulu.

Aku berendam dalam air panas selama satu jam penuh sambil melamun. Ah, seharusnya bros itu terjatuh saat bertabrakan dengan Saya ... tetapi brosnya tidak ada di sana .... Sungguh misterius .... Aku meregangkan tubuh dan mengisi bak mandi besar (Sendirian). Lalu, tepat sebelum aku larut ke dalam air panas, aku mendudukkan kembali tubuhku yang berat.

Kemudian aku pun kembali ke kamar ....

“Ah, halo––”

... Dan bertemu Saya di dalam.

Aku menutup pintu. Aku mundur selangkah dan memeriksa nomor kamar. Ya, angkanya sama seperti yang tertulis di kunci. Aneh. Mungkin cuma perasaanku?

Aku membuka pintu sekali lagi.

“Ah, halo––”

Seandainya saja ini hanya mimpi buruk .... Namun sayang, tidak salah lagi: Saya ada di kamarku, melambai dengan riang dari atas kasur yang keras.

........

“... Apa yang kau lakukan di kamarku?” Aku menutup pintu dengan tangan membelakangi punggung.

“Aku mau bicara denganmu, Elaina, jadi aku menunggu di sini.”

“Rasanya aku sudah mengunci pintu.”

“Yakin! Tapi Aku bekerja di sini, loh!” Dia dengan bangga mengelurkan gantungan kunci yang menampung sejumlah besar kunci.

Aku menghampirinya tanpa berkata apa pun dan mencubit kedua pipinya.

“Aduh, swakit! Swakit!”

“Apa maksudnya masuk ke kamar orang tanpa izin? Ha?” Aku mencubit pipinya dengan keras.

“Awkan robrek! Pwipwiku awkan robrek!” Akan robek, pipiku akan robek sepertinya itu yang mau dia ucapkan.

“Hmm? Apa? Aku tidak dengar.”

“Waaaaaaa ....”

Aku mencubit dan memelintir pipinya yang lembut sampai puas lalu melepaskannya.

Sembari memijat pipinya yang sedikit memerah dengan kedua tangan, Saya bergumam, “Kejam ....” Sungguh, siapa sebenarnya yang salah di antara kita?

“Nah, apa yang kau mau? Kau sengaja menunggu di kamarku, jadi pasti ada alasannya, bukan?”

Selagi memijat wajahnya, Saya berkata, “Mbak Elaina, kau benar-benar penyihir, bukan?”

“Yah, begitulah,” tegasku, “Sekarang ini brosku tidak ada, tetapi aku memang penyihir.”

“Berarti kau lulus ujian sihir?”

“Iya.”

Bahkan saat ini aku masih ingat betapa kecewannya aku karena kurangnya tantangan.

Saya menatapku sejanak, lalu turun dari kasur dan berlutut secara tiba-tiba. Kemudian dia menekan kedua tangan dan dahinya ke lantai.

“Tolong bantu aku! Tolong ajari aku rahasia agar lulus ujian sihir!”

“... Um, kau sedang apa di lantai begitu?”

“Ini adalah cara bersujud tradisional dari kampung halamanku! Ini merupakan teknik jitu yang digunakan ketika berbuat sesuatu yang tidak dapat dimaafkan kepada pihak lain.”

Sungguh tradisi yang aneh ... Memangnya penduduk di kampung halamannya harus sering-sering minta maaf kepada orang lain? Tetap saja, ketulusannya benar-benar terasa.

Akan tetapi ini memberiku ... bagaimana bilangnya, ya? Perasaan aneh? Malahan menyeramkan?

Dengan menahan keinginan mengatakan itu, “Haaaa? Menurutmu cuma itu yang dibutuhkan untuk meminta bantuan semacam ini?” Aku berlutut di sampingnya.

“Um, sekarang angkat kepalamu.”

“Kau mau membantu?!” Dia menatapku.

“Tenang saja,” kataku, “Pertama, jelaskan situasinya.”

Dia menjelaskan kepadaku.

Aku membiarkannya duduk di kasur lagi, lalu menarik kursi yang terlihat murahan dari meja dan duduk menghadapnya. Saya sedikit mengayunkan rambut hitamnya dan memiringkan kepala, lalu membuka mulut dengan ragu.

“Um ... Aku punya adik perempuan. Dia sangat manis.”

“Oke ...” Itu penjelasan awal yang cukup aneh, tetapi aku sudah berjanji.

“Kami berasal dari negeri yang jauh di timur. Kami berjalan jauh kemari untuk jadi murid penyihir–– Tidak ada lembaga yang mengadakan ujian di kampung halaman kami. Kami hidup begini selama beberapa tahun, tetapi ....”

“Tetepi kalian tidak pernah lulus?”

Dia mengarahkan pandangan ke bawah dan menggelengkan kepala dengan perlahan. “Cuma Adikku yang ikut ujian terakhir. Kemudian lulus dan pulang ke rumah. Tanpa aku.”

“... Hmm.” Begitu, begitu. Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini. Dengan kata lain ....

“Adik perempuanmu yang manis telah melampauimu, dan kau jadi sangat tidak sabar sehingga memutuskan untuk membuat penyihir yang baru dijumpai–– mungkin harus aku tambahkan, dalam sebuah kecelakaan–– untuk membantumu lulus ujian? Cuma itu?”

Sembari menggaruk pipi karena malu, Saya bergumam, “Yah, um ... itu ... yah, kurang lebih.”

“Jadi, kapan ujian selanjutnya?”

“Satu minggu dari sekarang ... Waktuku tidak banyak ....”

Kau sudah mengikuti ujian promosi beberapa kali, jadi aku rasa tidak perlu cemas. Namun, bisa jadi kau amat cemas karena ingin menemui adikmu lagi.

“........”

Untuk memecah keheningan, aku pun berkata, “Aku akan membantu selagi brosku belum ketemu.” Aku tidak bisa meninggalkan negeri ini sampai bros itu ketemu, dan aku akan senggang saat tidak mencarinya. Bahkan dia mungkin akan membolehkanku menginap secara gratis, jadi aku rasa itu ide yang bagus.


o


Agar dipromosikan jadi murid penyihir, kau harus lulus ujian tertulis dan praktik kemampuan sihir.

Ujian tertulisnya mudah. Selama bisa mengingat teori sihir, sejarah, dan subjek lainnya ke dalam kepala, sungguh tidak ada yang semudah ini. Akan tetapi ada ujian praktik. Tidak ada cara lain; tanpa kemampuan asli, kau akan gagal lagi dan lagi.

Adapun untuk ujian praktik, ada dua kemampuan utama yang dilihat: kemampuan menerbangkan sapu dan cara mengatasi sihir serangan. Tiap kali ujian diadakan, hanya satu orang yang lulus. Ujian yang diberikan selama satu minggu juga sama saja. Berbelok-belok di angkasa menggunakan sapu, setiap calon penyihir akan menyerang yang lain dan berusaha menjatuhkan lawan sembari melindungi diri sendiri. Yang terakhir bertahan akan lulus dan diangkat sebagai murid penyihir di depan publik.

Pertempuran selalu keras dan berat untuk ditonton. Bagian paling menjijikkan dari sifat manusia tampaknya selalu diperlihatkan secara penuh. Aku tak akan sudi mengikuti ujian lagi.

“Aku harus memberitahu secara jujur, Saya. Dengan kemampuanmu yang sekarang, mau seberapa serius pun kau bertarung, kesempatanmu menang melawan peserta lain nyaris tidak ada,” ucapku dari atas sapu. Ini merupakanpagi hari setelah aku berjanji untuk membantunya. “Namun, bukan berarti kesempatanmu tidak ada sedikit pun. Tenanglah sedikit.”

“A-Apa yang harus aku lakukan?!” Dia bahkan tetap energik di pagi hari, dan matanya berkilauan dengan penuh semangat. Dia bersinar seperti mentari pagi.

Aku memutar sapuku ke genting tempat dia bersila. “Pertama, aku akan mengajari cara mengendarai sapu sebaik diriku, atau lebih baik lagi.”

“Ah ... sepertinya lumayan sulit ....” Hidungnya berkedut.

Sulit? Aku akan menahan diri.

“Tidak ada cara lain demi mengikuti ujian praktik. Bila mengikutinya dengan kemampuanmu saat ini, bisa jadi kau akan gagal saat ujian baru dimulai. Kesempatanmu akan terbuang percuma. Setidaknya kau harus menghindari itu.”

“Rgh ....”

Jadi, Begitulah situasi kita saat ini (7).

Pertama, aku membimbingnya untuk memperbaiki kemampuan sihir paling dasar ini. Seperti dugaanku, Saya bahkan nyaris tidak bisa terbang. (Saking buruknya aku sampai bertanya-tanya apakah dia bisa disebut pengguna sihir!) Aku benar-benar harus melatihnya dengan keras.

Ah, begini rupanya perasaan para ibu yang mengajari anak-anaknya cara terbang menggunakan sapu ....

Kami berlatih dari pagi sampai malam, selama keadaan memungkinkan. Kami tetap melanjutkan kursus kilat meskipun anak-anak tetangga yang terbang bebas di sekitar kami mulai mengejek dan menunjuk (dengan jari telunjuk).

Tentu saja, aku tidak lupa untuk mencari brosku, tetapi tidak ada kemajuan sama sekali.

Sungguh, di mana brosku sebenarnya?

“Selanjutnya berbelok. Geser berat badanmu dengan benar dan berbelok dengan cepat.”

“Baik!”

“Selanjutnya pengereman darurat dan meningkatkan kecepatan. Gunakan seluruh berat badanmu dan tarik sapu dengan keras untuk menghentikannya, lalu meluncur ke depan seolah-olah sedang mengentak udara.”

“Oke!”

“Selanjutnya pelepasan di udara. Sesudah melepaskan sapu di udara, pakai sihir untuk memanggilnya kembali. Aku akan membantu bila ada masalah, jadi jangan khawatir dan terbang saja.”

“Oke!”

“Selanjutnya––” Oke, kau sudah paham.

Pada akhirnya, Saya belajar mengendarai sapu sebaik diriku dengan cepat. Tebak berapa hari yang dia perlukan untuk mencapai tingkat ini? Cuma dua! Aku telah memancing keluar beberapa peningkatan luar biasa darinya. Sungguh membuat bertanya-tanya apa yang telah dia lakukan sebelumnya ... ataukah ini karena pengajaranku yang sangat bagus?

Saat aku menanyakannya, Saya menjawab dengan malu-malu, “Sampai sekarang, aku hanya belajar sendiri.”

Yah, itu urusanmu.

Ini adalah hari keempat aku tinggal di negeri ini –– dan hari ketiga program latihan keras kami. Tidak seperti pencarian brosku, yang belum memperlihatkan kemajuan apa pun (Meski telah menanyai orang sekitar), pembelajaran Saya berkembang dengan pesat dan tampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

“Selanjutnya, mari pelajari beberapa sihir serangan–– bagaimana dengan sihir anginmu?”

"Sihir angin?" Saya yang duduk di atas atap cokelat merah kehitam-hitaman(8) memiringkan kepalanya.

Aku menggaguk dan menjawab, “Ya, angin. Dengan mengendalikan aliran udara, kau bisa menghalangi peserta lain.”

Ini merupakan cara unik yang aku pakai selama ujian praktik dahulu. Mengubah aliran udara ternyata cukup berguna, dan bahkan aku ingat bagaimana peserta lain yang hilang keseimbangan dan jatuh dari sapu atau berbelok ke dalam gedung.

Pengendalian angin gampang dipelajari dan merupakan senjata yang ampuh. Bila waktunya cukup, aku tentu saja bersedia mengajarkannya.

“Kalu begitu, silakan hantam kaleng yang di sana dengan embusan angin.”

Aku menunjuk ke kaleng yang sudah kami siapkan di puncak genting seberang kami. Jarak antara kami dan kaleng itu kurang lebih satu rumah, tentu saja tugas ini tidak begitu sulit.

“Akan lebih mudah bila kau membayangkan sedang membuat bola udara dan menghantamkannya ke kaleng–– seperti ini.”

Aku mengayunkan tongkatku, dan dalam sekejap, angin kencang menyerempet salah satu kaleng. Kaleng itu bergoyang maju mundur dengan suara gemerincing.

Aku berbalik menghadap Saya, yang menatapku dengan ragu. “Kalengnya tidak jatuh? Apa kau mengacaukannya?” Sepertinya dia bingung.

Aku sengaja melakukannya. Sumpah!

“Oke, cobalah.”

“... Be-Begini?”

Dengan *wus*, Saya mengayunkan tongkatnya. Sihir angin merupakan salah satu sihir pertama yang dipelajari seorang pemula. Tentu saja dia bisa menghasilkan embusan udara, tetapi embusan itu hanya melewati bagian atas kaleng. Sangat buruk.

“Cara memegang tongkat dan arah yang kau tunjuk itu salah. Sihir angin itu lembut, jadi percuma saja bila dipaksa.”

“Um, baiklah, bagaimana dengan yang ini?”

*Wus*. Angin bertiup melewati kaleng, persis seperti sebelumnya.

“Salah. Yang benar begini.”

Aku mengayunkan tongkatku, dan kaleng-kaleng itu bergemerincingan lagi. Saya sedikit mengeluarkan suara terkejut “Wah ....” Dia akhirnya sadar bahwa aku sengaja tidak menjatuhkan kaleng-kaleng itu.

Kemudian dia mengayunkan tongkatnya lagi, kali ini dengan lebih lembut, dengan sedikit “Ey!” Jelas dia telah belajar dari melihatku tadi, tetapi kekuatan sihirnya terlalu lemah. Kekuatannya hanya menghasilkan angin sepoi-sepoi.

... Ini tidak berjalan lancar.

“Bukan begitu. Yang benar begini.”

“Begini?”

*Mengayun dan luput*.

“Salah banget. Bengini, loh.”

“Ba-Bagaimana dengan yang ini?!”

Anginnya bahkan tidak menyentuh kaleng.

“Mengerikan. Perhatikan. Begini, loh.”

“Kalau begitu, kira-kira begini!”

........

Percuma saja. Sungguh. Arahanku tidak berbuah apa pun.

Waktunya berusaha lebih keras. Aku pergi ke belakangnya dan memegang kedua pergelangan tangannya. Bahu Saya tersentak karena kaget, lalu aku berbicara ke telinganya.

“Apa kau siap? Aku akan menyalurkan sihir angin ke tongkatmu. Ingatlah bagaimana rasanya.”

“De-Dengan tubuhku?”

“Ya, dengan tubuhmu.” Aku mengangguk, lalu entah mengapa, telinga Saya jadi merah padam. “Baiklah, ini dia––”

Nah, begini.

Kami berlatih sampai matahari terbenam pada hari ketiga, dan Saya gagal total menguasai sihir angin.

Entah mengapa dia malah jadi lebih buruk setelah aku menyalurkan sihir lewat dia ... Bagaimana mungkin? Aku tidak mengerti.

Tentu saja aku tidak terus-terusan menjaga Saya. Kira-kira saat tengah hari, aku pergi terbang berkeliling kota sendirian untuk mencari brosku, dan bertanya kepada beberapa orang sebisanya.

Kerjanya adalah bertanya dan terus bertanya.

Tentu saja aku tidak berharap akan mendapat informasi dengan mudah, dan pada akhirnya semua orang nang aku tanya menggelengkan kepala dan memberi jawaban yang sama: “Aku tidak tau.”

“Aku pernah melihatnya,” ucap seorang wanita tua yang tampak sangat berpengalaman dengan sihir. Bila dilihat lebih dekat, aku dapat melihat bros berbentuk bintang di dadanya. Namun, bros itu tampak hampir setua dirinya, selain itu juga sedikit usang dan rusak.

Oh, sepertinya aku dapat mengharapkan sesuatu darinya. Meski aku tidak yakin apa “sesuatu” itu ....

“Di-Di mana kau melihatnya?!” Aku langsung terpikat dengan informasi itu.

Wanita itu mengelurkan tawa yang sangat mirip penyihir(9).“Hee-hee-hee .... Hmm, entahlah ....”

“Tolong beri tahu aku, Puan yang luar biasa!”

“Hee-hee-hee.” Secara tiba-tiba, dia menyodorkan telapak tangannya ke arahku.

“... Apa maksudnya ini?”

“Seberharga apa informasi ini untukmu? Hmm?”

Dia hanya berdiri di sana dengan tangan yang terulur ke arahku. Sekarang aku mengerti gesturnya itu: “Bila kau mau mendengar lebih banyak, maka bayarlah.”

... Dia main kotor. Aku tidak mengharapkan apa pun dari penyihir ....

“........” Aku dengan diam mengambil koin dari dompet dan menjatuhkannya ke tangan wanita itu. Setelah melakukan itu, dia bergerak kembali, bagai windup doll(10) yang mendapat kehidupan.

“Yang aku lihat adalah––”

Cerita panjang lebar dari wanita itu hanya mengonfirmasi kecurigaanku.


o


Ini merupakan malam kelima aku di negeri ini.

Saat aku memandang ke atas bulan yang menggantung di langit luar jendela dari kasurku, pintu tiba-tiba terbuka. Aku mendongak dan melihat Saya yang sedang menatapku dengan malu-malu.

“Um, Mbak Elaina?”

“Ada apa?”

“Bo-Bolehkah aku tidur di sini denganmu?”

Aku menatap kasur.

........

“Bukankah menurutmu ini agak kecil?”

“Kami menjalankan penginapan murahan, maaf.”

Ah, tidak, bukan itu maksudku. Ini kamar untuk satu orang. Kasurnya juga dimaksudkan sebagai tempat tidur untuk satu orang. Satu orang. “Yah, jika kau tidak keberatan berhimpitan, aku rasa tidak masalah.”

“Hore!”

Saya membanting pintu hingga tertutup dan masuk ke kamar, lalu merayap ke kasur. Dia berbau harum, seolah-olah baru saja ke luar dari kamar mandi. Karena ini sebuah penginapan, seharusnya kami menggunakan sampo yang sama, tetapi baunya sangat berbeda dari milikku. Aku menggenggam sedikit rambutku dan mendekatkannya ke hidung, tetapi bau yang lembut dan girlish ini bukan berasal dariku.

Mengapa cuma dia yang baunya harum? ... Terserahlah. Waktunya tidur.

Aku berbaring, masih memandang bulan, dan menarik selimut(11). Sesaat kemudian aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku.

“Bukankah bulan terlalu terang untuk dilihat saat akan tidur?”

“Sedikit.” Aku berguling. Ketika berguling, tatapanku bertemu dengannya. “... Um, apa yang barusan kau bilang soal bulan?”

“Aku tidak masalah, ini tidak terlalu terang bagiku.” Dia sedikit tersenyum. Di bawah sinar rembulan, senyumannya terlihat sekilas, seolah-olah akan hilang bila aku menyentuhnya.

“Kerja bagus untuk hari ini. Kau sudah membuat perkembangan besar dibandingkan saat pertama kali mulai. Tak lama lagi kau tidak akan membutuhkan bantuanku sama sekali.”

“Apa? Itu tidak benar. Aku masih ingin mempelajari banyak hal darimu, Elaina.”

“... Aku seorang pengelana. Tak lama lagi, aku akan meninggalkan negeri ini.”

“Tetapi kita akan bersama sampai saat itu tiba.”

Aku menyadari dia sedang menggeliat di bawah selimut, dan kemudian ada sesuatu yang dingin di atas tanganku.

Dia menatap mataku dan mencengkeram tanganku. “Kumohon, ajari aku lebih banyak lagi.”

“........”

Matanya memantulkan sinar rembulan.

Gadis kecil yang polos ini pasti sangat mengidolakan orang seperti diriku. Aku sadar bahwa ini sesuatu yang kejam–– Namun, aku harus memilih yang terbaik untuk diriku sendiri.

Aku tidak yakin apakah perasaan menusuk di dadaku ini rasa bersalah atau kecewa, tetapi aku ingin mempercayai bahwa itu yang pertama.

“Percuma saja melanjutkan percakapan ini, Saya,” ucapku sambil melepaskan tangannya. “Bagaimana kalau kau kembalikan saja brosku?”


o


Kebenaran di balik bros yang hilang secara misterius ternyata sangat sederhana.

“Ada gadis muda yang menabrakmu, bukan? Setelah kau terbang pergi dengan terburu-buru, dia memungut bros itu.”

Matanya masih berkilauan karena uang yang telah kuberikan, wanita tua itu memberitahu bahwa dia telah melihat semua yang terjadi. Yang dia ceritakan merupakan kebenaran; sebagian dari diriku juga mencurigai hal yang sama. Karena tidak ketemu meski sudah dicari dengan teliti ... seseorang pasti telah mengambilnya.

Aku telah mencurigai ada sesuatu yang terjadi dari awal.

.......

Saya.

Pengendalian sapumu nyaris terlalu buruk–– cukup untuk membuatku berpikir bahwa kau sengaja melakukannya. Lagi pula, bila kau tidak mampu menerbangkan sapu dengan cukup baik, kau bahkan tidak akan diperbolehkan berada di negeri ini.

Pada awalnya, aku mengira bahwa Saya adalah penduduk lokal, tetapi saat aku menanyakan tentang hal ini, dia berkata bahwa dirinya merupakan pengguna sihir dari negeri timur yang datang kemari karena kondisi tertentu. Bila itu benar, malah aneh kalau dia tidak bisa menerbangkan sapu. Jadi ...

... Beginilah kebenarannya. Aku mencurigaimu sejak awal. Aku terus menunggumu untuk mengembalikan bros itu. “Tetapi kau menyembunyikannya dan tidak pernah mengembalikan bros itu kepadaku. Malahan, kau berkata ingin aku tinggal bersamamu selamanya. Aku sudah muak denganmu,” ucapku kepadanya.

Saya duduk di kasur dengan kepala menggantung. Aku ingin tahu emosi apa yang ada di wajahnya, tetapi aku tidak menghiburnya dengan menyentuh bahunya seperti saat pertama kali kami bertemu.

Sayangnya, aku tidak sebaik itu.

Dia terus menatap ke bawah seakan-akan menghindari sinar rembulan, dan aku hanya menunggu jawaban darinya.

Aku penasaran sudah berapa lama waktu berlalu. Satu menit? Sepuluh menit? Mungkin baru sepuluh detik.

“... bertanya kepadaku?”

Aku nyaris tidak bisa mendengar suara yang amat kecil itu. “Kau tadi bilang apa?” Tanyaku.

“... Kenapa kau tidak bertanya kepadaku?” Kali ini aku mendengarnya dengan jelas.

“Karena aku tidak punya bukti. Itu alasan pertama. Bahkan bila aku menuduh dan menyebutmu pencuri, bila kau menyangkalnya, aku tidak punya bukti. Tanganku sudah terikat(12).”

“........”

“Ditambah, aku percaya kau akan mengembalikan bros itu nantinya. Aku sungguh tidak menganggapmu orang yang jahat, Saya.”

Gadis polos dan penuh semangat ini mengingatkanku kepada seorang anak yang dimanjakan oleh ibunya.

“Makanya aku menunggu,” ucapku kepadanya.

Saya akhirnya mengangkat kepalanya. Wajah cantiknya semrawut, mengerut hingga menangis. Dia menyeka air mata dan berusaha menahan isak tangisnya saat berkata, “Aku kesepian.”

“Aku bukan adik perempuanmu.”

“Aku tahu. Aku tahu itu, tetapi ... aku ... aku ingin bersamamu.” Suaranya semakin kecil. Aku tidak yakin apakah dia mengatakan itu untuk adik perempuannya atau diriku.

Bila aku menulis apa yang telah kupelajari tentang Saya dalam waktu yang singkat sejak kami bertemu, itu akan jadi lis yang sangat pendek. Namun entah mengapa, aku yakin sudah memahami orang macam apa dia. Dia adalah kakak tidak berguna yang selalu dimanjakan oleh adik perempuannya nang manis. Aku yakin dia selalu begitu, makanya dia tidak tahan saat ditinggalkan adik perempuannya.

“Aku benci sendirian. Aku membencinya. Aku takut, jadi––”

“Hei.” Aku menyentil dahinya,dan itu menghasilkan suara twik yang keras. “Itu bukanlah alasan.”

Bila kau benci sendirian, temukan seseorang untuk diandalkan. Bila kau benci diejek karena sendirian, pergilah ke sana dan temukan orang yang cocok denganmu. Bila sendirian itu menakutkan, lakukan apa pun yang kau bisa untuk kabur darinya.

“Apa masalahnya kalau kau tinggal seorang diri sekarang? Apa masalahnya kalau kau merasa sendirian? Apa kau mampu menjadi murid penyihir meski masih memiliki ketakutan itu? Setiap kali manusia benar-benar berusaha dengan serius untuk mencapai sesuatu, mereka selalu sendirian. Kau tidak bisa menyelesaikan apa pun bila tidak melakukannya sendiri. Semua akan berakhir bila kau punya seorang rekan.”

Adik perempuanmu mungkin berusaha mengajarkan hal itu dengan cara meninggalkanmu. Meski aku tidak begitu yakin.

“... Tetapi.”

“Ah-ah-ah. Tidak ada tapi-tapian. Aku tidak mau mendengar alasan apa pun.” Aku menutupi telingaku dengan kedua tangan sambil menggelangkan kepala. Tidak. Rambutku terhempas dengan liar dan menampar wajahnya.

Wah, dia pasti akan marah.

“Tentu saja, berjuang sendirian itu sulit dan menakutkan. Aku mengerti itu. Makanya ...”Sambil berbicara, aku memakai sihir untuk membuat sebuah topi runcing, yang persis dengan milikku, dan menaruh topi itu di atas kepalanya. “... Kuberikan ini kepadamu. Biarkan aku meninggalkan sebagian kecil dari diriku bersamamu. Maka kau akan baik-baik saja meski sedang sendirian.”

Sembari mencengkeram pinggiran topi dengan erat, Saya berkata, “Tetapi jika aku mengambil ini, kau tidak akan punya ....”

“Ah, tidak apa-apa. Itu topi cadangan.”

Aku membuat topi lain dan memperlihatkannya kepada Saya, sebelum memakainnya. “Sekarang kita serasi. Mulai sekarang, kau akan sendirian, tetapi tidak benar-benar sendiri. Aku dan adikmu akan selalu memperhatikanmu.” Jadi kembalikan brosku, aku mendesaknya tanpa bersuara.

Dia menarik topi itu, menarik turun dari atas kepalanya dan mencengkeramnya dengan sangat-sangat erat. Lalu dengan bahu yang gemetar, dia mengangguk dalam diam. Dia terlihat amat lemah dan tidak berdaya.

Aku memeluk bahunya yang kurus dan menariknya lebih dekat.






 

Siang telah tiba.

Kami menghabiskan malam terakhirku di negeri ini bersama. Semalam Aku menghibur Saya saat dia menangis, memberinya beberapa nasihat untuk lulus ujian praktik kemampuan sihir, mendengarkan semua tentang kampung halaman Saya dan adik perempuannya, membahas perjalanan masa depanku, dan lain-lain.

Oh, dan ternyata Saya sebenarnya pengguna sihir yang sangat kuat. Maksudku, aku sudah mengetahuinya selama ini, tetapi aku tidak pernah tahu alasan dia begitu buruk dalam sihir angin. Dalam hal ini, tidak peduli sebanyak apa pun aku bertanya, Saya hanya memerah dan menolak untuk menjawab. Ada apa dengannya?

Pada akhirnya, kami tertidur bersama tepat saat matahari terbit. Itu telah jadi malam yang sangat-sangat panjang.

Tetapi merupakan kenangan yang berharga.


o


Aku teringat hal itu lagi beberapa bulan setelah meninggalkan Negeri Penyihir.

Tepatnya enam bulan.

Kurang lebih setengah tahun telah berlalu sejak aku bertemu gadis itu, kehilangan brosku, dan mendapatkannya kembali–– Wah, waktu berlalu dengan sangat cepat. Sungguh.

Aku sudah bepergian ke negeri yang sangat jauh hingga penduduknya akan bertanya, “Ha? Negeri Penyihir? Di mana itu?”

Aku teringat hal itu lagi karena aku kebetulan melihat namanya saat sedang melewati toko buku.

DAFTAR LULUS UJIAN PROMOSI MURID PENYIHIR.

Cetakan kertas yang tampak sangat murah itu merupakan koran bulanan yang diterbitkan oleh lembaga misterius bernama United Magic Association. Salah satu kewajiban lembaga ini ialah untuk mengadakan ujian promosi murid penyihir. Hasil ujian yang diteruskan ke seluruh dunia, ditambah beberapa kata dari peserta yang lulus, dipajang di halaman depan.

Namanya ada di sana.

“Hei, tidak boleh membaca di toko.” Pemilik toko muncul dari berlakang dan merenggut koran itu.

“... Ah––” Tetapi aku mau lanjut membaca.

“Mau membaca? Kau harus bayar.”

“Berapa?”

“Satu copper.”

Aku membayar, dan menjepit koran itu di bawah lenganku lalu kembali ke penginapan sambil bersenandung sepanjang perjalanan. Aku menarik kursi ke jendela dan melanjutkan membaca. Dalam artikel tersebut, gadis itu membicarakan masa-masa tersulit dan harapannya untuk masa depan.

Berdasarkan artikel tersebut, gadis itu pindah ke Negeri Penyihir bersama adik perempuannya beberapa tahun yang lalu. Adik perempuannya–– dan hanya adiknya saja–– menjadi murid penyihir dengan cepat dan kembali ke kampung halaman tanpa dia. Kemudian gadis itu bertemu dengan pengelana yang memberinya keberanian untuk bertarung sendirian, bersama sebuah topi yang sangat modis. Gadis itu menjajal ujian berkali-kali setelah si pengelana pergi, tetapi ternyata itu sangat sulit. Namun, gadis itu terus berusaha dan tidak pernah menyerah. Hingga pada akhirnya, gadis itu mendapat peringgat murid penyihir. Sekarang gadis itu dalam perjalanan pulang ke rumah, dengan rencana berlatih keras untuk menjadi penyihir.

Aku hanya bisa tersenyum.

Kisahnya yang sangat panjang diakhiri dengan sebuah kalimat: “Setelah pulang ke rumah dan menjadi seorang penyihir, aku ingin mengunjungi pengelana kesayanganku.”

Aku menaruh koran itu di atas meja dan menatap ke angkasa. Gadis itu ada di suatu tempat, di hamparan langit biru muda tak berujung ini.

“Aku akan menunggumu–– Saya.”


Catatan Penerjemah:

(1) Androgini. (Intinya, cowok yang mirip cewek ataupun sebaliknya.)

(2) Dalam versi inggrisnya tertulis “Now it was time to fix up the girl.” Sebenarnya bisa saja diterjemahkan jadi “Menyembuhkan”, tetapi aku kurang yakin. Maksudku, yang dibahas ini Elaina, loh. Bisa jadi ini sindiran (Sarkas)

(3) Dalam versi inggrisnya tertulis “witch”, yang lebih merujuk kepada perempuan.

(4) Korsase

(5) Dalam versi inggrisnya tertulis “Setting her off again would be more than I could handle right now”.Yang tau maksud kalimat ini bisa ditulis di kolom komentar.

(6) Dalam versi inggrisnya tertulis “I had feeling that we were somehow talking past each other, which was making me nervous.” Artinya tahu, tetapi aku enggak dapat padanan kata yang pas di KBBI. Yang punya saran bisa ditulis di kolom komentar.

(7) Dalam versi inggrisnya tertulis “So that’s we’re at”. Aku kurang yakin sama artinya, yang tau maksud kalimat ini bisa ditulis di kolom komentar.

(8) Dalam versi inggrisnya tertulis “The scorched reddish-brown”. Aku kurang yakin sama artinya, yang tau maksud kalimat ini bisa ditulis di kolom komentar.

(9) Dalam versi inggrisnya tertulis “The woman let out a very witchy laugh”. Intinya suara tawanya mirip nenek sihir di film-film.

(10) Windup doll.

(11) Dalam versi inggrisnya tertulis “I lay down, still gazing at the moon, and drew up the covers.” Aku enggak paham arti kata “Covers” yang dimaksud, yang tau maksudnya bisa ditulis di kolom komentar.

(12) Dalam versi inggrisnya tertulis “My hands would’ve been tied.” Aku tau ini idiom, tetapi aku enggak tau cara menerjemahkannya ke bahasa Indonesia .... yang tau bisa ditulis di kolom komentar.

Share:

0 comments